Tulisan dosen Ilmu Hukum UGM, Zainal Arifin Mochtar di harian ini beberapa hari lalu (Kompas, 29/3) layak menjadi perhatian kita semua. Bukan hanya karena tahun ini (dan juga tahun depan) adalah tahun politik di mana kita akan menggelar Pilkada serentak, tapi juga karena isu korupsi dan kaitannya dengan pilihan raya (Pemilu/Pilkada) merupakan tema abadi yang mengganggu hari-hari kita.
Apa yang diungkapkan Zainal dalam tulisannya yang berjudul “Korupsi Membayangi Pilkada” itu kita tahu semua. Begitu eratnya kaitan antara pilihan raya dan politik uang. Pilkada adalah ajang untuk menggelar dosa, dosa publik berupa permainan uang, baik itu berbentuk suap maupun transaksi-transaksi politik antara calon kepala daerah dan para pemilik modal.
Kita tahu semua bahwa uang dan jabatan bisa dipertukarkan. Calon-calon kepala daerah membutuhkan dukungan dana agar dipilih, sementara para pengusaha yang sudah kehabisan akal bagaimana mengembangkan usahanya mencium peluang bisnis besar dari APBN/APBD. Para pengusaha atau pemodal itu menaruh investasi dengan cara mendanai calon-calon kepala daerah. Reward-nya akan didapat nanti ketika kepala daerah itu terpilih, mereka akan menangguk uang berupa proyek-proyek APBD.
Kolaborasi antara calon kepala daerah dan pengusaha sebetulnya bukanlah fenomena unik yang terjadi di Indonesia saja. Di berbagai negara, transaksi-transaksi di balik layar seperti ini selalu terjadi. Ia terjadi di Amerika, di Eropa, dan di negara-negara manapun yang menerapkan demokrasi. Ada istilah terkenal yang biasa digunakan untuk menggambarkan fenomena menyedihkan ini: “donokrasi.”
Donokrasi adalah fenomena untuk menjelaskan keterkaitan erat antara pemberi dana kampanye (donor) dengan calon kepala daerah yang akan bertarung dalam suatu pilihan raya. Di Amerika, donokrasi dilakukan secara terbuka maupun sembunyi-sembunyi. Perusahaan-perusahaan besar memberikan dukungan (pledge) pada calon tertentu untuk mendapatkan kemudahan (atau proyek) jika sang kandidat memenangkan pilihan.
Di Indonesia, kita biasa mengenal istilah “bohir” yang berarti “pemilik modal.” Dalam bahasa aselinya (Belanda), bouwheer berarti “kontraktor” berasal dari bouwen (membangun) dan heer (tuan). Dalam bahasa Indonesia, khususnya dalam percakapan politik sehari-hari, istilah “bohir” merujuk pada pemberi modal politik. Umumnya, istilah ini digunakan secara negatif. Bohir adalah rentenir politik yang “meminjamkan” uangnya kepada calon-calon yang akan berlaga dalam pilihan raya.
Begitu vitalnya peran bohir, banyak orang yang percaya bahwa bohir adalah penentu keberhasilan seorang kandidat dalam Pilkada. Orang yang tidak punya bohir bisa dipastikan akan mengalami kesulitan. Jika dia bisa memenangkan pertarungan politik tanpa bohir, itu adalah mukjizat, yang hanya terjadi pada para nabi.
Tidak berlebihan kalau kita katakan bahwa demokrasi yang kita jalani di Indonesia adalah “bohirkrasi.” Pemegang saham terbesar dalam suatu pilihan raya bukanlah rakyat (demos), tapi bohir yang berada di balik setiap kontestan. Rakyat hanyalah pelengkap saja dari pesta yang mengatasnamakan diri mereka itu. Mungkin bagus juga kalau kita ganti istilah “pesta rakyat” menjadi “pesta bohir.”
Jalan Keluar. Bagaimana jalan keluarnya? Seperti saya singgung di atas, ini bukan masalah di Indonesia saja. Di negara-negara maju, donokrasi telah melahirkan pemimpin-pemimpin yang tidak (atau kurang) ideal. Mekanisme pemilihan yang sarat dengan campur-tangan donor menyulitkan demokrasi berjalan secara alamiah. Selalu ada kepentingan bisnis di belakang setiap pemilihan politik.
Dampak langsung dari donokrasi adalah munculnya pemimpin-pemimpin medioker yang kurang pandai bekerja (inkompeten) atau kurang memenuhi ekspektasi publik. Kandidat-kandidat yang terpilih adalah mereka yang bisa meyakinkan sebagian besar pemilih abai (ignorant voters). Dalam berbagai temuan studi mutakhir, sebagian besar pemilih dalam demokrasi adalah kaum ignorant.
