Warganet atau yang umum disebut sebagai Netizen adalah julukan yang disematkan kepada para pengguna internet di era digital ini. Mengapa disebut warga atau citizen? Sederhananya, kata ini menunjuk pada seseorang yang secara aktif terlibat di dalam dinamika dunia dan komunitas maya atau internet. Dengan demikian, warga internet adalah mereka yang ada dan terlibat, menjadikan internet sebagai wadah bersosialisasi dan intelektual.[1]

Aktivitas warganet di dunianya ini mengalami peningkatan cukup signfikan dari tahun ke tahun. Melansir dari media Kompas, pengguna internet di Indonesia saja pada awal 2021 telah mencapai 202,6 juta jiwa. jumlah ini telah meningkat sebesat 15,5 persen dibandingkan dengan tahun 2020.[2] Jika jumlah penduduk Indonesia saat ini 274,9 juta jiwa, maka angka pada tahun 2021 telah mencapai 73,7 persen dari penduduk Indonesia yang ‘melek’ internet.

Dari berbagai penyebab, masa pandemi yang memaksa manusia untuk tetap tinggal di rumah dan beraktivitas secara virtual ditengarai sebagai penyebab utama dari peningkatan jumlah pengguna ini. Segala aktivitas dilakukan secara virtual, baik bersekolah, bekerja, aktivitas ekonomi, hingga sarana pengembangan diri seperti media berekspresi pun dilakukan melalui cara virtual.

Banyak aplikasi berbasi digital yang dikembang oleh perusahaan-perusahaan teknologi digital. Utamanya, aplikasi tersebut sebagai media hiburan, sebagai tempat untuk mengekspresikan diri secara penuh dan bebas. Beberapa di antaranya mungkin sudah terpasang dan sering teman-teman pembaca gunakan di saat waktu senggang.

Tak ayal, banyaknya media yang bermunculan membuat linimasa internet semacam dipenuhi oleh tren kekinian. Tren itu sering kali dijadikan panutan agar terus eksis di sosial media, bahkan jika tidak ikut tren maka dianggap tidak ada. Hal semacam ini yang memaksa warganet untuk terus berusaha ikut tren.

Ikut tren demi eksistensi sering kali dilakukan dengan tidak memperhatikan keadaan personal orang lain. Dengan anggapan bahwa di media sosial pun sebenarnya kita bertindak dan bersosialisasi, maka menyukai, berkomentar, atau memposting foto di dalamnya  harus juga memperhatikan dampak sosial yang terjadi. Namun demikian, hal ini sering dilewatkan.

Kepentingan untuk Bertindak Etis di Media Sosial

Apa-apa saja dilakukan demi menjadi terkenal. Bahkan, sampai mengekspose dirinya terlalu dalam. Beberapa di antaranya bahkan membuat diri mereka menjadi komoditas dan dipertontonkan kepada orang lain di sosial media. Dengan berjoget erotis seakan-akan mereka menjual tubuhnya untuk ditonton kemudian menjadi terkenal.

Dengan mengikuti pola macam ini, memang followers akan bertambah. Mengumbar belahan dada seakan-akan menjadi hal biasa dan menjadi tren bagi para kaum muda wanita zaman ini. Pola dan tren macam ini lah yang sering kali dilakukan demi menjadi artis di sosial media. Ratu dari dunia maya.

Lebih lanjut, ternyata beberapa tingkah warganet di sosial media perlu juga dilihat secara etis. Berkomentar pada unggahan seseorang di sosial media dapat menjadi masalah etis jika tidak memperhatikan beberapa hal. Mungkin saja maksud dari komentar adalah candaan. Meski demikian, dapat saja komentar ini menjadi multitafsir dan dimaknai secara berbeda oleh warganet lainnya maupun pemilik foto yang dikomentari.

Peribahasa “Mulutmu Harimaumu” seakan dapat dimaknai ulang menjadi “Jarimu Harimaumu”. Peribahasa tersebut mengindikasikan bahwa jari yang bergerak pada layar ponsel pintar pun sebenarnya mesti dijaga. Kalimat-kalimat kasar yang sering kali berseliweran dan bernada merendahkan martabat seseorang di dalam komentarnya.

Barangkali teman-teman pembaca setuju akan hal ini, bahwa mereka-mereka yang berkomentar secara “ganas dan kejam” di sosial media seakan-akan tidak melihat situasi di balik unggahan seseorang. Bahkan dalam situasi tertentu, pola macam ini yang senagaj dilakukan oleh pihak tertentu untuk meligitamasi keberadaannya dan menjelekkan pihak lain.

