…justru berdasarkan pada kajian dari banyak foto yang diakui sebagai potret pemandangan di permukaan bulan.
Di Bulan Beraksi Menuai Sangsi di Bumi
Sebulanan lebih setelah kelahiran saya, pada 20 Juli 1969, tersebar kabar bagi dunia bahwa manusia telah berhasil menapak kedua kakinya di atas permukaan bulan.
Suatu prestasi mengagumkan bagi umat manusia yang sekian puluh ribu tahun sebelumnya hanya berkutat, berjalan, berlari di atas tanah di bumi mengandalkan gaya gravitasi, maka sejak program Apollo 11 tahun 1969 yang digagas oleh pemerintah Amerika Serikat, lalu tinta sejarah manusia pun menoreh keberhasilan keluar dari atmosfer bumi, kemudian mendarat, berjalan dan berlarian di atas permukaan bulan.
Beberapa dekade pencapaian sejarah bagi manusia untuk pertama kali berhasil mengukir jejak kedua kaki di bulan itu, ternyata belum semua manusia di bumi mengiyakannya. Banyak yang menyangsikan betapa beraninya wahana luar angkasa Apollo 11 beserta para astronot yang mengawakinya berhasil mendarat di bulan.
Berikut beberapa kesangsian, yang justru berdasarkan pada kajian dari banyak foto yang diakui sebagai potret pemandangan di permukaan bulan, yang menjadi bukti terhadap momen bersejarah tersebut.
1. Titik Aman Mendarat di Tengah Badai Meteor.
Hujan meteor yang sembarangan menimpa bulan yang tak memiliki atmosfer, menjadi salah satu kesangsian banyak orang. Bagaimana bisa menentukan lokasi aman pendaratan Apollo 11 juga awak-awaknya untuk menapakkan kaki di bulan? Sementara hujan meteor bisa terjadi sewaktu-waktu.
Kondisi permukaan bulan yang penuh dengan lembah bekas hantaman meteor. Foto sumber; nasa.gov 'The Moon's Surface'
2. Tahun 1969 Sudah Ada Teknologi Ulang-Alik (?).
Bagaimana teknologi pendaratan wahana Apollo 11 bisa mendarat tegak lurus di bulan lalu kembali lagi ke bumi? Sementara teknologi pesawat ulang alik baru tercipta tahun 1980-an dalam bentuk pesawat canggih bernama Columbus, berupa wahana ulang-alik, dari bumi menuju angkasa luar, kemudian balik lagi ke bumi.
Roket Saturn V meluncur ke angkasa membawa serta para Astronot dalam modul pendaratan di bulan (Lunar Lander), pada program Apollo 11. Foto sumber; nasa.gov 'Apollo 11 Launches into History'
Itupun, belum pernah tersiar kabar bahwa Columbus maupun wahana-wahana ulang-alik generasi setelahnya pernah mendarat di bulan, mengulangi kesuksesan proyek Apollo 11.
Modul Lunar Lander selama menjalankan misi pendaratan manusia di bulan pada program Apollo 11. Lunar Lander terlihat bukan jenis wahana ulang-alik. Kira-kira misi mengembalikan para Astronot kembali ke bumi bagaimana ya?
3. Tiada Gemerlap Bintang-Bintang di Bulan.
Tampilan langit luar angkasa yang begitu gelap gulita tanpa cahaya bintang pun yang jadi latar belakang pada setiap foto-foto para awak Apollo 11 sewaktu berjalan-jalan di bulan.
Bukankah justru di bulan yang tanpa atmosfer yang melapisi dan awan-awan yang bergelantungan, maka di sana bakal terlihat jelas hamparan gemerlap milyaran cahaya bintang?
Foto Edwin Eugene 'Buzz' Aldrin Jr. saat melenggang kaki di permukaan bulan dalam proyek Apollo 11. Foto sumber; nasa.gov 'Buzz Aldrin on the Moon'
4. Teknologi Anti Radiasi Matahari.
Hingga akhir tahun 1960-an masih banyak yang meragukan manusia waktu itu telah berhasil mengembangkan sains dan teknologi helm kaca berwarna gelap yang melindungi wajah para awak Apollo 11 dari radiasi matahari yang memapar mereka secara langsung, selama mereka melenggang di bulan. Jelas, cahaya matahari di luar angkasa tanpa perlindungan atmosfer akanlah sangat menyilaukan mata manusia bahkan bisa membuat buta.
Manusia di bumi yang telah dianugerahkan tujuh lapis atmosfer pun tak mampu berlama-lama menatap cahaya matahari secara langsung. Paling lama hanya dua hingga lima detik saja dengan mata telanjang kuat memandang matahari, tanpa berkedip.
