Jakarta adalah ibu kota Indonesia yang memiliki setumpuk gundukan masalah dan polemik sosial. Jakarta membutuhkan pemimpin yang siap dari berbagai aspek, maka dari itu seorang yang akan menjadi calon gubernur sebaiknya memiliki pengetahuan luas tentang tata kelola suatu pemerintahan daerah.
Jakarta butuh seseorang yang punya pengalaman memimpin serta menentukan arah kebijakan yang dinilai krusial dan resisten, sampai kecakapan dalam menyampaikan informasi kepemerintahan, baik secara internal maupun eksternal.
Calon gubernur nomor urut 1, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Sylviana Murni, dianggap tidak siap secara utuh ketika dicalonkan oleh sang peppo sebagai Gubernur. AHY dicalonkan layaknya hembusan angin lewat alias tanpa persiapan. Berikut bukti AHY tidak siap jadi Gubernur.
Berpengetahuan Dangkal
Menjadi pemimpin tanpa memiliki pengetahuan merupakan saat yang ditunggu-tunngu waktu kehancurannya. Pengetahuan disebut sebagain mesin penggerak jalannya arah tindakan dan pemikiran karena pengetahuan adalah berbagai gejala yang ditemui dan diperoleh manusia melalui pengamatan akal.
Pengetahuan muncul ketika seseorang menggunakan akal budinya untuk mengenali benda atau kejadian tertentu yang belum pernah dilihat atau dirasakan sebelumnya. Misalnya ketika seseorang mencicipi masakan yang baru dikenalnya, ia akan mendapatkan pengetahuan tentang bentuk, rasa, dan aroma masakan tersebut.
Begitu juga yang dialami AHY, dari teori pengetahuan yang telah disebutkan bahwa AHY merupakan calon yang belum pernah mencicipi kontestasi pilkada apalagi kursi pemerintahan. Jika disandarkan kepada kursi DKI Jakarta maka levelnya akan melambung terlalu tinggi.
Pasalnya, si anak muda ini jangankan menjadi cagub, menjadi calon kepala desa pun belum pernah dialaminya. Lalu, pengetahuan apa yang ia miliki tentang persoalan pemerintahan?
Jawabannya tentu tidak ada dan nihil. Selanjutnya, bagaimana jika DKI dipimpin oleh seorang gubernur yang berpengetahuan dangkal? Cepat atau lambat kondisi DKI Jakarta akan hancur karena kedangkalan pengetahuan Gubernur.
Berpengalaman Nol
Berlatar belakang seorang militer tentunya tidak sama sekali memiliki waktu untuk berkecimpung dan berproses sebagai seorang birokrat dan mengenal tata kelola pemerintahan. Kariernya sebagai TNI AD berpangkat menengah bukan modal cukup untuk, jangankan sebagai gubernur, sebagai calon pun sama sekali layak dan pantas.
Tentu, kita tahu bahwa pengalaman dihasilkan atas proses yang terjadi di lapangan, bermuamalah dengan sesama manusia dan interaksi sosial. Dari hasil tersebut akan memperoleh suatu pelajaran yang dapat diimplementasikan di kemudian hari ketika terjadi hal serupa, sehingga bisa dijadikan landasan atas kesiapan mengahadapi gejala-gejala persoalan masyarakat yang akan muncul di kemudian hari.
Maka, dapat disimpulkan bahwa AHY dengan segala persiapannya menjadi seorang Cagub DKI Jakarta pada pilkada 2017 dinilai jauh dari kesiapan dan pengalaman.
Tidak Cakap Berbicara Soal Jakarta
Sudah lebih dari dua kali, stasiun televisi swasta Indonesia mengadakan acara debat terbuka untuk cagub-cawagub DKI Jakarta 2017. Ironisnya, pasangan Cagub nomor 1 AHY menolak hadir mengikuti acara tersebut dengan dalih “lebih memilih bertemu rakyat”. Padahal, kehadiran AHY merupakan barometer dan ajang eksis dikenal masyarakat dalam menyampaikan visi-misi serta program kerjanya untuk lima tahun ke depan.
Di sisi lain, AHY terjebak dengan pertanyaan Mbak Najwa saat diundang di acara MATA NAJWA yang membuatnya emosi. Oleh karenanya, AHY dianggap telah melakukan blunder sebagai cagub, karena penolakannya mengikuti debat kandidat dengan pasangan cagub lainnya.
Kesimpulan dari penjelasan di atas, ketika penolakan AHY untuk mengikuti acara debat kandidat, setidaknya masyarakat DKI Jakarta secara keseluruhan telah memberikan dampak negatif terhadap AHY.
Anggapan yang mungkin bisa terjadi, bahwa AHY tidak siap pimpin Jakarta. AHY harus banyak belajar soal Jakarta sebelum menjadi cagub. Saat ini, ia dinilai tidak cakap berbicara soal Jakarta dan lain-lain.