“Wah enak ya di Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), saat kayak gini. Ga ada bencana.” Bisa ongkang-ongkang, bahkan mungkin bisa nyambi pekerjaan yang lain.” Saya mung mbatin: “ enak kepriwe?”

Kejadian lain saat rapat dalam rangka penanggulangan sebuah kejadian bencana, muncul diskusi tentang tupoksi yang mengarahkan pada tupoksi Penanggulangan Bencana ada pada BPBD, sehingga instansi yang lain ngikut saja. Bla bla  bla.

Pertanyaan yang sama bisa jadi juga terlintas di benak siapapun itu, bahwa penanganan bencana adalah saat ada bencana. Dan hanya BPBD yang melakukan. Ketika tidak ada bencana maka gak kerja alias nganggur bin terpekur. Begitukah?

***

Pada jaman dahulu. Seperti cerita kartun Melayu. Ya pada jaman dahulu Penanggulangan Bencana dipandang sebagai upaya responsif terhadap kejadian yang mengancam harta benda, jiwa dan apapun itu. Jadi Penanggulangan Bencana adalah menunggu, responsif bukan antisipati dan mitigatif.

Namun seiring dengan kesadaran manusia, bahwa mencegah itu lebih baik dari pada mengobati, eh maksudnya memulihkan, memperbaiki, merehabilitasi dampak, sebagai akibat bencana. Maka paradigma Penanggulangan Bencanapun bergeser. Hal ini semakin dikuatkan dengan terbitnya UU no 24 tahu 2007 tentang Penanggulangan Bencana.

Penanggulangan Bencana adalah soal bagaimana semua pihak melakukan berbagai upaya meminimalisir risiko sehingga tidak gagap dan terdadak saat terjadi bencana. Para pihak ini biasa disebut dengan pentahelix yang terdiri dari lima komponen penting dalam Penanggulangan Bencana. Lima komponen ini adalah Pemerintah, Masyarakat, Swasta, Media dan Akademisi.  

Upaya ini dilakukan dalam tiga fase penanggulangan bencana yang meliputi Pra Bencana, Tanggap Darurat dan Pasca Bencana. Nah secara tahapan paradigma Penanggulangan Bencana tadi cukup dominan pada tahap pertama, yaitu Pra Bencana. Semua pihak dalam beraktivitas harus senantiasa memperhatikan aspek ini.

Namun demikian tiga fase ini pun tidak dipisahkan secara kaku. Karena masing-masing fase tetap ada unsur mitigasinya. Sehingga ketika beralih ke fase berikutnya akan senantiasa terjembatani aspek mitigasinya.

Di fase Tanggap Darurat, misalkan dalam evakuasi korban, tetap memerhatikan aspek keselamatan tim penyelamat. Penyelamatan dilakukan jika tidak membahayakan tim penyelamat.

Demikian pula  pada fase Pasca Bencana, juga memperhatikan aspek mitigiasi. Pembangunan hunian tetap misalkan. Dipilihkan di daerah yang jauh dari lokasi bencana awal, dengan kontruksi tahan gempa, sehingga jika suatu saat ada bencana lagi relatif lebih terantisipasi.

***

Berbicara Mitigasi Bencana sebenarnya adalah soal bagaimana upaya mengurangi risiko bencana. Secara formula dapat dirumuskan sebagai berikut       R = H x  V/ C, di mana H adalah hazard atau ancaman,   C= Capacity atau kapasitas da V = vulnerability atau kerentanan.

Semakin tinggi kapasitas dan semakin rendah kerentanan, maka risiko bencananya pun semakin rendah. Sehingga berbagai upaya untuk meningkatkan kapasitas dan menurunkan risiko terus dilakukan. Upaya inilah yang dilakukan oleh semua komponen yang disebut sebagai pentahelix, sebagaimana uraian sebelumnya. 

***

Di sinilah pentingnya penyadaran rumus pengurangan risiko bencana tadi di semua komponen. Termasuk komponen pemerintah yang terwakili di masing-masing Departemen atau Organisasi Pemerintah Daerah. Bagaimana Program dan Kegiatan mereka diberi sentuhan mitigasi bencana, termasuk regulasi yang menjadi domain mereka.

Soal Penaatan Ruang misalkan, harus benar-benar diclearkan di mana area yang boleh budidaya dan yang tan keno ora kudu , wajib alias fardu untuk tidak dialih fungsikan.

Bagaimana pengelolaan sampah misalkan, harus diclearkan juga supaya sampah tidak menjadi pemicu banjir, atau berpotensi menimbulkan wabah penyakit.  

Apalagi di masa pandemi seperti saat ini, lembaga yang memiliki wewenang dalam penanganan sampah harus responsif melakukan mitigasi.  Khususnya dalam pengelolaan limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Limbah B3 ini antara lain sampah  medis. Jika tidak dikelola dengan baik tentu akan bisa menimbulkan ancaman ke depannya.

Demikian juga dengan lembaga pendidikan, sekolah, madrasah dan pondok pesantren.  Misalkan dengan kurikulum mitigasi bencana berbasis sekolah. Siswa dipahamkan karakter bencana khususnya di wilayahnya, serta apa dan bagaimana jika terjadi bencana.

Jepang dalam hal ini bisa menjadi benchmark bagaimana menyiapkan siswa didik yang memiliki pengetahuan yang standar dalam mitigasi bencana.

Pendidikan  kebencanaan  di  Jepang  menekankan  informasi  tentang  bencana alam  kepada  anak-anak  dan  keluarga  mereka  dan  untuk mengembangkan pola  pikir agar dapat  membantu  diri  sendiri  dan  orang  lain jika terjadi bencana (Aida dalam Anderson, 2017).

***

Jika regulasi sudah program dan kegiatan juga sudah soal berikutnya adalah menjaga konsistensi supaya tetap terjaga masing-masing komponen menjalankan fungsinya. Sehingga Penanggulangan Bencana benar-benar diantisipasi oleh semua komponen.

Jika akhirnya takdir menyatakan bencana harus terjadi, semua komponen sudah lebih siap sesuai kapasitas dan kewenangannya. Sehingga risiko menjadi semakin rendah. So saatnya merapatkan barisan, nyengkuyung bareng penanggulangan bencana sejak dari hulu.

Wallohu’alam