Dahulu kita memiliki kenangan bahwa peran negara adalah sebagai penjaga malam, yaitu negara menjamin ketertiban dan keamanan rakyatnya. Pola demikian menghasilkan kebijakan yang ultra-militeristik dalam segala aspek kehidupan kenegaraan. Namun kini kita menghadap masa depan baru yaitu welfarestaat! Perubahan orientasi dari negara sebagai penjaga malam kepada negara kesejahteraan itu membawa perubahan di segala lini negara, termasuk lini kelembagaan, ketatalaksanaan dan orientasi birokrasi kita.
Urgensi Birokrasi Progresif
Saat ini Pemerintahan Indonesia telah memasuki era pelaksanaan reformasi birokrasi, lahirnya kesadaran untuk melakukan perubahan disegala lini pemerintahan Indonesia merupakan konsekuensi logis dari paradigma welfarestaat (negara kesejahteraan) itu sendiri. Pemerintah dituntut untuk paling tidak melakukan pembaruan dan perubahan mendasar pada 3 aspek yaitu kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan dan sumber daya manusia aparatur.
Fenomena lambatnya birokrasi kita dan kurang optimalnya pelayanan publik merupakan alasan utama bagi pelaksanaan reformasi birokrasi menuju pemerintahan yang baik (good governance). Dengan kata lain, pelaksanaan reformasi birokrasi adalah langkah strategis untuk membangun aparatur negara agar lebih berdaya guna dan berhasil guna dalam mengemban tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional. Selain itu, dengan pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi informasi dan komunikasi serta perubahan lingkungan strategis menuntut birokrasi pemerintahan untuk direformasi dan disesuaikan dengan mengoptamilasasikan kemajuan teknologi informasi (digital transformation).
Namun, pelaksanaan reformasi birokrasi perlu untuk diinternalisasikan suatu paradigma baru, yaitu ide-ide progresivisme. Progresivisme terdiri dari dua kata yaitu progress dan isme. Progress bermakna sebagai kemajuan dan isme adalah faham, kurang lebih secara Bahasa progresivisme adalah gagasan berkemajuan.
Gagasan progresivisme tidak hanya berkutat pada gagasan-gagasan pembaruan (reform) semata, melainkan perubahan sampai pada tingkah laku konkret dengan tuntutan masyarakat, atau problem-problem konkret yang tengah dihadapi masyarakat.
Misalkan pada sektor pembinaan ASN tentang reformasi birokrasi, seorang Pembina tidak cukup menyampaikan pembinaan kepada peserta dengan mengacu pada narasi epistemologis reformasi birokrasi semata, seorang Pembina wajib menerjemahkan reformasi birokrasi pada aspek konkret tingkah laku sehari-hari ASN dan kebutuhan konkret dari penerima layanan (Masyarakat).
Artinya nilai resposibilitas-materialis sangat utama pada gagasan ini. Ia tidak semata-mata memikirkan penyegaran wacana dan pencerahan intelektual, tetapi juga pencerahan material dari kondisi-kondisi kebutuhan ril penerima layanan. Dalam arti itu, secara ideologis, birokrasi “progresif” melakukan kritik dan otokritik terhadap gagasan reformasi birokrasi yang cenderung berkutat pada narasi dan pemenuhan evidance untuk mendapatkan WBK/WBBM semata.
Sekurang-kurangnya dalam pembangunan birokrasi progresif ini menurut penulis dapat dilaksanakan meliputi aspek-aspek berikut :
Kebijakan Publik untuk Manusia
Tidak dapat dinafikan bahwa secara positivis, hukum bertujuan untuk menjamin kepastian hukum. Namun perlu untuk dikontemplasi ulang bahwa segala aturan, norma, dan segala perangkatnya (struktur, substansi dan budaya hukum) disusun untuk memberikan kemudahan dan kemanfaatan bagi manusia.
Meminjam teori utilitariannya dari Jeremy Bentham yang mempengaruhi Gerakan Sosialisme di Inggris abad ke-19 menyatakan bahwa hukum diciptakan untuk memberikan kebahagiaan sebesar-besarnya bagi manusia.
Sebagai prinsip dasar dari kebijakan publik, Jeremy Bentham mengatakan bahwa “Tindakan yang terbaik adalah yang memberikan sebanyak mungkin kebahagiaan bagi sebanyak mungkin orang”.
Sudah saatnya kita melenturkan orientasi positivisme hukum dan menempatkan manusia sebagai pusat orientasi untuk meningkatkan kebijakan publik yang dinamis. Maka untuk membangun sistem birokrasi yang progresif kita memerlukan penghayatan dan pembangunan hukum/kebijakan publik yang memberikan kebahagiaan sebesar-besarnya bagi masyarakat, terutama bagi mereka yang berada pada tatanan yang paling tertindas dan termarginalkan.
Berwatak Responsif
Kendala terbesar bagi pelaksanaan birokrasi yang progresif adalah begitu besar dan banyaknya struktur kelembagaan dari suatu organisasi pemerintahan. Kaya akan struktur miskin akan fungsi, begitulah istilah yang dapat digambarkan dari realitas anjloknya indeks kepuasan pelayanan publik.
