Blangkon merupakan tudung kepala tradisional khas suku Jawa yang dikenakan oleh kaum pria. Blangkon berasal dari kata blangku yang berarti sesuai. Dulunya, cara mengenakan blangkon tidaklah sepraktis seperti sekarang ini, melainkan harus melalui proses pengikatan rumit dan berpola sesuai dengan bentuk kepala.
Sebagai simbol ikonik masyarakat Jawa, blangkon kerap kali dijumpai di beberapa seremoni Jawa seperti pernikahan adat Jawa, upacara keagamaan, hingga perhelatan besar di keraton.
Secara historis memang tidak dirincikan sejak tahun berapa kemunculan blangkon ini. Namun, blangkon sudah ada sejak zaman penyebaran agama Islam oleh para wali songo.
Menurut pakem utamanya, jenis blangkon ada dua macam yakni gaya Yogyakarta dan gaya Surakarta. Selebihnya seperti blangkon gaya Banyumas, Kedu, Ponorogo, Mojokerto, Kediri, dll modelnya masih mengikuti kedua pakem utamanya. Perbedaan yang paling menonjol antara blangkon gaya Yogyakarta dan blangkon gaya Surakarta yaitu terletak pada bagian mondholan-nya.
Bagi yang belum tahu, mondholan yaitu kepalan bulat yang berada di bagian belakang blangkon. Blangkon gaya Yogyakarta memiliki mondholan yang berbentuk bulat berisi sedangkan blangkon gaya Surakarta memiliki mondholan yang berbentuk gepeng.
Adanya perbedaan model antara blangkon Yogyakarta dan Surakarta disebabkan oleh pengaruh politik kedaerahan di masa kolonialisme. Pada saat itu, Keraton Surakarta yang lebih dekat dengan pemerintahan Belanda mengenal budaya memotong rambut, sehingga mayoritas masyarakat Surakarta berambut pendek. Hal ini tentunya berpengaruh pada bentuk blangkon yang dipakai sehari-hari.
Seiring berjalannya waktu, blangkon yang semulanya hanya sebuah tudung kepala, kemudian diyakini memiliki nilai-nilai spiritualisme Jawa yang dijunjung tinggi. Masyarakat Jawa zaman dulu menganggap blangkon sebagai aksesoris sakral yang dibuat berdasarkan ajaran-ajaran luhur budaya Jawa.
Sehingga orang Jawa tempo dulu percaya bahwa memakai blangkon akan menambah kewibawaan penggunanya. Dari kedua jenis pakem utama blangkon, terdapat tiga nilai-nilai spiritualisme yang dapat kita pelajari.
Pertama, blangkon gaya Yogyakarta mengajarkan penggunanya agar senantiasa mengingat Tuhan Yang Mahakuasa. Mondholan bulat pada bagian belakang blangkon mencegah penggunanya dari lelapnya tidur untuk tetap beramal kebajikan. Selain itu, terdapat dua kuncir atau helai kain yang merumbai di samping kanan dan kiri mondholan.
Dua kuncir tersebut sebagai representasi dari dua kalimat tauhid. Artinya setiap pemikiran yang keluar dari benak kita haruslah berlandaskan dua kalimat tauhid agar saat kita melangkah selalu direstui oleh Yang Mahakuasa. Kemudian, wiron atau lipatan kain yang mengelilingi blangkon berjumlah 17, menandakan 17 rakaat ibadah yang wajib dilaksanakan oleh kaum muslim.
Kedua, blangkon gaya Surakarta mengajarkan penggunanya agar tetap menjaga tiga hubungan utama di dalam kehidupan. Ketiga hubungan tersebut antara lain habblumminallah (hubungan dengan Tuhan), habblumminal alam (hubungan dengan alam), dan habblumminannas (hubungan dengan sesama manusia) yang disimbolisasikan oleh jebeh atau dua helai kain di samping kiri dan kanan mondholan yang berbentuk segitiga kokoh.
Selain itu, mondholan gepeng yang berbentuk lurus memiliki arti bahwa penggunannya harus tetap berpikir lurus tanpa adanya prasangka buruk dalam menjalin hubungan dengan sesama.
Hal ini menandakan bahwa hubungan antara Tuhan-alam-manusia harus didasarkan oleh tegaknya keyakinan. Batik yang sering digunakan pada blangkon gaya Surakarta yaitu motif sogan yang berwarna dominan kecoklatan, simbol dari kerendahan hati, sikap acuh terhadap sesama, dan kedekatan terhadap Sang Pencipta.
Ketiga, blangkon sebagai wujud penjaga harga diri penggunanya. Rambut dalam filosofi orang Jawa adalah representasi dari harga diri. Oleh karena itu, pria Jawa zaman dulu tidak akan mengurai rambutnya kecuali saat berada di dalam rumah. Rambut disembunyikan rapat-rapat di dalam blangkon guna terjaganya harga diri penggunanya.
Lalu, mondholan juga memiliki makna bahwa orang Jawa pandai dalam menjaga rahasia, baik itu rahasia diri sendiri maupun orang lain. Sehingga orang Jawa zaman dulu selalu berprinsip untuk lembut dalam bertutur dan ramah dalam bertindak supaya harga diri tetaplah terjaga dan orang lain pun bisa merasa nyaman.
Permodelan blangkon pasti tidak luput dari citraan yang dimiliki oleh pembuatnya. Maka dari itu, setiap model blangkon pasti sarat akan makna-makna yang membuat blangkon menjadi barang yang sakral bagi masyarakat Jawa.
Terlepas dari bentuk dan model blangkon yang berkembang setiap jamannya, permodelan blangkon juga pasti disesuaikan dengan lingkungan asal sebagai salah satu perwujudan aspek antropologis dalam blangkon tersebut.
Jadi, itulah nilai-nilai spiritualisme Jawa yang bisa kita pelajari dari blangkon. Dari sini, dapat disimpulkan bahwa blangkon tidak hanya difungsikan sebagai tudung kepala saja, melainkan juga digunakan sebagai perantara ajaran luhur budaya Jawa yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Jawa.
Oleh karena itu, kewajiban kita sebagai insan muda adalah menjaga eksistensi blangkon yang sarat akan nilai-nilai spiritualisme masyarakat Jawa agar eksistensinya tetap terjaga di zaman sekarang.