Kebutuhan akan kertas di era modern seperti sekarang ini semakin tinggi. Revolusi teknologi informasi dan komunikasi yang terus berlangsung hingga kini ternyata tidak serta merta menjadikan kebutuhan manusia terhadap kertas semakin menurun. Sebaliknya, kehidupan masyarakat yang kian modern justru semakin menambah kebutuhan terhadap kertas.

Mengapa demikian?

Jawabannya adalah karena kertas telah melekat pada gaya hidup dan budaya masyarakat modern itu sendiri. Kertas sampai sekarang sudah, masih, dan akan terus menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat modern. Bahkan di beberapa negara maju seperti Amerika, Singapura, Korea Selatan, Jepang, Uni Emirat Arab, dan Eropa, penggunaan kertas telah menjadi bagian dari budaya hidup masyarakatnya.

Gaya hidup dan budaya masyarakat modern yang memengaruhi tingginya kebutuhan dan permintaan terhadap kertas ini, misalnya terlihat pada penggunaan tisu untuk keperluan rumah tangga, restoran, hotel; pengunaan kertas untuk bungkus makanan dan minuman; penggunaan kertas untuk mencetak buku-buku; penggunaan kertas untuk mencetak uang kartal; dan penggunaan kertas untuk keperluan dokumen-dokumen kerja kantor, baik swasta maupun pemerintahan.

Dalam kehidupan kita sebagai orang Indonesia, penggunaan kertas pun tak ayal juga sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Seperti ketika kita membeli nasi di warung makan, kertaslah bungkusnya.

Seperti ketika kita ingin mengelap tangan, mulut, dan wajah, tisulah lapnya. Seperti ketika kita menerima kiriman paket dari kolega atau teman, karduslah wadahnya. Seperti ketika kita menerima nota pembelian, kertaslah wujudnya. Serta ketika kita membaca buku dan mencatat sesuatu, kertaslah bahannya. Semuanya nyaris selalu menggunakan kertas sebagai peranti utama.

Harus kita akui memang, ada hal-hal yang sangat berbeda untuk dirasakan, di mana kemudian kita harus menggunakan kertas. Misalnya ketika kita ingin mencatat sesuatu, akan sangat mudah diingat apabila dilakukan di atas kertas. Misalnya ketika kita membaca buku, akan lebih mudah masuk ke dalam otak, menyenangkan, dan keren apabila membacanya dari buku secara fisik, bukan buku elektronik.

Itulah mengapa di awal saya katakan, bahwa kemajuan zaman tidak serta merta menjadikan penggunaan kertas semakin rendah. Pada satu aktivitas, barangkali itu telah bisa terjadi seperti misalnya pada pola komunikasi masyarakat modern. Namun pada aktivitas lain, justru penggunaan kertas menjadi kebutuhan primer yang tak tergantikan. Hal yang sama juga telah terjadi di belahan dunia mana pun.

Melihat fenomena tersebut, Indonesia sebagai negara tropis yang memiliki lahan subur, luas, dan corak masyarakatnya yang agraris, maka kemudian ada suatu peluang besar bagi Indonesia untuk menjadi negara pemasok kebutuhan kertas dunia. 

Peluang ini mau tak mau harus kita ambil, apabila kita ingin menjadi sebuah negara yang maju dan unggul. Mengingat pula industri kertas di Indonesia merupakan salah satu industri yang pengelolaannya bisa dilakukan dari hulu ke hilir. Mulai dari pengelolaan hutan tanaman industri (HTI) hingga pabrik bubur kertas dan kertas, sehingga pada akhirnya akan dapat menimbulkan multiflier effect terhadap perekonomian nasional kita.

Sampai saat ini, industri kertas di Indonesia menduduki peringkat ke-7 sebagai penyumbang devisa terbesar ekspor dari sektor nonmigas. Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, produk kertas Indonesia bahkan telah mendominasi nilai ekspor ke seluruh Negara dalam dua tahun terakhir (2015-2017).

