Abu Hurairah bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda: “Apabila seseorang itu meninggal dunia maka terputuslah amalannya kecuali dari tiga perkara; sedekah jariah, ilmu yang dimanfaatkan dan anak yang soleh mendoakan untuknya.”

Tulisan ini akan difokuskan pada amalan pertama yakni "Sedekah" yang berdasarkan ajaran Islam hukumnya terbagi 4 (empat), yaitu :

1. Wajib, ketika menemukan orang yang membutuhkan

2. Sunnah, umat islam dianjurkan untuk bersedekah sebagai sunah Rosul-Nya.

3. Makruh, ketika barang yang disedekahkan buruk dan tidak bisa dimanfaatkan

4. Haram, ketika digunakan untuk maksiat atau kejahatan

Defenisi dari masing-masing hukum diatas adalah bahwa akan menjadi "Wajib" jika amalan tersebut dilakukan akan berpahala dan jika ditinggalkan akan berdosa, sementara "Sunah" jika amalan tersebut ditinggalkan tidak akan berdosa dan dilakukan akan menjadi pahala, sebaliknya "Makruh" jika amalan tersebut ditinggalkan akan berpahala dan dilakukan tidak akan berdosa (jika niatnya memang tidak buruk) selanjutnya "Haram" jika dilakukan akan berdosa dan ditinggalkan akan berpahala.

Beberapa point diatas yang menjadi dasar ajaran Islam untuk mengajak umat nya untuk bersedekah, disamping alasan-alasan lain seperti yang akan saya uraikan pada tulisan ini, meski skeptisme itu pun muncul ketika alasan "sedekah" digunakan oleh oknum-oknum demi kepentingan-kepentingan politiknya yang banyak terlihat secara nyata di masyarakat pada musim-musim kampanye, seperti pemberian sembako, pakaian, bahkan kebutuhan keagamaan seperti hijab dan sarung serta sajadah.

Selain itu, di era globalisasi saat ini dengan tingkat tertinggi para pengguna smartphone serta medsos masyarakat Indonesia di dunia, alasan sedekah pun menjadi tidak murni lagi sebagai "niat untuk membantu", karena sebagian besar orang-orang yang bersedekah akan meminta foto yang kemudian diuploud ke medsos, you-tube dan sebagainya, akan memiliki tujuan lain bersedekah seperti : eksistensi, pujian, atau bahkan materi ketika viewer you-tube bisa menembus standar untuk bisa memperoleh bayaran atas video yang telah ditonton, di-like, di-comment atau di-subscribe oleh orang lain.

Jika memandang dari sisi para "pemberi sedekah" mungkin aktifitas-aktifitas "ekspos" sedekah itu mungkin tidak bisa disalahkan jika kita melihat adanya tujuan untuk menggalang dana lebih, sehingga bisa memberikan lebih dari apa yang mereka butuhkan atau mungkin mampu memberikan harapan bagi mereka yang tidak mampu untuk menggapai cita-cita yang sudah pupus. 

Namun jika kita melihat dari sisi para "penerima sedekah" bisa saja niat baik tersebut malah menjadi pemicu mereka untuk semakin tidak memiliki harapan atau bahkan menyalahkan kondisi atas ketidakmampuan mereka, "mengapa saya harus dikasihani, mengapa harus ada yang kaya dan miskin, mengapa saya terlahir miskin, mengapa saya tidak mampu memberi nafkah keluarga, mengapa saya hidup di panti asuhan dan tidak memiliki orang tua seperti yang lainnya, mengapa Tuhan tidak adil dengan hidup saya, dan haruskah saya akhiri saja hidup ini daripada selalu diberi rasa kasihan oleh manusia lain, saya malu dan sebagainya".

