Bagaimana rasanya berjoget di depan kiai? Cukup dirasakan. Rasanya mendebarkan. 

Di mata orang Indonesia, kiai merupakan simbol kehormatan bagi seseorang yang punya pemahaman agama mendalam. Posisinya bisa saja melebihi presiden.

Saya pakai judul di atas sebatas simbol atas gugatan fikih taklid pesantren yang ditulis Anas Manunggal. Penulis penelitian ini merupakan sarjana Perbandingan Mazhab dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.  

Ia menulis di jurnal Dinamika, sebuah jurnal yang diterbitkan Forum Komunikasi Santri Banyuanyar (FKMSB). Kebetulan, saya baca lagi jurnal milik mahasiswa santri Banyuanyar ini.

Ada banyak judul di dalamnya. Yang membuat saya tertarik untuk menulis dalam artian mengafirmasi dan mengoreksi ide yang tertuang di dalamnya terkait judul "Menggugat Fikih Taklid di Pesantren: Satu Tawaran Menuju Peradaban" mengingatkanku pada bilik-bilik pesantrennya Cak Nur.  

Anas Manunggal tentu paham dengan pesantren. Sebab, ia sudah menikmati dunia pesantren. Pergolakan pemikiran di pesantren tentu bidangnya fikih-fikih mazhab tertentu. Pesantren di Jawa Timur dengan mazhab syafiinya.

Dunia pesantren dengan tradisi diskusinya yang masih bertahan sampai saat ini tentu mempunyai ciri khas tersendiri dibandingkan lembaga pendidikan yang lain. Di pesantren, sistem pengajaran seperti bandongan, sorogan, dan lain-lain punya daya tawar tersendiri. 

Sama seperti Anas Manunggal, saya sendiri pernah mengenyam pendidikan di pesantren. Semangat para santri mencari ilmu dan memperdalamnya sangat dirasakan. Pesantren bukan tempat main-main. Sebab, yang cuma main-main, ilmunya tidak barokah.

Yang pernah saya alami dulu ketika menjadi santri paling tidak dalam semangat berlomba-lomba mencari ilmu begitu terlihat dalam kegiatan sehari-hari para santri. Jadwal teratur, kegiatan rutinitas edukatif saya rasakan berbeda dengan lembaga pendidikan yang pernah saya rasakan sebelumnya.  

Penjaga keamanan lingkungan pesantren terlihat seperti polisi. Tujuannya mereka ada untuk menjaga ketertiban pesantren. Santri memang diajarkan disiplin dalam berbagai hal. Hal ini tak lain agar ketika pulang ke rumah, para santri bisa disiplin tanpa diatur orang lain.  

Dunia keilmuan di pesantren tetap terjaga dengan adanya diskusi-diskusi yang diadakan oleh pengurus dan para santri. Diskusi yang pernah saya ikuti di pesantren adalah Bahtsul Masail.

Dalam Bahtsul Masail, ada sejumlah santri—saat itu membentuk lingkaran—yang membahas fikih. Tentu fikih di sini fikihnya Mazhab Syafii, mazhab yang sudah lumrah diikuti pesantren Jawa Timur.  

Di Jerman, ada Mazhab Frankfurt, sekelompok sarjana yang bekerja di institut fur sozialforchung (lembaga penelitian sosial). Fokusnya memang masyarakat dan sosial dengan haluan kiri. Mazhab ini menghasilkan kajian-kajian di bidang sosial. Ada banyak filsuf di dalamnya.  

Jika di Jerman ada Mazhab Frankfurt, maka di pesantren ada Bahtsul Masail, sekelompok santri yang membahas masalah fikih. Memecahkan persoalan keagamaan di masyarakat di masjid pesantren. 

Anas Manunggal dalam tulisannya tersebut mengkritik masalah taklid di dunia pesantren. Taklid yang ia kritik berangkat dari kemandekan pemikiran di dunia Islam. Salah satu titik berangkat pemikir Islam seperti Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Cak Nur, dan lain-lain.