Diketahui, dari total ekspor produk perkayuan yang senilai USD11,83 miliar, khusus dari ekspor kertas mencapai USD3,95 miliar pada 2016-2017. Bahkan sejak 2013 lalu, menurut Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Aviliani seperti seperti dikutip Antaranews.com, kebutuhan pulp dan kertas negara-negara ASEAN sangat bergantung pada Indonesia.

Terhadap sejumlah Negara-negara anggota ASEAN, Indonesia telah mengekspor pulp dan kertas ke Malaysia dengan volume 363,4 ribu ton, Vietnam 356,1 ribu ton, Filipina 163,16 ribu ton dan Thailand sebanyak125,86 ribu ton.

Belum lagi apabila kita berbicara kebutuhan kertas halal untuk negara-negara berpenduduk mayoritas muslim, di mana kertas juga menjadi komoditas yang diharapkan mampu dijamin kehalalannya. Perlu diketahui oleh publik, bahwa selama ini 60 persen kebutuhan kertas untuk pencetakan Al-Qur’an ternyata dipasok dari Indonesia oleh Asia Pulp dan Paper Sinar Mas. Hal ini menandakan bahwa sebetulnya produk kertas dan pulp dari Indonesia juga tak kalah saing dengan produk-produk negara lain.

Mengingat begitu besarnya peluang pemenuhan kebutuhan kertas tersebut, maka industri kertas Indonesia harus menggenjot produksinya dan lebih berorientasi pada pasar luar negeri. Karena di Indonesia sendiri konsumsi penggunaan kertas per kapita belum terbilang tinggi, baru 30 kg per kapita. Masih kalah jauh dengan, misalnya, Malaysia dan Jepang yang masing-masing membutuhkan 100 kg kertas dan 225 kg kertas per kapita per tahun (Sindo, 2014).

Tetap Menyayangi Hutan

Namun mewujudkan cita-cita menjadi Negara pemasok utama kertas dunia ternyata tidak semudah membalikkan telapak tangan. Karena  disisi lain, produksi kertas membutuhkan lahan yang sangat luas sebagai tempat untuk menanam bahan baku kertas.

Sementara kita tahu, ketersediaan lahan akan hutan produksi di Indonesia biar bagaimanapun juga amatlah terbatas. Terlebih setelah diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.

Penerapan regulasi tersebut, menurut Ketua Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Komisariat Daerah Riau, Muller Tampubolon, seperti dikutip Kontan, mengakibatkan 76% atau area seluas 398.216 hektare dari total 526.070 hektare hutan tanaman industri akan berubah menjadi fungsi lindung.

Artinya, dari luas tersebut membuat industri kekurangan bahan baku sekira 9,5 juta meter kubik per tahun. Di samping itu, PP tersebut juga menimbulkan dampak ketidakpastian  bagi investor yang ingin menanamkan modalnya di bidang perkebunan dan hutan tanaman industri.

Bisa dimaklumi memang mengapa akhirnya pemerintah mengeluarkan PP No 7/2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut tersebut. Karena dalam beberapa dekade terakhir, lahan gambut selalu mengalami kebakaran apabila musim kemarau tiba dan telah mengakibatkan kerusakan lingkungan yang luar biasa. Kebakaran lahan gambut tersebut disebabkan oleh banyak faktor, di antaranya faktor iklim dan cuaca, pembukaan lahan baru baik oleh perusahaan-perusahaan perkebunan maupun petani, dan faktor ketidaksengajaan. 

Di samping itu, ketidakjelasan regulasi mengenai otoritas pengelola lahan juga menjadi penyebab terjadinya kebakaran lahan, di mana kemudian  ketika suatu lahan gambut terbakar tidak ada pihak yang merasa berkepentingan untuk memadamkan, akibatnya api pun tak pelak juga merambat ke lahan-lahan produksi, baik milik masyarakat maupun perusahaan pengelola hasil hutan (Sumawinata & Sabiham, 2016).