Kewajiban Moral Di Balik Kebebasan Bertindak

Di banyak kesempatan, telah  disebutkan bahwa terdapat tegangan kuat antara apakah manusia hidup secara bebas atau telah ditentukan sejak semula. Banyak ahli berpendapat bahwasanya manusia hanya hidup sesuai alur yang telah ditentukan. Di sisi lain, banyak ahli juga berpendapat bahwa manusia hidup secara bebas. Namun, bebas macam apa itu?

Jika kita mengandaikan sebuah definisi pasti tentang kebebasan, akan sangat sulit mendapatkannya. Utamanya dalam dunia filsafat, pembahasan tentang kebebasan adalah suatu kajian abadi. Namun demikian, kita masih dapat melihat bahwa di dalam pengalaman keseharian kita, kita menyadari bahwa bertindak secara bebas. Di dalam pengalaman itu, kita dihadapkan pada suatu pilihan. Jika bertindak di antara pilihan itu, kita bebas.

Andaian macam ini berkaitan dengan kehendak bebas manusia yang sering kali dianggap sebagai anugerah Ilahi atas manusia. Dalam arti ini, kebebasan itu menyangkut seluruh pribadi manusia serta seluruh tindakan yang dipilihnya. Dengan kebebasan ini, manusia seakan-akan memiliki dirinya sendiri. Manusia bebas menentukan ini atau itu di dalam mewujudkan otentisitas dirinya.

Meski demikian, pada dasarnya kebebasan ini mengandung sebuah kesadaran moral dari subjeknya. Subjek yang aktif ini di dalam hatinya semacam memiliki suatu arahan untuk berbuat baik dan tidak melenceng dari dari moralitas. Bahkan, subjek diandaikan berbuat baik karena memang di dalam dirinya terdapat suatu hukum yang terberi oleh rasio dalam hati kita.

Orang yang bebas secara eksistensial, berbuat baik di dalam tidakannya oleh karena dalam hatinya melekat suatu kebaikan.[3] Seseorang bertindak baik karena hal itu memang baik dan tanpa tujuan di luar kebaikan itu. Perbuatan baik itu pada dasarnya natural dari kebebasannya, semacam mengikuti orientasinya saja. 


Maka sebenarnya,  bertindak bebas itu adalah bertindak yang berdasarkan pula hukum moral/ kesadaran moral(bahasa Immanuel Kant: Maksim). Dengan demikian, subjek bebas itu bertindak pula dengan memperhatikan kondisi sosial masyarakatnya. Meski tidak dimaksudkan demikian (demi kondisi sosial yang damai), dengan bertindak berdasar kodrat moral manusia secara tidak langsung memperhatikan dampak sosialnya.

Kebebasan yang Dimanfaatkan dalam Tindakan Etis: Kierkegaard


Dari uraian mengenai kebebasan yang mengandaikan tanggung jawab moral di dalam tindakan seseorang, kita dapat melihat pendapat salah seorang filsuf eksistensialis satu ini. Soren Kierkegaard, adalah filsuf eksistensial asal Denmark yang dijuluki sebagai Bapak Eksistensialisme. Ia hidup di masa perkembangan industri yang membuatnya berefleksi tentang individu massa.[4]


Menurutnya, agar manusia tidak larut dalam arus massa dan tetap eksis serta otentik, manusia mesti bertindak dengan bebas dan bertanggung jawab. Ia mencanangkan beberapa tahap di bawah ini yang dijelaskan pula di dalam paraphrase oleh penulis. Tahap tersebut mencakup Tahap Estetis, Tahap Etis, dan Tahap Religius.

Tahap Estetis mencakup segala perilaku yang berkaitan dan didorong oleh nafsu dan kesenangan indrawi. Manusia pada tahap ini sering kali mengalami keterombang-ambingan di dalam tindakannya. Dorongan dan hasrat indrawi serta emosinya membuat ia menjadi demikian. Ketertarikan pada hal yang indah-indah (dari indranya) membuatnya bertindak sedemikian rupa.


“Manusia tahap ini merupakan manusia yang berada dalam keputusasaan”, kata Kierkegaard. Hidup dengan menuruti nafsu dan tidak mempertimbangkan aturan serta moral adalah ciri khas dari manusia tahap estetis ini. Kierkegaard menganalogikan manusia tahap ini sebagai Don Juan[5], seorang pemain Opera Mozart yang bertujuan hanya pada kepuasan dan kesenangan. 