Bagaimana bisa mata para awak yang dikabarkan berjalan, berlari dan riang melompat-lompat di atas permukaan bulan, mereka mampu bertahan, asyik berlama-lama menikmati paparan cahaya dan radiasi matahari di tempat yang sama sekali tanpa lapisan atmosfer?
Selain itu, tahun 1960-an apakah sudah ada ilmu pengetahuan dan teknologi pembuatan kaca anti radiasi sekuat cahaya matahari di luar angkasa, bagi mata manusia?
Ada juga kacamata RayBan. Itu pun yang berkualitas asli, orisinil dan hanya diperuntukkan bagi pilot pesawat udara yang melintasi angkasa dalam bumi. Asli, hargaya memang mahal itu kacamata. Hingga kini pun Penulis belum mampu untuk membelinya.
Adapun RayBan yang jauh lebih murah biasanya dijual di lapak-lapak pasar Mangga Dua sana, tapi bukan untuk pilot penerbang pesawat udara. Melainkan sekedar buat gaya-gayaan dalam bus kota, angkot, kereta komuter, mejeng di pantai ancol, nampang di terminal bus, atau pas lagi mengendara motor roda dua, biar nggak kelilipan. Bisa juga buat sembunyikan mata yang lagi bintitan (timbilen).
5. Pengaruh Gravitasi Bulan.
Selain itu semua, gambaran awak Apollo 11 yang berlarian sambil melompat-lompat demi meyakinkan pemirsanya bahwa gravitasi bulan sangatlah rendah. Malah justru membuat banyak orang mengernyitkan dahi pegang dagu, bertanya-tanya dalam hati;
“Loh... bukannya kejadian pasang surut air lautan di bumi itu akibat pengaruh gravitasi bulan? Berarti besar banget dong kekuatan gravitasi bulan itu.”
Gaya gravitasi bulan hanya 1/3 gravitasi bumi pun masih rekaan manusia di bumi. Bagaimana bisa tepat memperkirakan gravitasi bulan itu 1/3 bumi, apabila belum pernah sepenuhnya mengeksplorasi bulan sepenuhnya?
“Jika bulan gaya gravitasinya mampu membuat kejadian pasang surut lautan sebumi, betapa kuatnya gravitasi bulan itu. Bisa-bisa manusia tak bakal mampu berjalan di atasnya. Bergerak saja susah.” Begitu lanjut pertanyaan banyak orang tersebut di atas, masih dalam hati.
Foto seorang Astronot terlihat melompat sambil berpose memberi hormat di atas permukaan bulan. Foto sumber; nasa.gov 'Jumping Salute'
Hingga, banyak orang mengganggap bahwa dusta yang dirawat itu sebagai kebenaran.
Pendaratan di Bulan Demi Adu Gengsi (?)
Jadi, keakuratan sejarah tentang mendaratnya wahana luar angkasa ulang-alik Apollo 11 dan kedua kaki manusia pernah meniti permukaan bulan yang penuh bekas hantaman meteor pada tahun 1969 itu, hingga sekarang masih dipertanyakan dan diragukan kebenarannya.
Konon, itu semua adalah dampak dari era berkobarnya perang dingin, yang seru terjadi pada tahun 1960-an, dimana ambisi Amerika Serikat sebagai negara adidaya, tak mau kalah bersaing dengan sesama negara adidaya yang berideologi sama bertolak belakang dan menguasai Eropa Timur, yakni; Uni Sovyet.
Saat itu, Uni Sovyet pada April 1961 telah lebih dahulu berhasil menorehkan tinta emas sejarah, berupa keberhasilan pengorbitan seorang kosmonot bernama Yuri Gagarin, dalam wahana luar angkasa yang diawakinya telah melalang di luar angkasa, keluar dari bumi. Lalu, dia bersama Vostok 1, wahana yang membawanya bertualang di luar orbit bumi selama 100-an menit, kembali lagi ke bumi.
Namun, apakah catatan sejarah tentang pendaratan manusia di bulan menyerah begitu saja pada orang-orang yang menyangsikan kebenaran proyek Apollo 11 pada 20 Juli 1969 dan program Apollo terakhir NASA dalam mengeksplorasi bulan, yakni Apollo 17 pada 7 Desember 1972?
Tentu, jawabannya adalah; Tidak!
Foto seorang Astronot tengah mendarat di permukaan bulan dalam program Apollo 17. Foto sumber; nasa.gov 'Apollo 17 Astronot and United States Flag on Lunar Surface'
Pada sebuah proyek besar yang bertujuan untuk membentuk cara berpikir, mindset, yang menetap dalam skala global, bahkan jika memungkinkan dari generasi ke generasi, maka suatu kebohongan bakal akan dipertahankan. Hingga, banyak orang mengganggap bahwa dusta yang dirawat itu sebagai kebenaran.