Namun berdasarkan siaran pers yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 5 Oktober 2017 lalu, diketahui luas kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di tahun 2017 menurun drastis dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Dalam keterangannya, berdasarkan data citra satelit LANDSAT 8 dan HS Terra Aqua menunjukkan bahwa sampai 5 Oktober 2017, luas karhutla di seluruh wilayah Indonesia sekitar 124.743 Ha. Sementara pada tahun 2016 luas areal kebakaran ± 438.363 Ha, dan pada tahun 2015 mencapai 2.611.411 Ha. Angka kebakaran hutan pada 2017 lalu menurun hingga 71, 5 persen.

Ini tentu menjadi kabar gembira bagi kita. Artinya, pemerintah juga mulai menaruh perhatian yang lebih besar dan serius terhadap bencana kebakaran hutan. Di samping itu, tentu kita juga berharap agar kemudian masyarakat dan perusahaan-perusahaan pengelola hasil hutan industry untuk turut berkomitmen terhadap upaya pengurangan kebakaran hutan dan lahan gambut di Indonesia. Karena pada akhirnya, kalau ini tidak ditanggulangi secara serius, kebakaran hutan dapat merugikan semua pihak. Baik masyarakat, perusahaan, maupun negara.

Oleh karena itu, apa yang telah dilakukan oleh APP dalam upaya penyelamatan ekosistem hutan gambut di kawasan Cagar Biosfer Siak Kecil dan Bukit Batu di Riau juga patut kita apresiasi karena hal ini menandakan tingginya komitmen perusahaan pengelola hutan industri terhadap upaya pelestarian lingkungan.

Upaya itu pula yang kemudian membuat perusahaan ini memperoleh penghargaan Certificate of Vietnam Environment Administration selama dua dua kali berturut-turut untuk program Desa Makmur Peduli Api (DMPA) yang telah digagasnya.

App Sinar Mas saat menerima penghargaan di Vietnam [Dok. Sinarmas.com]

Rincian Program Desa Makmur Peduli Api yang digagas oleh Sinarmas APP [dok. Sinarmas.com]

Berkolaborasi, Mewujudkan Cita-cita

Di era milenial seperti sekarang ini, iklim pasar telah menghendaki adanya kolaborasi. Termasuk dalam hal ini adalah proses produksi, distribusi, hingga konsumsi, yang dipercaya akan lebih optimal apabila ditempuh dengan cara kolaborasi, bukan kompetisi. Kolaborasi mampu menghasilkan lebih banyak hal, keuntungan, dan pengalaman. Adapun kompetisi hanya akan membuat keuntungan dinikmati oleh segelintir orang saja.

Tak terkecuali dalam hal proses produksi hasil hutan tanaman industri kertas. Kini perusahaan tak hanya dapat mengandalkan luas lahan yang telah menjadi konsensinya. Melainkan harus berkolaborasi dengan masyarakat petani, untuk turut berkontribusi pada penyediaan bahan baku. Ini selain untuk menumbuhkan hubungan baik antara perusahaan dengan masyarakat, juga dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat secara lebih progresif lagi.

Diketahui selama ini sektor  industri kertas telah mampu menyerap sebanyak 260 ribu tenaga kerja langsung dan 1,1 juta tenaga kerja tidak langsung. Dengan komitmen kolaborasi yang lebih kuat, maka jumlah tersebut, penulis yakin, masih bisa ditambah lagi sehingga kesejahteraan masyarakat dapat semakin meningkat.

Dalam skala yang lebih besar, perusahaan-perusahaan konsesi hutan juga dapat saling berkolaborasi guna memenuhi kebutuhan bahan bakunya masing-masing. Kolaborasi aktif juga bisa dilakukan antara negara dengan perusahaan pengelola hutan tanaman industri.

Negara sebagai pihak yang berwenang membuat regulasi, diharapkan kemudian dapat memberikan kebijakan-kebijakan mampu mendorong pertumbuhan industri kertas. Karena melalui industri inilah, cita-cita negara untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi masyarakat bisa diwujudkan.

Dengan demikian, maka terwujudlah sebuah pepatah Melayu yang sangat terkenal itu: sekali dayung, dua-tiga pulau terlampaui. Kita tetap bisa melindungi hutan kita, kita dapat memasok kebutuhan kertas dunia, dan kita dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.