Seperti yang telah ditulis Anas Manunggal, taklid disebabkan adanya pintu-pintu ijtihad yang ditutup oleh oknum umat iIslam yang menginginkan jabatan hakim. Jabatan hakim adalah jabatan presitisius pada masa keemasan fikih. Posisinya bisa memengaruhi kebijakan negara.  

Dalam dunia pesantren, budaya taklid bisa dijumpai dalam praktik-praktik pelajaran kitab kuning yang harus diikuti para santri. Santri sebagai manusia tentu memiliki pikirannya sendiri. Dialektika pikiran para santri seharusnya dipelihara bukan dibonsai.  

Pembonsaian pikiran para santri hanya menghilangkan kreativitas. Membiarkan dialektika santri menjadikan pesantren sebagai kawah candradimuka santri. Santri yang sudah digembleng dengan berbagai pemikiran, keilmuan, akan menjadikan pesantren sebagai penyumbang kebangkitan kembali dunia peradaban.

Taklid seharusnya disembuhkan di dunia pesantren. Fikih imam mazhab yang lima adalah hasil kajian ulama terdahulu. Menghargai sebagai hasil pemikiran, iya. Mengkritisinya sebagai hasil pemikiran yang menyejarah, tidak masalah.  

Sepanjang saya mengikuti diskusi fikih dengan pemecahan pada permasalahan masyarakat, para santri yang tergabung di dalamnya hanya menukilkan pikiran para ulama. Bahkan ulama-ulama yang mengikuti pembuka pikiran dalam satu mazhab tertentu seperti Muhammad bin Idris as-syafii.

Mereka tidak berani keluar dari lingkaran mazhab dan pikiran pengikut Imam Syafii. Alasan paling kuat adalah karena ketidakmampuan dalam menghasilkan pemikiran baru terkait persoalan fikih. Penghormatan terhadap pemikiran orang lain lebih diutamakan atas dasar keselamatan dari ketergelinciran.  

Karena ketakutan pada ketergelinciran itu, mereka tak mau keluar dari kungkungan.Padahal benarlah sekiranya ketika ada yang bertanya, bolehkah kita hidup saat ini dengan memakai mata orang-orang yang sudah dikubur ratusan tahun silam?  

Pertanyaan itu mengena pada pikiran. Sebab, bagaimanapun, sejarah yang mengitari kita hari ini berbeda dengan sejarah yang mengitari para pemikir fikih dulu. Dalam asumsinya Hegel, setiap sejarah punya alasan rasionalnya masing-masing. Menurutnya, tidak ada yang sama dalam tiap-tiap sejarah dari generasi ke generasi.  

Anas Manunggal memang betul ketika mengkritik taklid yang sekarang masih membudaya di pesantren. Seruan kembali pada Alquran dan hadis saja yang mulai ditinggalkan kurang saya setujui.

Sebab, kembali pada Alquran dan hadis tanpa metode yang tepat hanya menghasilkan tafsir seenaknya sendiri. Dalam tulisannya, ia tak membahas mengenai ushul fiqh, asbabun nuzul. Meskipun sempat ia singgung secara implisit, tapi tak begitu luas.  

Alquran dan hadi memang lafaznya bahasa Arab, tapi maknanya universal. Di dalam Alquran, ayat yang tak Qoth'iy begitu banyak. Tugas santri memang untuk berpikir bagaimana menghasilkan bukan hanya menggunakan.

Kita tak bisa menyelesaikan permasalahan yang terus berkembang dengan teks mati. Manusia adalah makhluk sejarah.  Permasalahannya juga sejarah, sedangkan teks adalah hasil sejarah.

Untuk mengafirmasi tulisan Anas Manunggal, ada dua hal yang perlu dicatat demi perkembangan dunia pesantren. Pertama, menggali pemikiran mazhab fikih dan mengkritisinya. Kedua, jangan takut pada pemikiran filsuf dunia.

Dua hal tersebut kiranya akan menjadi jelas sebagai pembangun peradaban dunia Islam. Kejayaan Islam karena semangatnya mencari tahu dan terpupuknya penasaran akan yang lain. 

"Hei, para santri, berjogetlah di depan kiai," seru temanku yang sepondok dulu.