Apabila manusia benar telah pernah mendarat di bulan, maka setelah proyek Apollo 11 dan Apollo 17, bakal banyak usaha manusia untuk mengeksplorasi bulan dan kegiatan itu pasti terberitakan, karena menjadi prestasi sangat membanggakan bagi bangsa yang adidaya, Amerika Serikat.
Bahkan, sineas Inggris pun pernah mengkritik halus kebohongan soal pendaratan manusia di bulan dalam salah satu adegan seru dalam film Diamonds Are Forever, buatan tahun 1971. Ada adegan di mana si agen rahasia 007 berkejaran dengan musuh-musuhnya di gurun Nevada.
Lalu mereka yang saling kejar, tak sengaja masuk ke dalam studio film yang di dalamnya ada kegiatan syuting tentang astronot-astronot yang tengah beraksi mendarat dan berjalan di bulan.
…ditenggarai sebagai biang badai gelombang kosmis, yang mengancam eksistensi bumi.
Merawat Fiksi Melalui Karya Seni
Tiada pernah menyerah, melalui pendekatan karya seni populer yang dikemas dalam bingkai fiksi sains pun secara efektif rajin ditawarkan lintas generasi. Salah satunya sebuah karya sinema berjudul Ad Astra, besutan tahun 2019.
Film yang bertutur tentang petualangan pria paruh baya yang berkelana ke luar angkasa hingga memasuki wilayah di planet Neptunus, yang berjarak sekira 2.714 milyar Mil (1 Mil = 1,609 Km), demi memenuhi obsesi agar berjumpa dengan sang ayahanda, yang sejak 30-an tahun terjebak di sekitar planet itu, tanpa pernah bisa kembali ke bumi.
Sekaligus, pengembaraan pria paruh baya ini adalah demi mengurai misteri, tentang apa saja yang terjadi di planet Neptunus, yang ditenggarai sebagai biang badai gelombang kosmis, yang mengancam eksistensi bumi.
Poster Ad Astra (2019)
Film yang dibintangi aktor dan aktris yang menjanjikan kualitas aktingnya ini, justru terjerumus pada melankoli perjuangan seorang anak yang selalu bermimpi menemukan ayahandanya yang hilang.
Beberapa adegan di bulan, masih pada skenario berbasis tuturan sejarah kontroversial tersebut di atas. Juga, beberapa kisah minor yang berpotensi menjadi tuturan yang lebih menarik, seperti peperangan antar kelompok yang memperebutkan area tambang mineral di bulan dan berubahnya sifat primata hasil uji coba luar angkasa, justru tak terbangun malah dibiarkan sia-sia di tengah alur cerita.
…sang ibunda selain lebih mencurahkan hangatnya kasih sayang, juga memberi tantangan.
Kasih Ayah Membekas, Kasih Ibu Tiada Batas
Lalu, mengapa Ad Astra mengisahkan sosok ayah oleh anaknya? Bukankan anak itu lebih merasa kehilangan ibundanya dibanding ayahnya?
Karena, selain sejak jabang bayi dalam rahim hingga balita sang anak sudah terjalin emosi batinnya melalui tali pusar dan air susu ibunya. Juga, ketika remaja beranjak dewasa, anak itu lebih susah meminta uang saku kepada ibunya dibanding ke bapaknya.
Jika anak minta uang saku ke ibunya, sering kali ditanya alasan dan hendak dibuat apa itu uangnya mulai A hingga balik ke A lagi. Tapi, jika minta sama ayahnya, bakal lebih mudah, langsung di-acc proposal permintaan uangnya.
Itulah yang menyebabkan, ikatan emosi anak itu lebih dekat ke ibunya. Karena justru, sang ibunda selain lebih mencurahkan hangatnya kasih sayang tak terbatas, juga memberi tantangan. Contohnya ya pas si anak mengajukan proposal minta dana itu tadi.
Oleh karenanya, seandainya film yang dibintangi oleh Brad Pitt yang bertutur tentang perjalanan pria paruh baya bertualang ke luar angkasa demi mencari ibundanya, mungkin bakal lebih menarik. Sosok ibundanya pun akan lebih greng jika diperankan oleh Sigourney Weaver, aktris spesialis karya-karya sinema yang berkisah tentang luar angkasa beserta alien-aliennya.
Namun demikian, setiap karya seni layar perak memang selalu diupayakan terdapat pesan moral.
Ad Astra pun menyajikan pesan betapa seorang ayahanda sedapat mungkin dekat dengan anak-anaknya. Agar kelak sang anak tak penasaran dengan nilai-nilai keteladanan yang secara biologis genetik, tertanam dan membekas dalam dirinya.
Ibaratnya tuturan Ad Astra sepadan dengan sebait syair lagu Titip Rindu Buat Ayah, yang pernah dilantunkan oleh Ebiet G Ade.
“…tapi kerinduan tinggal hanya kerinduan, anakmu sekarang banyak menanggung beban…”