Pemikiran-pemikiran diatas lah yang terkadang membuat saya untuk berfikir ulang dan membuat strategi dalam memberi sedekah, namun tentu hal ini tidak akan menjadi penghambat bagi kita untuk bersedekah jika hati memang benar-benar berniat untuk membantu meringankan beban yang mereka pikul. Karena menurut saya, bantuan yang benar-benar akan terasa selain materi adalah support dan dukungan dengan cara tetap memberi mereka harapan untuk dapat meraih impian dan cita-cita dan tidak menyerah pada keadaan. Niat-niat seperti ini yang menurut saya akan diberikan keajaiban nyata tanpa disangka-sangka. Berikut akan saya uraikan beberapa keajaiban yang menurut saya diperoleh sebagai hubungan timbal balik atas sedekah yang ikhlas bukan menunggu saat kita mampu, tapi memang niat hati kita sudah mau.

Beberapa bulan yang lalu saya merasakan kondisi keuangan yang sangat parah karena adanya kebutuhan-kebutuhan lain yang tidak disangka-sangka sebagai akibat dari beban yang muncul atas usaha yang baru saya jalankan. Bahkan untuk makan sehari-hari saya harus mengharapkan pinjaman dari teman-teman kantor, karena selain karyawan saya juga mencoba usaha dan juga melanjutkan pendidikan untuk meraih gelar magister. 

Suatu hari dengan sisa uang pinjaman sebesar Rp.30.000 yang rencana akan saya gunakan untuk kebutuhan selama 2 hari hidup di Jakarta, ditengah jalan menuju tempat tinggal saya ketemu seorang kakek yang sudah tua renta duduk dikursi kayu sambil membuat mainan anak berupa balon air. Dari kejauhan saya melihat perangkat usaha yg akan dipikulnya sambil berkeliling dengan beban berupa air.

Sambil berjalan menuju arah si kakek yang kebetulan juga searah dengan tempat tinggal saya, otak ini terus berfikir. Begitu berat beban yang dipikul si kakek dengan perlengkapan usahanya yang terbuat dari kayu, untuk siapa dia berjuang, apakah ada istri, anak atau cucu yang menunggu hasil usahanya hari ini dirumah, dan sebagainya. 

Bentuk usaha si kakek menurut saya juga tidak akan sesuai harapan, usaha berupa balon air yang saya ragu bagaimana cara anak-anak memainkannya, hanya air warna warni didalam kantong plastik, air tentu punya beban yang tidak ringan untuk dipikul, anak-anak jaman kini juga lebih mengiginkan permainan yang lebih canggih dari ini, terbukti meskipun banyak anak kecil disekitarnya tidak satu pun yang membeli, saya ingin bantu pikir saya tapi saya juga tidak mampu, karena uang dikantong hanya 30 ribu rupiah itupun hasil pinjaman dari teman dan sudah ada tujuan untuk hidup 2 hari ini.

Baiklah, niat baik tidak boleh kalah dengan materi yang masih bisa saya cari fikir saya, masih bisa saya minjam lagi dan belum tentu si kakek punya akses untuk pinjam uang ke teman-teman seperti saya. Namun, jika saya beri begitu saja bagaimana ya respond nya, terbantu atau malah sedih atau tersingung dan marahi-marah pada saya, kembali saya berfikir sambil memperlambat langkah saya menuju arah si kakek. 

Akhirnya, saya memutuskan untuk memberi sebagian uang saya sebesar 20 ribu rupiah dan sisanya bisa saya gunakan untuk makan saya pada hari itu. Adapun strategi yang saya gunakan adalah dengan cara membeli 2 buah mainan dengan yang dihargai Rp.2 ribu dan sisa uang saya serahkan untuk nya. Luar biasa si kakek memberikan respond yang membuat saya menjadi seorang manusia yang sangat beruntung diberikan doa nya, kebahagian yang tidak bisa saya nilai dengan materi yang saya berikan padanya saat itu. Begitu berharganya nominal rupiah yang tidak seberapa menurut saya tapi sangat berharga baginya atau mungkin keluarganya dirumah.

Sebulan pasca kejadian diatas, saya menerima gaji dari perusahaan saya dan cukup membingungkan karena selisih lebih dari gaji saya pada bulan-bulan sebelumnya. Ada apa ini pikir saya, apakah ada bonus dari perusahaan tapi belum waktunya pikir saya. Akhirnya saya memutuskan untuk meminta konfirmasi dari tim Payroll di perusahaan saya agar di cek kembali karena khawatir itu ternyata bukan hak saya atau hanya kesalahan dari tim Payroll perusahaan saya untuk kemudian bisa saya kembalikan sebelum terpakai. 