Di Amerika Serikat, kombinasi pemilih ignorant dan kepentingan bohir melahirkan kepala daerah yang mengecewakan. Menurut sebuah survey menyangkut kepuasan publik (approval rating) terhadap gubernur-gubernur di AS, dari 50 gubernur terpilih, hanya tujuh yang mendapatkan nilai (tingkat kepuasan) di atas 60%. Rata-rata gubernur mendapatkan approval rating di bawah 50%. (Morning Consult, Q4/2017).
Hal yang sama sebetulnya juga terjadi di Indonesia. Dari 500 lebih Pilkada, berapa gubernur atau bupati/walikota yang berhasil menyita perhatian masyarakat karena performa kerjanya? Coba hitung! Kita lebih sering mendengar kepala daerah yang tertangkap tangan oleh KPK ketimbang mereka yang mendapatkan penghargaan atau pemberitaan karena berbagai prestasinya.
Para ilmuwan politik berusaha mencari jalan keluar dari kebuntuan demokrasi modern. Secara umum, ada dua solusi. Yang pertama bersifat radikal seperti yang diusulkan Jason Brennan dalam bukunya Against Democracy. Menurutnya, tidak ada cara lain untuk memperbaiki kualitas demokrasi kecuali dengan melakukan “sortifikasi” terhadap pemilih.
Sortifikasi adalah proses penyortiran atau pembatasan jumlah pemilih, misalnya hanya orang-orang tertentu saja yang benar-benar melek dan peduli politik yang berhak datang ke bilik suara. Mereka yang tidak punya pengetahuan atau kepedulian politik tidak layak diajak ikut Pemilu. Mekanisme penyortiran bisa berdasarkan jenjang pendidikan, bisa juga berdasarkan perilaku informasi/pengetahuan yang dikonsumsi seseorang. Brennan menyebutnya “epistokrasi.”
Yang kedua adalah solusi yang bersifat struktural, yang ditawarkan oleh Ilya Somin dalam bukunya, Democracy and Political Ignorance. Sortifikasi bukanlah alternatif ideal buat demokrasi. Selain mekanisme penyortiran yang tidak mudah, semangat sortifikasi cenderung bersifat diskriminatif. Ignorance (abai) bukanlah sebuah kondisi yang tidak masuk akal, tapi justru merupakan pilihan rasional para pemilih. Di tengah banyaknya pilihan, memilih atau mengabaikan adalah keputusan yang sepenuhnya rasional.
Akar masalah dari buruknya hasil demokrasi adalah karena banyaknya pemilih yang abai. Mengapa para pemilih abai? Menurut Somin karena mereka disuguhi begitu banyak pilihan yang tidak mungkin mereka kaji secara mendalam. Cara mengatasinya adalah mengurangi pilihan, mengurangi jabatan publik, mengurangi posisi-posisi yang tidak penting; dengan kata lain: merampingkan pemerintahan.
Penggalangan Dana. Ada cara ketiga yang menurut saya belum banyak dipercakapkan orang, khususnya di kalangan akademis. Jika masalah demokrasi terkait dengan keterlibatan (emosional) pemilih dan juga pendanaan, memikirkan solusi yang bisa mengkombinasikan keduanya adalah jalan keluar terbaik.
Saya membayangkan ada sebuah sistem atau platform yang memungkinkan pemilih dalam demokrasi lebih terlibat dengan pilihan-pilihan politik mereka. Misalnya, mendorong mereka agar lebih besar lagi berperan dalam proses pemilihan, bukan hanya datang ke bilik suara, tapi aktif berkampanye dan melakukan penggalangan dana.
Penggalangan dana adalah unsur penting yang bisa menggabungkan emosi pemilih dengan isu pendanaan yang menjadi akar persoalan demokrasi. Orang yang mengeluarkan uang (seberapapun jumlahnya), pasti memiliki ikatan emosional lebih besar ketimbang pemilih minimalis (yang tak menyumbang). Dia akan memantau kandidat yang didukungnya.
Dampak positif lainnya adalah kandidat yang didanai oleh uang masyarakat (hasil dari penggalangan dana) akan merasa lebih bertanggungjawab kepada publik ketimbang kepada seseorang (bohir). Penggalangan dana bukan hanya mengatasi masalah biaya politik yang selama ini sangat rawan, tapi juga mendorong seorang kandidat lebih bertanggungjawab kepada pemilihnya.
Catatan: tulisan ini pernah dimuat di harian Kompas pada 4 April 2018.