Selama enam bulan tinggal di Jogjakarta, saya banyak menjumpai perempuan muslim yang memiliki ragam pilihan bergaya dalam menggunakan jilbab. Ada teman muslimah yang menggunakan jilbab dan rok panjang serta kaus kaki. Pokoknya si paling ukthi lah, kalau kata orang-orang. Ada juga teman yang memakai jilbab yang bermotif bunga dan motif lainnya demi mempercantik diri. Ada juga teman perempuan muslim yang memakai dan melepas jilbab sesuka hati. Lebih uniknya ada teman sekelas di CRCS UGM dan juga beberapa teman tongkrongan saya yang tidak memakai jilbab.
Ragam cara mereka menggunakan jilbab kemudian mengundang pertanyaan tersendiri untuk saya: mengapa perempuan muslim memiliki cara pandang yang berbeda bahkan cenderung paradoks terhadap jilbab?
Karena penasaran, saya memutuskan untuk melakukan penelitian mengenai politik dan jilbab bagi perempuan Indonesia, sebagai tugas akhir semester dalam kelas Religion, State, and Society yang saya ambil di Center For Religious and Cross-cultural Studies, Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta. Selama melakukan penelitian, saya banyak dibantu oleh rekan-rekan saya perempuan muslim di kelas. Dari mereka, saya bertemu dengan pakar Islam yang mengkaji jilbab secara serius dan akademis seperti Quraish Shihab, Fatima Mernissi, Asma Gull Hasan dan beberapa pemikir lainnya.
Ragam Tafsir Tentang Jilbab/Hijab
Quraish Shihab, melalui bukunya Jilbab: Pakaian Wanita Muslimah Indonesia mengemukakan bahwa pandangan mengenai pewajiban dan batasan jilbab sampai saat ini belum final (Shihab, 2004, 36). Terdapat beberapa ulama yang berpandangan bahwa jilbab itu harus menutup tubuh perempuan secara total, dari ujung kaki sampai ujung rambut. Di tempat lain, ada ulama yang mengatakan tubuh perempuan harus ditutup total sampai hanya kelihatan dua bola mata mereka saja. Sedang pada pandangan yang lain, sejak masa Islam klasik sampai kontemporer, batasan jilbab boleh dan bebas ditentukan oleh sang muslimah itu sendiri. Oleh karena ragam pandangan mengenai batasan jilbab, Quraish Shihab sendiri, pada bagian kesimpulan buku menyarankan agar jilbab boleh dipakai dalam keadaan sopan. Batasan pemakaian jilbab yang terbaik adalah sopan menurut muslimah.
Setelah membaca buku Quraish Shihab, saya mendapat saran dari teman saya Asfhia, untuk membaca buku History Of The Arabs karya Philip K. Hitti. Dari buku Hitti, saya belajar bahwa ternyata jilbab adalah pakaian yang sudah menjadi kebudayaan orang Timur Tengah. Hitti mengatakan bahwa penggunan jilbab sebenarnya sudah ada dalam kebudayaan timur tengah sebelum Al-Quran itu ada (Hitti, 1946, 503-504). Jilbab adalah pakaian kebudayaan orang timur tengah karena fungsi jilbab untuk menutup debu padang pasir.
Saya pun kemudian menjadi paham mengapa Bunda Maria, ibu Yesus, pun memakai kerudung yang menyerupai Jilbab sebab Bunda Maria tinggal dan besar di dunia Palestina yang bergurun dan berpasir seperti Arab. Yaaa, kan Palestina pun juga berada dalam daerah geografi Timur Tengah.
Sesudah membaca buku History Of The Arabs dan belajar mengeia sejarah jilbab, saya berpindah ke buku The Veil and Muslim Elite (1991) karya Fattima Mernissi. Dalam buku tadi, Menissi menceritakan sejarah kekerasan perempuan yang dilakukan oleh laki-laki muslim Bagi kaum laki-laki muslim, terutama kaum elit, agar perempuan menjadi lebih aman, maka bukan hanya tubuh perempuan saja yang ditutup tetapi aktivitas perempuan pun harus dibatasi. Istilah ilmiahnya, privatitasi atau domestifikasi perempuan (Mernissi, 1991). Perempuan kemudian hanya diperbolehkan beraktifitas dalam zona privat (atau rumah) seperti memasak, mengurus anak, mencuci, dan lain sebagainya.