Kemudian saya mendapatkan informasi bahwa itu memang hak saya, gaji saya berlebih sebesar Rp.600.000 lebih karena ada pengembalian kelebihan atas pembayaran pajak penghasilan saya. Seketika saya sadar, ini bukti keajaiban atas sedekah yang saya lakukan sebulan yang lalu. hanya Rp.20 ribu diganti dengan Rp.600 ribu tanpa disangka-sangka. Tentu bersedekah dengan ikhlas tanpa mengharapkan ganti yang berlipat ganda di dunia.

Pengalaman lainnya saya peroleh dari beberapa tahun kebelakang, ketika saya masih duduk di bangku kuliah untuk gelar S1. Saya memang bukan berasal dari keluarga mampu tapi punya kemauan kuat untuk kuliah, sampai akhirnya bisa kuliah dengan bantuan beasiswa salah satu perusahaan swasta ternama. Tidak tanggung-tanggung, selain biaya kuliah yang dibayarkan hingga wisuda saya juga peroleh uang saku tiap bulannya dimana nominalnya sangat berlebih dari kebutuhan saya. 

Saat itu adalah hari dimana seluruh penerima beasiswa wajib hadir dalam sesi training dan meeting bersama founder beasiswa saya. Dengan himbauan bahwa siapa saja yang tidak hadir akan diputuskan beasiswa nya sebagai bentuk ketidakdisiplinan. Ketika saya berjalan kaki menuju lokasi training yang cukup jauh dari pintu gerbang universitas (universitas tersebut merupakan pembebasan dari ribuah hektar lahan sawit), saya bertemu dengan seorang ibu-ibu cukup tua yang cemas dan khawatir serta kebingungan seorang diri.

Kemudian dengan rasa penasaran saya bertanya apa yang membuat dia begitu bingung, akhirnya si ibu tua pun bercerita bahwa itu pertama kali beliau datang ke kota saya dengan tujuan kampus saya karena mencari anak nya yang sudah bertahun-tahun kuliah namun tidak lulus, bahkan si anak selalu minta uang tambahan dengan alasan kuliahnya hingga si ibu pun menjual beberapa lahan sawit yang menjadi tumpuan hidup mereka. Saya menanyakan identitas anak ibu ada di fakultas apa yang ternyata lokasinya bertolak belakang dengan arah lokasi training saya. Lalu saya melihat arloji di tangan yang waktunya sungguh tidak akan sempat untuk membantu ibu ini hingga ke fakultas yang menjadi tujuannya.

Otak dan hati ini pun saling berinteraksi, dimana pola interaksi nya saling berbenturan. Otak berfikir bahwa jika saya membantu maka otomatis saya tidak akan bisa datang tepat waktu, belum lagi harus mencari informasi disekitar fakultas, ke bagian humas dan sebagainya. Iya, jikalau saya bisa kembali ke lokasi training tapi acara belum selesai, jika sudah selesai sebelum saya tiba maka habislah nasib beasiswa saya, lalu bagaimana kuliah saya dan siapa yang akan membayar nya nanti. Namun hati berkata, percaya bahwa rejeki Allah itu luas, lebih luas dari bumi, tata surya dan lautan yang telah Dia ciptakan. Jika memang tidak rejeki, maka apapun usaha saya tidak akan bisa mampu membuatnya tetap menjadi rejeki saya, "Kun Fayakun".

Akhirnya, saya putuskan untuk tetap membantu, hingga akhirnya si ibu tua tersebut bisa bertemu dengan pihak fakultas yang memberi informasi bahwa si anak tersebut sudah di Drop Out (DO) beberapa tahun yang lalu, dan bahwa si ibu sudah ditipu oleh anak nya sendiri selama ini. Mengingat training dan beasiswa itu, saya masih tetap memutuskan untuk berusaha dan ijin pamit lebih dahulu serta menitipkan ibu tua yang sedang menangis pada pihak fakultas. 

