Umat Islam dan Hari Raya adalah definisi kegembiraan. Kedatangan momentum satu tahun sekali ini disambut gembira dan dijadikan lomba bagi umat Islam untuk menabung pundi-pundi pahala sesuai dengan apa yang dianjurkan oleh Allah SWT.
Bertepatan pada tanggal 10 Dzulhijjah, umat Islam antero jagat raya ini menyambut pesta akbar Iduladha atau Idulkurban. Selain penyambutan hari raya besar, bagi umat Islam, menunaikan ibadah haji dalam menyempurnakan rukun Islam turut dirasakan hangat dan riuhnya beribadah di tanah suci mekkah.
Hari raya Iduladha bagi umat Islam merupakan hari raya yang penuh dengan makna historis, sosial, bahkan filosofis. Secara historis, Idulkurban berawal dari peristiwa ketika kesediaan Nabi Ibrahim AS untuk mengorbankan putranya, Ismail AS, untuk Allah SWT. Kemudian Allah SWT menggantikannya dengan seekor domba.
Hikmah yang dapat dipetik dari kisah tersebut adalah keikhlasan Nabi Ibrahim AS beserta putranya untuk menjalankan apa yang diperintahkan Allah SWT. Bagi Nabi Ibrahim AS, mengurbankan anaknya adalah bentuk rasa ikhlas dan sebuah ujian yang sungguh berat karena hakikatnya beliau menantikan harapan seorang anak sebagai penerusnya sudah lama.
Namun karena itu adalah perintah dari Allah SWT, maka keduanya kemudian saling meneguhkan hati untuk menjalankan apa yang diperintahkan. Keikhlasan hati dari kedua itulah yang kemudian membuat Allah SWT memerintahkan untuk menggantinya dengan menyembelih hewan kurban.
Ada pemaknaan kurban yang tidak hanya semata-mata pada persoalan menyembelih hewan di waktu Idulkurban. Akan tetapi, yang menjadi perkara utama adalah menunaikan dan mewujudkan misi tauhid dan misi sosial dengan penuh keikhlasan yang diniatkan semata hanya kepada Allah SWT.
Persoalan yang kemudian muncul adalah ketika pelaksanaan kurban sebagai ritual tahunan yang syarat akan politik. Bagaimana tidak? Setiap momen Iduladha, hampir seluruh elemen partai politik memberi persembahan hewan kurban, baik secara instansi partai politik atau personal.
Argumentasi dari ciri-ciri berkurban bermotif politik, yakni, pertama, hewan kurban diberikan oleh lembaga politik atau aktivis politik; kedua, pelaksanaan bertepatan di wilayah/daerah yang menjadi konstituen dari politisi terkait; dan yang ketiga, adanya liputan media secara sengaja dengan mengundang wartawan.
Namun di sini tidak sepenuhnya membenarkan bahwa berkurban saat momen politik adalah salah. Karena sejatinya momentum apa pun adalah sah dijadikan instrumen politik untuk mengambil kekuasaan. Sedang kekuasaan dekat dengan rakyat, maka alat politik yang tidak melibatkan rakyat adalah nihil baginya.
Lalu bagaimana apabila niat politisi untuk berkurban semata mengambil simpati dan suara konstituen tempat menyembelih? Wallahu a’lam! Di sini bukan untuk mendebatkan berpahala atau tidak.
Tentunya pasti akan ada niat untuk mengambil simpati dan pujian publik akan kegiatan sosial yang bercap partai dan nomor politik itu. Namun kita tidak tahu niat tersebut masuk dalam urutan ke berapa.
Apabila benar, hal tersebut tentunya akan mendapat “pahala” dari simpati dan pujian masyarakat. Namun kita tidak tahu apakah simpati masyarakat akan linier dengan dukungan dan pilihan. Tetapi, sekali lagi, di sini tidak pula menyalahkan berkurban dalam momen politik.
Sekretaris Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PP Muhammadiyah sekaligus Peneliti Senior The Indonesian Institute, Abd Rahim Ghazali, menggarisbawahi tiga tahap dukungan politik oleh publik. Tahap yang pertama adalah pengenalan; kedua, rasa simpati; dan terakhir, keputusan untuk mendukung kemudian memilih. Oleh karenanya, pemberian rasa simpati publik tidak cukup baginya.
Lalu bagaimana mentransformasikan simpati warga menjadi dukungan untuk memilih? Kita kembalikan lagi pada niat masing-masih di awal. Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya setiap perbuatan (amal) tergantung pada niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang ia niatkan….” (HR Bukhari Muslim).
Maka niat apa yang menjadi urutan pertama dalam berkurban sesungguhnya hasilnya akan mengikuti. Tinggal bagaimana rasa simpati publik tersebut terus dipelihara.
Karena, lagi-lagi, sesungguhnya memelihara lebih sulit dibandingkan mendapatkan. Maka rawatlah simpati dan kepercayaan warga dengan istikamah berkurban disertai berinfak dan beramal. Namun, yang jauh lebih penting, utamakan kepentingan rakyat di atas segala dan berusaha mewujudkan harapan-harapannya.
Kemudian berkurban tidak melulu aktivitas ritual menyembelih hewan kurban dan perayaan dalam satu waktu saja. Mungkin dapat dikatakan, tidak sepenuhnya ada sinkronisasi antara aktivitas berkurban melalui penyerahan dan penyembelihan hewan dengan nilai-nilai luhur dari Idulkurban untuk disadari.
Kalau masih ada politisi dan pemimpin muslim yang selanjutnya tersangkut pada kasus korupsi dan menyalahgunakan jabatan, maka ada orientasi duniawi yang sesungguhnya belum berhasil disadarkan kemudian diselesaikan. Karena rasa ikhlas dan menjadikan sebuah pekerjaan sebagai ibadah belum menjadi bagian yang menyatu dalam diri dan jiwanya.
Sebab ibadah secara umum merupakan bentuk perintah kepada Allah SWT yang terbagi dua: Ibadah Mahdhah, yaitu hubungan manusia dengan Tuhannya, antara seorang muslim dengan Allah SWT yang bersifat ritual (peribadatan); dan Ibadah Ghairu Mahdhah yang berarti mencakup semua perilaku manusia yang hubungannya dengan sesama manusia, yaitu dalam semua aspek kehidupan yang sesuai dengan ketentuan Allah SWT, yang dilakukan dengan ikhlas untuk mendapatkan Ridho-Nya.
Jadi, esensi berkurban, apabila diimplementasikan secara benar dalam kehidupan politik, maka seharusnya dapat mengubah orientasi duniawi seorang poltisi atau pemimpin bahwa ibadah kurban mengajarkan dan memberi contoh mengenai hakikat manusia beribadah dengan keikhlasan semata mengharap rida Allah SWT. Sehingga politisi dan pemimpin yang melaksanakan ibadah berkurban dapat meresapi makna tentang bagaimana rasa saling berbagi kemudian diimplementasikan dalam keseharian kehidupannya.