Aksi privatisasi perempuan tersebut dikategorikan Mernissi sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan. Menurut Mernissi, perempuan dan laki-laki memiliki hak dan peran yang sama dalam ruang publik. Perempuan juga memiliki kemampuan dan talenta yang Allah berikan untuk mengurusi ruang publik seperti mencari nafkah dan memimpin. Hijab, tulis Mernissi, dalam bahasa arab berarti batasan dan pelindung. Jadi jilbab adalah batasan dalam bentuk apa pun. Lebih jauh lagi, menurut info dari teman kelas saya yang beragama islam, semua yang bersifat melindungi dan membatasi juga bisa disebut jilbab seperti tembok, helm, pakaian.
Jadi, jilbab tidak melulu tentang pakaian tetapi apa pun yang membatasi dan melindungi. Kembali ke Mernissi, jilbab adalah batasan tubuh dan bukan ruang sehingga ideologi patriarki dalam bentuk privatisasi atau domestifikasi perempuan harus ditolak karena tidak sesuai dengan ajaran Islam (Mernissi, 1997, 227).
Penolakan domestifikasi perempuan juga muncul dalam karya Asma Gull Hasan: American Muslims: The New Generation (2000). Dalam bukunya, Hasan secara generalis, menarik kesimpulan bahwa muslimah Amerika memiliki kebebasan secara subjektif dalam menentukan pemakaian jilbab. Di dunia barat, di abad 21, menurut Hasan, seorang perempuan muslim lebih dihargai karena apa yang ada dalam ‘isi kepalanya’ dan bukan apa yang ada di kepalanya (maksudnya jilbab). Pengakuan publik kepada seorang muslimah, di era modern, terletak kepada aktualisasi diri perempuan melalui pendidikan dan keterampilan perempuan di ruang publik (Hasan, 2001, 128).
Catatan Penutup Tentang Jilbab/Hijab
Dari Shihab, Hitti, Mernissi, dan Asma Gul-Hasan, saya belajar bahwa pandangan mengenai pemakaian dan makna jilbab amat beragam. Keragaman itu terpancar dari pilihan dan tindakan rekan-rekan perempuan muslim yang ada di sekeliling saya. Jawaban dari pertanyaan saya pun sudah saya dapatkan.
Dalam paradigma akademisi dan pemeluk agama Islam, tidak ada makna pasti dan fix terhadap hijab. Itu lah kenapa teman-teman saya yang beragam muslim memiliki sikap yang berbeda-beda terhadap jilbab termasuk tentang bagaimana jilbab itu dipakai oleh muslimah.
Karena luas dan lebar makna jilbab. Jilbab pun dipakai oleh orang-orang non Islam, seperti kristen misalnya. Di media-media sosial, kita bisa melihat perempuan-perempuan kristen di Lebanon, Arab, dan sekitarnya, hari ini masih memakani jilbab. Bunda Maria pun memakai berjilbab dan tidak ada orang kristen yang protes tentang hal itu, setau saya sejauh ini. Gambar di atas, sebagai cover tulisan, menunjukan perempuan-perempuan ortodoks ruisa yang memakai jilbab. Jilbab atau penutup kepala, menurut Sumanto Al-Qurtuby, adalah pakaian khas agama Abrahamistik: Islam, Kristen, Yahudi. Jadi jilbab bermakna luas dan tidak selalu identik dengan Islam.
Kalau kita berkunjung ke daerah Kopeng, sebuah desa kecil di dekat Salatiga, Jawa Tengah, banyak orang Jawa Kristen yang memakai hijab untuk bekerja di Sawah demi melindungi diri mereka dari terik matahari. Saya juga teringat teman-teman saya di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang jarang memakai jilbab. Di NTT, teman-teman saya yang beragama muslim kerap secara intens memakai jilbab hanya pada saat bulan ramadhan. Pada hari-hari, biasa, orang jarang memakai jilbab.
Jadi, di bagian akhir tugas akhir kelas saya mengenai politik dan jilbab bagi perempuan Indonesia, saya menulis bahwa jilbab itu beragam dan akan selalu beragam dari segi makna dan corak pemakaiannya. Ibarat salib bagi orang kristen, jilbab bisa dipandang secara sangat religius tetapi bisa juga diperlakukan sebagai benda biasa-biasa saja. Orang bisa memakai salib dan jilbab secara bebas tanpa batas, barangkali tentu dengan tetap memberikan rasa hormat kepada kedua benda/simbol tersebut.