Saya berlari menuju lokasi training yang acara nya memang belum selesai namun penjagaan ketat dari pihak founder menyatakan saya tidak boleh masuk. Saya tetap berusaha menjelaskan dan menceritakan apa yang sudah terjadi sehingga saya terlambat dari agenda acara yang mereka wajibkan, dan pada akhirnya penjelasan saya tersebut membuat mereka memberikan kesempatan pada saya untuk masuk serta mengisi absen kehadiran sebagai bukti kedisiplinan saya pada syarat founder beasiswa. Alhamdulillah masih rejeki, pikir saya.

Kejaiban pun terjadi beberapa saat kemudian, tidak perlu menunggu waktu sebulan seperti cerita sebelumnya. Pada akhir acara ternyata ada sesi penarikan undian dari absen kehadiran mahasiswa, kami yang semua penerima beasiswa terdiri dari sekitar 500 orang akan diundi untuk memperoleh hadiah dorprize berupa uang dan buku yang cukup terkenal saat itu, disertai dengan tandatangan penulis serta foto lansung dengan penulisnya. 

Ya, saya lah pemenang nya. Tuhan lansung mengganti sedekah yang saya berikan kepada si ibu tua bukan atas materi tapi hanya sekedar bantuan tenaga diantara dilema antara beasiswa dan membantu si ibu tua. Bahwa sedekah bukan hanya berbentuk benda, uang atau pun harta tapi sedekah pada dasarnya adalah niat yang tulus untuk membantu orang lain yang sedang kesulitan meski hanya sekedar meringankan beban nya saja.

Adapun pengalaman-pengalaman yang disampaikan diatas bukan atas dasar maksud untuk berbuat ria atau sombong, tapi hanya untuk berbagi pengalaman hidup dengan dasar-dasar kepercayaan yang sudah dijarkan oleh para orang tua pada kita. Adapun harapan saya membuat tulisan ini agar dapat menjadi inspirasi bagi kita semua, bahwa bersedekah bukan hanya untuk orang-orang yang mampu saja, bersedekah pada inti nya adalah ketulusan hati, keikhlasan atau bahkan rela mengorbankan apapun yang sudah kita miliki dengan niat tulus untuk membantu orang yang kesulitan saat kita temukan atau mungkin meminta bantuan pada kita secara lansung.

Bersedekah menurut saya tidak akan membuat kita miskin, karena bersedekah memang bukan orang kaya kepada orang miskin, bahkan orang miskin pun sebenarnya mampu bersedekah, tentu bukan dengan materi tapi dengan kemampuan apapun yang dia miliki untuk bisa membantu orang lain. Kemauan untuk bersedekah yang harus ditanamkan sedini mungkin, apalagi bagi kita yang memiliki anak-anak kecil yang memang masih dalam masa pembelajaran bagi mereka. Jangan menanamkan pendidikan bagi mereka bersedekah untuk di foto, untuk di instagram kan atau di facebook kan kecuali memang tujuannya betul-betul untuk kebaikan.

Keajaiban nyata yang dirasakan ketika bersedekah adalah kebahagian batin, saat melihat mereka merasa terbantu atas kesengsaraan dan kesulitan hidup yang mereka rasa sungguh pelik atau bahkan sudah membuat mereka merasa putus asa selama ini. Harapan, Impian dan Cita-cita adalah hal-hal yang harus dibangun pada masyarakat yang saat ini dirasa sebagai golongan tidak mampu di Indonesia menurut saya, agar tetap terus bersemangat dalam merubah pola pikir dan gaya hidup mencapai kehidupan yang lebih baik dan bisa kembali membantu orang lain yang lebih sulit lagi dari mereka. 

Produktifitas kerja akan mampu dipicu jika impian dan harapan pun bisa dibangun. Rasa sakit yang dialami sebenarnya hanya berasal dari pemikiran dan keputusasaan mereka, dan rasa sakit itu harus diobati dengan memberikan dukungan dan support baik secara lahir maupun batin. Semoga Indonesia dipenuhi oleh individu-individu yang selalu memiliki harapan maju dan pada akhirnya membawa Indonesia sebagai negara yang makmur dan sejahtera di dunia. Amin