Tidak jarang bahkan banyak sekali masyarakat, termasuk orangtua kita sendiri yang menganggap bahwa sekolah itu identik untuk bagaimana nantinya mencari kerja. Pertimbangan utama orangtua menyekolahkan anaknya adalah agar kelak mendapatkan pekerjaan yang sesuai dan memadai dari apa yang telah diinvestasikan serta ditanamkan di sekolah. Yang menjadi persoalan adalah mengapa opini publik sudah sedemikian rupa kuat memegang anggapan bahwa tujuan sekolah sama dengan untuk mencari kerja? Hemat saya ini tak lain akibat dominannya budaya pragmatisme di masyarakat yang kemudian berpengaruh ke dalam pendidikan kita.
Bahkan di dalam sebuah seminar di perguruan tinggi ternama, ada seorang guru besar di bidang ekonomi mengatakan “Sebuah perguruan tinggi yang tidak mengikuti arus pasar, maka perguruan tinggi tersebut sakit”. Sebetulnya pernyataan ini tidaklah salah, namun tidak sepenuhnya juga benar. Pernyataan demikian sangatlah berlebihan dan terkesan menundukkaan institusi akademik di bawah kuasa korporasi. Pertanyaan reflektifnya adalah “Apa yang sebenarnya menjadi vocal values dari institusi pendidikan? Apakah academic value atau corporate values?” Seiring dengan dominannya budaya pragmatis yang terjadi di masyarakat banyak di antara perguruan tinggi pula terjebak kepada budaya pragmatis. Salah satunya dengan menjadikan corporate values sebagai nilai utama dalam membangun institusi pendidikan melebihi academic values.
Pendidikan memang selalu menjadi instrumen penting dalam sejarah kehidupan. Dahulu pendidikan dikuasai oleh para kaum filosof (Thales, Socrates, Plato, Aristoteles, dll). Kemudian pendidikan dikuasai oleh para raja (Alexander Agung, Marcus Aurelius, dll). Pendidikan juga pernah dikuasai oleh para kaum agamawan (Yesus, Muhammad, Aquinas, dll). Pendidikan pernah dikuasai oleh para kaum saintis (Gutenberg, Newton, Einstein, dll). Dan sekarang pendidikan dikuasai oleh para kaum kapitalis liberalis. Tarik menarik kepentingan pendidikan antara idealisme dan pragmatisme dalam dunia pendidikan memang selalu terjadi. Di satu sisi, pendidikan punya peran dalam membentuk kehidupan publik, bahkan pernyataan yang lebih tepat tidak sekadar memberi afirmasi atas peran pendidikan dalam kehidupan publik, meminjam perkataan Neil Postman justeru “Kehidupan publik seperti apa yang hendak dibentuk oleh dunia pendidikan?”. Pendidikan diyakini memainkan peranan yang signifikan dalam membentuk kehidupan politik dan kultural. Pendidikan adalah media untuk menyiapkan dan melegitimasi bentuk-bentuk tertentu kehidupan sosial. Jika hal seperti ini dikedepankan, maka yang menjadi basis institusi pendidikan adalah nilai-nilai idealisme.
Jika pertanyaan di atas dibalik menjadi “Pendidikan seperti apa yang hendak dibentuk oleh pasar?” maka dunia pendidikan akan terseret dan terdikte oleh kepentingan pasar. Ideologi pasar jelas berbeda dengan ideologi pendidikan. Ideologi pendidikan lebih mementingkan nilai-nilai etis-humanistik, sedangkan ideologi pasar bertumpu pada nilai-nilai pragmatis-materialistik dan menekankan budaya kompetisi dibanding koperasi. Ketika ideologi pasar mendominasi dunia pendidikan maka yang terjadi adalah pendidikan kita akan mengedepankan nilai-nilai korporasi yag menekankan penguasaan teknik-teknik dasar yang diperlukan dalam dunia kerja.
Budaya pragmatis sekarang sudah begitu kuat menancap dalam kehidupan publik. Kita lihat, misalnya, banyak orangtua yang punya persepsi bahwa sekolah adalah investasi masa depan. Yang dimaksud investasi disini lebih banyak dipahami dalam kerangka ekonomi dibanding non-ekonomi. Investasi leher keatas (pengisian keilmuan dalam kerangka berpikir siswa) mendapatkan tempat yang terdiskreditkan. Ketika sekolah dipersepsi sebagai investasi ekonomi, maka tujuan utama sekolah adalah mencari kerja. Persepsi di atas punya implikasi yang luas. Masyarakat akan cenderung menyekolahkan anaknya ke fakultas-fakultas yang sekiranya bisa menghasilkan keuntungan ekonomi yang lebih banyak. Akibatnya, fakultas yang akan laku adalah fakultas yang berorientasi pasar dan mudah mencari kerja, seperti ekonomi, teknik, kedokteran, dll. Sementara di fakultas-fakultas yang non-pasar seperti filsafat, antropologi, sastra, dst, akan sepi peminat.
Budaya pragmatis juga akan berimplikasi pada proses pedagogis. Ada tiga kategori pengetahuan menurut Habermas; teknis, praktis, dan emansipatoris. Jika budaya pragmatis mendominasi pendidikan, maka pengetahuan teknis-praktislah yang akan didesiminasikan dalam proses pembelajaran. Implikasi yang seperti model ini dalam pendidikan adalah bahwa pengetahuan harus beroperasi dalam kerangka lawlike mode of thought dan pengetahuan dipisahkan dari proses pembentukannya. Yang ditekankan dalam pembelajaran adalah memiliki dan mengakumulasi pengetahuan. Proses pedagogis seperti ini tidak akan bisa melahirkan subjek (peserta didik) yang kritis.
Model pemikiran seperti ini mendegradasi kesadaran historis-kritis peserta didik dengan cara menggeser ide tentang perkembangan diri mereka yang bersifat moral dan etis dengan hanya menekankan pada perkembangan diri yang bersifat teknis-material. Rasionalitas teknokratik seperti ini hanya menekankan pada kepentingan pragmatis, atau apa yang disebut dengan what is, tapi tidak memberi perhatian pada kepentingan-kepentingan yang bersifat idealis-utopis, atau apa yang disebut dengan what should dan can be Akibatnya, nilai-nilai korporasi yang lebih pragmatis-teknis dikedepankan sementara nilai-nilai moral-etis terpinggirkan.
Kita harus menyadari bahwa pendidikan dan sekolah tidaklah identik dengan mencari kerja. Asumsi sekolah sama dengan mencari kerja adalah akibat pengaruh budaya pragmatisme. Mencari kerja bukanlah inti orang belajar dan sekolah. Mencari kerja adalah bagian, bukan tujuan utama dari orang yang bersekolah. Belajar dan bersekolah adalah untuk memahami kehidupan, memahami bagaimana realitas eksistensial dikonstruksi, memahami bagaimana seharusnya hidup di dan bersama dunia, dan bagaimana menjadi subjek di tengah-tengah perubahan sosial. Itulah inti pendidikan.