Pembahasan
Putu Wijaya, sastrawan Indonesia era Orde Baru, angkatan 1966. Ia dikenal sebagai Putu Wijaya yang serba bisa. Keahlian-nya dalam berbagai bidang inilah yang membuat penulis tertarik untuk membahasnya.
Tokoh sastra Indonesia satu ini sudah memiliki banyak karya yang berupa karya tulis, drama, dan perfilman. Titel nya yang serba bisa itu benar adanya. Terlihat juga dari banyaknya penghargaan yang ia dapatkan selama ini.
Mengenai biografi, karya, dan penghargaan-penghargaan yang diperoleh Putu, akan penulis paparkan dalam artikel ini. Tujuan penulis memaparkan Putu Wijaya dalam artikel ini agar para penggemar karya serta sastrawan Indonesia dapat mengetahui biografi, karya sastra, dan penghargaan-penghargaan Putu Wijaya selama menjadi sastrawan.
Penulis berharap dengan adanya artikel ini, pembaca bisa mendapat manfaat yaitu mendapat wawasan baru dalam mengenal tokoh kesusastraan Indonesia.
Pembahasan
Putu Wijaya merupakan sastrawan yang dikenal serba bisa. Putu memiliki nama lengkap I Gusti Ngurah Putu Wijaya, yang dapat diketahui bahwa ia berasal dari keturunan bangsawan. Ayahnya bernama I Gusti Ngurah Raka dan ibunya bernama Mekel Ermawati.
Putu lahir pada tanggal 11 April 1944 di Puri Anom, Tabanan, Bali. Putu merupakan bungsu dari lima bersaudara seayah maupun dari tiga bersaudara seibu. Ia tinggal di kompleks perumahan besar, yang dihuni sekitar 200 orang, baik anggota keluarga dekat dan jauh.
Dalam bidang pendidikan, Putu menamatkan sekolah rakyat hingga sekolah menengah atas di Bali, lalu ia melanjutkan perguruan tingginya di Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada dan mendapat gelar sarjana hukum tanggal 28 Juni 1969.
Namun, Putu tidak pernah menggunakan gelar “sarjana hukum” dalam kehidupan sehari-harinya. Semasa Putu melakukan kuliah di fakultas hukum, ia juga belajar di Akademi Seni Drama dan Film (Asdrafi) selama satu tahun, yaitu tahun 1964.
Putu lebih tertarik dengan sejarah, bahasa, dan ilmu bumi, hal inilah yang membuatnya tidak dapat memenuhi harapan ayahnya yang menginginkan Putu menjadi dokter.
Putu Wijaya mulai menulis sejak SMP (Sekolah Menengah Pertama), tulisan pertamanya berbentuk cerpen berjudul “Etsa” yang diterbitkan harian Suluh Indonesia, Bali.
Ia mulai menggeluti drama pertama kali pada masa SMA, ia memainkan drama yang disutradarai oleh Putu sendiri dalam kelompok yang didirikannya sendiri di Yogyakarta.
Pada tahun 1967–1969, Putu bergabung dengan Bengkel Teater dan sempat mementaskan “Bip-Bop” dan “Pozzo” dalam drama Menunggu Godot di Jakarta tahun 1969. Putu Wijaya juga menyutradarai pementasan berjudul Lautan Bernyanyi.
Putu pindah ke Jakarta dan bergabung dengan Teater Kecil di Jakarta. Ia sempat satu kali memainkan peran dalam pementasan Teater Populer.
Di samping itu, Putu Wijaya juga bekerja sebagai redaktur majalah Ekspres. Setelah majalah itu mati, ia bekerja sebagai redaktur majalah Tempo. Pada saat itulah Putu Wijaya mendapat dukungan dari beberapa temannya di Tempo untuk mendirikan sebuah teater.
Akhirnya, Putu Wijaya mendirikan Teater Mandiri yang didirikan dengan konsep “Bertolak dari Yang Ada”. Dia juga pernah menjadi redaktur majalah Zaman. Di tahun 1973, Putu mendapat beasiswa untuk belajar drama di Jepang selama satu tahun.
Namun, ia hanya menjalani beasiswa tersebut selama tujuh bulan, dan kembali ke Indonesia. Setelah Putu kembali ke Indonesia, ia kembali disibukkan sebagai staf redaksi majalah Tempo. Pada tahun 1974, Putu mendapat kesempatan untuk mengikuti lokakarya penulisan kreatif di Lowa City, Amerika Serikat.
Kegiatan yang bernama International Writing Program diselenggarakan oleh Universitas Negeri Lowa. Putu mengikuti program tersebut selama kurang lebih satu tahun. Tahun 1975 Putu kembali ke Tanah Air dan langsung bermain drama dalam Festival Teater Sedunia di Nancy, timur Kota Paris.