Meski di dalam keputusasaan, Kierkegaard mengatakan bahwa manusia tahap ini akan segera beranjak dan berangkat kepada suatu bentuk eksistensi yang lebih tinggi jika ia menyadari kelemahannya pada tahap ini. Manusia yang telah sadar akan membentuk komitmen diri dan memilih apakah tetap pada situasi estetis atau beranjak dan bebas dari keputusasaan.

Tahap Etis, dicirikan sebagai seseorang yang telah sadar akan eksistensi manusianya yang individual sekaligus subjektif. Dalam artian, bahwa ia telah menyadari bahwa kebebasannya itu mesti dipertanggungjawabkan melalui pilihan yang mungkin diambil. Manusia tahap ini mesti memilih antara atau ini atau itu (either this or that).

Di dalam pilihannya itu, ia mesti memilih sejauh menyangkut yang baik atau buruk. Setelah menetapkan pertimbangan di antara keduanya, barulah putusannya menjadi bermakna. Dengan membuat keputusan, maka manusia bebas. Oleh karena kebebasan itulah, pada dasarnya manusia mesti mempertanggungjawabkan pilihannya. Kesediaan untuk bertanggungjawab secara moral di dalam pilihannya membuat ia jadi bermakna.

Tahap Religius adalah tahap di mana manusia menyadari bahwa segala sesuatu di dunia ini tidak dapat terus-menerus menjadi pegangannya dalam mencapai kepenuhan. Melalui penghayatan selama tahap etis, manusia diandaikan dapat menyadari penyelenggaraan Ilahi di dalam hidupnya. Kierkegaard menekankan hal ini sebagai beriman secara aposteriori dan mengalami.


Analisa Kritis dan Kesimpulan

Tuntutan untuk bertindak sesuai dengan tanggung jawab moral merupakan sesuatu yang mengikuti dari adanya kebebasan. Bahkan, kebebasan pun diikuti kesadaran untuk berbuat baik atau kodrat moral. Adapun, di dalam artikel ini penulis tidak bermaksud memberi arahan, atau memojokkan pihak tertentu, namun mengajak pembaca untuk terus berefleksi mengenai tindakan di sosial media.

Dengan melihat pandangan Kierkegaard mengenai bertindak etis sebagai wujud eksistensi manusia sebenarnya tiap tahap adalah langkah 'pertobatan'. Tiap tahap yang ada itu bukanlah sebuah satu garis lurus dari bawah ke atas. Namun, sebuah lingkaran yang dapat memungkinkan seseorang pada tahap etis dapat kembali lagi ke tahap estetis. Memang harus demikian karena begitulah dinamika dialektika eksistensial manusia. 

Dengan melihat secara mendalam terkait dengan tindakan itu, secara sederhana sebenarnya kita telah bertindak etis. Memikirkan ulang apa yang telah dan akan dilakukan di sosial media, mempertimbangkan dampak sosial, meninggalkan penilaian baik atau buruk, semuanya itu perlu dilakukan demi hdiup bersosial media yang sehat.

Lantas, masih mau mengejar popularitas dengan tidak mempertimbangkan keadaan sosial di dunia internet wahai netizen budiman?


[1] Wikipedia, “Warganet”, dilansir dari laman https://id.wikipedia.org/wiki/Warganetpada 28 September 2021.

[2] Galuh Putri Riyatno, dalam Reska K. Nistanto (ed.) “Pengguna Internet Indonesia 2021 Tembus 202 Juta”, dilannsir dair laman https://tekno.kompas.com/read/2021/02/23/16100057/jumlah-pengguna-internet-indonesia-2021-tembus-202-jutapada 28 September 2021.

[3] K. Bertens, Etika, PT Kanisius: Depok-Sleman DIY. Hlm. 91.

[4] Uraian mengenai Soren Kierkegaard dapat dibaca di dalam https://plato.stanford.edu/entries/kierkegaard/ atau buku “Berkenalan dengan Eksistensialisme” karya Fuad Hassan, terbitan Pustaka Jaya, seperti yang penulis gunakan.

[5] Fuad Hassan, Berkenalan dengan Eksistensialisme, Pustaka Jaya: Jakarta Pusat. Hlm. 26.