Sebenarnya masih terlalu siang untuk menenggak tequilla. Tapi aku tidak tahu harus memesan apa lagi. Rokok yang tinggal setengah bungkus dan orang yang dicari juga tak segera menunjukan batang hidungnya. Dari mejaku yang menghadap sebuah jendela lebar dan terbuka, matahari sore di Jakarta, kelihatan seperti tertutup kabut (sebenarnya polusi), sehingga berwarna sedikit keemasan. Aku duduk dengan headset dikepala, tanpa musik, hanya pura-pura mendengarkan sesuatu agar terlihat lebih santai. Agar gestur tubuh tidak terlihat pada mode siaga dan pengawasan.
Jika dilihat dari pemilihan dekorasi, dan jenis furniturnya, serta tata letak meja yang berbentuk lingkaran yang menyebar di setiap sudut ruangan, juga beberapa kursi tinggi di dekat meja bartender mini dan kasir, tampaknya bar dan resto ini, sengaja dibiarkan tetap terlihat lawas. Sangat khas mini bar tahun 90-an. Di pojokan juga ada panggung kecil lengkap dengan peralatannya, seperti gitar, keyboard, drum dan bass. Dilihat dari gitarnya, yaitu Gibson tipe ES-335,sepertinya musik jazz adalah musik yang paling sering dimainkan. Aku mulai menebak tipe-tipe pelanggan yang sering kemari. Kemungkinan mereka berusia empat puluh tahun ke atas. Meja melingkar ini, kemungkinan dipakai oleh satu keluarga untuk setiap satu mejanya.
Sebut saja Reynold, spesialisasi operasi penyusupan tanpa jejak, dan sangat professional di bidangnya. Tadi malam, dia telah menyusup masuk dan memasang beberapa alat penyadap di beberapa tempat dalam ruangan ini. Headset yang sedang kugunakan tidak lain adalah microphone condenser yang daya tangkap suaranya bisa disesuaikan sesuai kebutuhan. Di headset ini juga disertai penyadap agar suara bisa langsung terdengar di kantor pusat dan direkam. Awalnya aku memesan microphone yang lebih kecil sesuai standar intelejen yang sering digunakan.
Namun kata seorang teknisi kami,
“Yang sekarang modifikasi headset jauh lebih aman. Terlihat lebih kasual dan juga berfungsi ganda dalam penyamaran. Setidaknya membantumu untuk tetap terlihat innocent.”
Begitu katanya.
Salah satu sasaranku adalah mantan petinggi militer yang pernah bertugas di beberapa negara. Dia bernama Robin. Kemudian beberapa lainnya berjumlah tiga orang, yaitu Marco, Ziban dan Polo. Mereka adalah yang terduga kuat memasukan obat bius jenis baru ke kota ini. Kalangan mereka menyebutnya dengan sebutan Brenda Light. Obat bius ini tidak menyebar secara luas. Hanya di kalangan tertentu, seperti konglomerat dan pejabat. Kemungkinan besar mereka bekerja sama dengan beberapa kolega di negara tetangga yang terkenal memiliki pasar gelap obat bius yang cukup besar.
Satu jam berlalu, matahari yang tadinya berwarna keemasan mulai berubah menjadi jingga. Warna yang selalu menawarkan melankolia. Tiba-tiba aku teringat kencan pertamaku dengan Hana. Di sebuah tempat yang letaknya sangat jauh dari kota ini. Dia adalah gadis yang sangat lugu dengan dunianya sendiri. Dengan pengetahuan yang hanya di seputar lingkungan tempat tinggalnya sendiri.
Namun justru karena itulah aku memilihnya untuk mendampingi hidupku. Sehingga beberapa tahun kemudian kami mengucapkan janji pernikahan di hadapan pastor gereja. Dia ingin ikut bersamaku ke kota ini, namun demi keamanan dan keselamatannya, aku memberikannya pengertian agar tetap tinggal di tempat asalnya saja. Dan secara berkala aku yang akan pulang.
Nostalgia dan melankoliaku tiba-tiba teralihkan oleh gelak tawa yang terdengar dari arah pintu masuk. Ada beberapa pemuda yang dari penampilannya sepertinya berumur sebaya denganku. Mereka masuk ke ruangan ini, duduk, kemudian memesan makanan dan minuman. Sehingga ruangan ini mulai sedikit ramai. Tempat ini memang cukup sepi….
“ Tunggu…Sepi!!” seruku dalam hati.
Apabila Robin adalah mantan petinggi militer, tentunya dia tahu standar kerja intelejen dan penyadapan. Seharusnya dia akan memilih tempat yang cukup ramai agar banyak distorsi suara. Setidaknya dia pasti punya anak buah yang terlatih. Mereka akan segera melakukan beberapa check, minimal beberapa hari sebelumnya, di tempat diadakannya sebuah pertemuan. Anak buahnya pun tentu akan berjaga. Namun Reynold dengan mudah menyusup semalam sebelumnya.
“Anjing laknat! Ini jelas-jelas jebakan!”
Terlambat, aku terlambat menyadarinya. Dan si bangsat Reynold, diam-diam terlibat. Kemungkinan besar, dia adalah agen yang menyusup ke satuan kerja kami. Bangsat, aku terjebak dalam operasi penyergapan. Tololnya aku, sejak awal aku terlalu mengabaikan Reynold. Sekarang, aku harus berpikir untuk segera keluar dari tempat ini. Mencari Reynold dan segera membunuhnya.
Aku melepaskan headsetku berjalan kearah kasir. Seperti sudah kuduga orang-orang yang datang tadi, terlihat mendekat ke arahku. Terlihat dari pantulan kaca sebelah samping kasir. Tak mau ambil resiko, aku membanting headsetku yang sengaja aku modifikasi sendiri, agar menjadi bom asap. Sesaat kemudian berlari ke arah tangga, diiringi suara tembakan yang tak jelas arahnya.
Sampai di bawah, aku berlari masuk ke sebuah kompleks padat dengan gang-gang kecil berkelok
“Sial, aku belum mau mati, sebelum bisa memberikan buah hati untuk Hana.” Gumamku dalam hati.
2023