Bagaimana tidak, dengan struktur kelembagaan yang luas tentunya berkonsekuensi langsung terhadap panjang dan rumitnya alur pelayanan publik yang akan diterima masyarakat.
Oleh karena itu Pemerintah Indonesia melalui Kementerian PANRB mengeluarkan kebijakan penyederhanaan birokrasi yang merupakan kebijakan progresif dan patut kita dukung demi terwujudnya birokrasi yang berwatak responsif, dinamis dan efisien.
Kiranya tidak berlebihan jika kita memiliki imajinasi baru bahwa budaya feodalistik yang telah mengakar di birokrasi kita akan luntur dengan adanya kebijakan penyederhanaan birokrasi ini.
Setidaknya terdapat enam langkah strategis dalam upaya mempercepat pelayanan publik yang responsif yaitu: 1) Standarisasi Pelayanan, yaitu pelayanan yang bertumpu pada pelibatan masyarakat di dalam proses penilaian kinerja kelembagaan dengan mengadakan survei indeks kepuasan pelayanan publik. 2) Rasionalisasi Penataan Organisasi, yaitu upaya membentuk birokrasi yang responsif, dinamis dan efisien dengan melaksanakan penyederhanaan struktur organisasi, penyetaraan jabatan administratif kepada jabatan fungsional dan penyesuaian sistem kerja.
Hal tersebut menjadi suatu keharusan dikarenakan terlalu banyak unsur dalam birokrasi yang tersusun dan bekerja dalam hubungannya yang fragmented dan mengedepankan ego sektoral. 3) Mengintegrasikan administrasi pelayanan perizinan, demi terciptanya pelayanan yang terintegrasi dan tidak terbelit-belit. 4) Pengembangan penatalaksanaan, diperlukan untuk mencapai target-target kerja administrasi dengan menghilangkan berbagai duplikasi dan inefisiensi prosedural. 5) E-Office, sebagai langkah untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas kinerja perlu untuk dipercepat pelaksanaan digitalisasi pelayanan publik. Saat ini komitmen pemerintah dalam mempercepat trasformasi layanan digital perlu kita dukung demi terciptanya kinerja pemerintah yang berbasis digital. 6) Rekrutmen dan promosi aparatur secara terbuka, juga upaya dalam rangka terciptanya SDM Aparatur yang profesional dan kompeten.
Kesetaraan dan Keberpihakan pada yang Lemah
Aspek ini sangat penting bagi terwujudnya birokrasi yang progresif. Seluruh sektor pelayanan publik idealnya memberikan pelayanan prima kepada seluruh masyarakat, tanpa membeda-bedakan status sosial, ekonomi dan politik dari penerima layanan (masyarakat).
Kesetaraan (equality) adalah nilai luhur yang harus dijunjung tinggi oleh birokrat, karena pada dasarnya seluruh manusia memiliki harkat martabat yang sama untuk dilayani secara prima. Termasuk keberpihakan pada mereka yang memiliki keterbutuhan khusus seperti disabilitas dan masyarakat rentan administrasi.
Sudah menjadi keharusan bahwa seluruh kantor Lembaga Pemerintahan memiliki pelayanan, sarana dan prasarana yang ramah kepada seluruh masyarakat.
Hidup Baik dan Bersahaja Sebagai Ideologi Seorang Birokrat
Aspek selanjutnya adalah bersahaja dan sederhana sebagai ideologi seorang birokrat. Seorang birokrat memiliki kedudukan sebagai pelayan masyarakat, core values #BanggaMelayaniBangsa sangat baik dijadikan nilai penghayatan seluruh birokrat kita untuk hidup bersahaja dan sederhana.
Seorang birokrat yang bersahaja akan memahami dan menjalankan penuh fungsinya sebagai pelayan (public servant) masyarakat. Sehingga sikap elitis dan koruptif tidak akan kita temui. Kita dapat menjadikan tokoh-tokoh hebat bangsa seperti Muhammad Hatta, Jendral Besar Sudirman, Jenderal Polisi Hoegeng Iman Santoso dan lainnya sebagai role model birokrat masa kini.
Kami berharap, untuk aspek ini perlu dirumuskan sebagai sebuah kebijakan publik sehingga terbentuknya mindset ini bagi seluruh birokrat di Negara ini.
Harapan
Oleh karena itu penguatan pelaksanaan reformasi birokrasi menuju karakter birokrat yang progresif patut untuk terus kita suarakan, dan akhirnya melalui tulisan yang sederhana ini semoga dapat dijadikan bahan kontemplasi bagi seluruh analis kebijakan di Kementerian dan Lembaga Pemerintahan Indonesia agar merumuskan kembali kebijakan-kebijakan reformasi birokrasi yang berbasis pada nilai-nilai progresivisme, Semoga!
Referensi :
Bryan Magee, The Story of Philosophy, Kanisius, 2001, Jogjakarta.
Lijan Poltak Sinambela, Reformasi pelayanan publik: Teori, kebijakan, dan implementasi, Bumi Aksara, 2011, Jakarta.
Gradios Nyoman Tio Rae, Good Governance dan Pemberantasan Korupsi, Saberro Inti Persada, 2020, Jakarta.
Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 25 Tahun 2021 tentang Penyederhanaan Struktur Organisasi pada Instansi Pemerintah untuk Penyederhanaan Birokrasi