Tahun 1985 Putu Wijaya mengikuti kegiatan Festival Horizonte III di Berlin, Jerman. Sebagai penulis, Putu Wijaya dikenal sebagai penulis yang memiliki aliran baru. Novel-novel yang diciptakan Putu Wijaya bercorak kejiwaan dan filsafat.
Corak itulah yang kemudian menjadi ciri dari tulisan Putu Wijaya. Putu Wijaya sudah menulis kurang lebih 30 novel, 40 naskah drama, sekitar seribu cerpen, ratusan esai, artikel lepas, dan kritik drama. Ia juga telah menulis skenario film dan sinetron.
Ia juga telah mementaskan puluhan lakon di dalam maupun di luar negeri. Di antaranya yaitu mementaskan naskah Gerr (Geez), dan Aum (Roar) di Madison, Connecticut dan di LaMaMa, New York City, dan pada tahun 1991 membawa Teater Mandiri dengan pertunjukkan Yel keliling Amerika.
Cerpen karya Putu Wijaya kerap mengisi Harian Kompas dan Sinar Harapan. Novel-novel karyanya sering muncul di majalah Kartini, Femina, dan Horison.
Beberapa judul skenario sinetron yang Putu Wijaya tulis, diantaranya: Keluarga Rahmat, Pas, None, Warung Tegal, Jari-Jari Cinta, Balada Dangdut, Dendam, dan masih banyak lagi.
Terdapat banyak drama yang disutradarai Putu Wijaya yang berjudul Dalam Cahaya Bulan (1966), Lautan Bernyanyi (1967), Bila Malam Bertambah Malam (1970), Invalid (1974), Tak Sampai Tiga Bulan (1974), Anu (1974), Aduh (1975), Dag-Dig-Dug (1976), Gerr (1986), Edan (1988), dan lain-lain.
Selanjutnya, Putu Wijaya juga menerbitkan banyak karya sastra berbentuk novel dan cerpen, beberapa judul novel yang ia terbitkan yaitu Bila Malam Bertambah Malam (1971), Telegram (1972), Stasiun (1977), Pabrik (1976), dan Keok (1978).
Judul cerpen yang dimuat di koran-koran pun tak kalah banyak, beberapa judul dari cerpen karya Putu Wijaya diantaranya Es Campur (1980), Gres (1982), Klop, Bor, Protes (1994), Darah (1995), dan Yel (1995).
Pada tahun 1977, Putu Wijaya juga sempat menerbitkan novelet yang berjudul MS, Tak Cukup, Sedih, Ratu, dan Sah. Banyaknya karya dari Putu Wijaya, menghasilkan banyak penghargaan.
Sebagai penulis skenario, Putu Wijaya berhasil meraih dua kali Piala Citra di Festival Film Indonesia untuk film Perawan Desa (1980) dan Kembang Kembangan (1985).
Pada tahun 1967 naskah Putu Wijaya “Lautan Bernyanyi” mendapat hadiah ketiga dari Badan Pembina Teater Nasional Indonesia dalam Sayembara Penulisan Lakon.
Dan banyak penghargaan lainnya berupa empat kali memenangi sayembara penulisan lakon DKJ, menjadi pemenang penulisan esai DKJ, Dua kali memenangkan penulisan novel Femina, Dua kali menjadi pemenang penulisan cerpen Femina, dan banyak penghargaan lainnya yang diperoleh Putu Wijaya.
Keserba-bisaan nya menjadikan Putu mendapat banyak kritik serta komentar dari para kritikus dan pengamat sastra. A. Teeuw menyatakan bahwa Putu Wijaya adalah orang yang sangat energetik dan serbabisa. Dia bukan hanya wartawan dan anggota tetap staf redaksi majalah Tempo, melainkan juga sutradara dan penulis drama.
Kesimpulan
Putu Wijaya merupakan sastrawan yang dikenal serba bisa. Putu lebih tertarik dengan sejarah, bahasa, dan ilmu bumi, maka dari itu, ia menjadi penulis karya sastra novel, cerpen, drama, dan melakonkannya.
hal tersebut membuat ia tidak dapat memenuhi harapan ayahnya yang mengharapkan Putu menjadi dokter.
Walaupun demikian, Putu yang serba bisa pun dapat tetap sukses dalam bidang yang ia tekuni.
Ia dapat menerbitkan banyak karya. Karya-karyanya yaitu karya tulis seperti novel, esai, cerpen, novelet, skenario drama, scenario sinetron.
Putu juga aktif dalam karya drama dan teater.
Tak heran jika ia dikenal dengan titel Putu Wijaya sastrawan serba bisa, karena sangat jelas ia dapat menguasai banyak bidang dalam karya sastra.
Penghargaan-penghargaan yang diperolehnya pun melimpah, dan itu pula yang membuktikan bahwa keserba-bisaan Putu Wijaya sudah diakui oleh banyak orang.