...dimensi ciptaan bagi alam semesta, yang perkasa sekaligus sombong.

Menjadi kewajiban bagi manusia, makhluk yang dikaruniakan akal pikiran, untuk selalu berusaha, berikhtiar.

Agar, selalu terjaga sikap optimis, karena selalu tergerak untuk melakukan sesuatu hal yang bertujuan menebar manfaat, bukan diam saja karena takut akan menghadapi risiko dan kejadian membahayakan.

Tuhan memang mengajak manusia agar segera bertebaran di permukaan bumi usai berdoa, shalat, untuk meraih angan dan cita-citanya dengan selalu mengingatNya.

Lalu, sistemNya bakal menjaga segala ikhtiar  manusia dengan menebar pula para malaikat penjaga, dari segala sisi berdampingan dengan manusia secara tak kasat mata.

Mereka para malaikat itu menjadi semacam Liaison of Apocalypse, penghubung wahyu antara Sang Pencipta dengan manusia, yang tiap hari malaikat pulang pergi dari bumi naik menuju langit tertinggi, berjarak sehari setara 50 ribu tahun bumi.

Mereka para malaikat melaju beribu-ribu kali melebihi kecepatan cahaya, keajaiban malaikat yang tercipta dari cahaya, yang dikaruniakan sayap-sayap.

Suatu sistem Ilahiah yang meyakinkan makna maha cepat perhitunganNya, menilai siapa saja yang berikhtiar mengubah nasib mereka menjadi lebih baik.

Setelah semua ikhtiar dijalani dan setiap manusia mendapat karunia masing-masing, maka Dia melarang perilaku iri hati bagi siapapun yang telah mendapat karunia atas ikhtiar yang dilakukan.

Karena, baik bagi pria maupun wanita, telah terdapat paket-paket karunia Ilahi yang terjamin adil dan sepadan atas ikhtiar yang dijalani oleh mereka masing-masing.

Jikalau semua ikhtiar telah dilakukan beriring memohon kepadaNya dengan kesungguhan dan karunia telah tercurah,  maka tiada lagi ungkapan kata; "Seandainya".

Buang jauh-jauh kata itu, agar kita bisa selalu berikhtiar beriring dengan sang waktu, dengan segala kesempatan yang terdapat di dalamnya.

Karena, kata "Seandainya" memiliki peluang menarik hati agar terperangkap ke masa-masa lalu, sementara putaran waktu selalu menuju ke depan.

Juga, karena "Seandainya" itu adalah bentuk godaan.

"Seandainya saya belum terlahir dan dewasa saat ini, maka saya tak bakal menyimak kejadian pilu petinggi polisi jadi tarpidana mati karena membunuh ajudannya sendiri, hanya gara-gara tak mampu meredam bara dalam hati.” Misalnya.

Seandainya saya tak lahir dan hidup di negeri ini, tiada mungkin saya mendengar kabar-kabar buruk tentang oknum pegawai pajak yang kekayaannya berlipat-lipat dari gaji bulanannya.” Masih misalnya.

“Seandainya, saya terlahir dan tinggal di negeri sana, manalah mungkin saya terpapar kabar adanya sirkulasi mencurigakan sejumlah uang 300-an trilyun dalam suatu lembaga pemerintah di suatu negeri seberang sana.” Masih misalnya juga.

“Seandainya saya tak berjumpa dengan seorang wanita cerdas menawan adik kelas semasa kuliah, mana bisa saya mengenal Qureta, yang membuat saya ketagihan menulis lalu mengirim tulisan-tulisan kacau saya kepada Admin Qureta.” Misalnya lagi.

“Seandainya saya tak pernah mengenal seorang wanita yang menjadi kekasih lalu menjadi pendamping hidup saya, mungkin jalan hidup saya bakal tak karuan, yang hanya mengenal intim wanita, sejak dulu hanya yang itu-itu saja.” Lagi-lagi, misalnya.

Terakhir, kata-kata dalam hati mengungkap seandainya paling klise, begini;

"Seandainya saya orang kaya raya, berlimpah harta benda dan kuasa, mana ada waktu bagi saya mengubah kecamuk pikiran menjadi guratan tulisan.”

Pergulatan batin akibat kata “Seandainya” yang secara sadar ataupun tak sadar, suka nyelonong wara-wiri dalam pikiran, bisa membuat nyaman seseorang, seolah menjadi penawar akan tantangan saat ini, yang berakar dari masa lalu.

Sementara itu, seperti apa masa depan tiada seorang pun manusia yang pernah tahu, justru bakal menjerat dan membuat diri terjungkal ke dalam lembah angan-angan kosong semata.

Kenapa? Karena telah menjadi sistem Sang Pencipta alam semesta beserta isinya, bahwa waktu hanya bakal melaju ke depan.

Waktu bisa mengalami penguluran, dilatasi, dalam wujud yang bisa membuat si makhluk ciptaan terperangkap dalam dimensi waktu yang menjadi relatif putarannya, apakah melaju cepat ataukah melambat.

Namun tetap, apakah melambat ataupun cepat, waktu selalu berdetak menuju ke depan, tanpa pernah mau kembali ke belakang bahkan beringsut sebentar ke samping mana yang dia mungkin berkenan.

Waktu memang satu-satunya dimensi ciptaan bagi alam semesta, yang perkasa sekaligus sombong.

Waktu, satu-satunya dimensi yang tercipta menjadi bagian penunjang sistem Ilahiah bagi pergerakan alam semesta, yang terbagi adil dan merata bagi semua makhluk dan substansi penghuni alam semesta.

Bahkan Dia telah bersumpah demi waktu, agar manusia senantiasa bersabar.

Dalam bumi, semua manusia apakah pria ataupun wanita, tua ataupun muda, miskin ataupun kaya, penulis ataupun pembaca, penggemar kata “Seandainya” ataupun kata “Sebenarnya” dan lain-lainnya, dalam setiap ikhtiar mereka menjalani paket jalan kehidupannya, maka semuanya teranugerahi waktu selama 24 jam sehari.

Lalu, iblis dan setan yang mendapat privilege untuk menggoda manusia hingga kelak akhir jaman, bakal memanfaatkan kata “Seandainya” sebagai penghubung angan kosong, Liaison of illusion, bagi siapa saja pemuja kata itu, agar akal pikirannya melulu hanya sekedar berandai-andai, tiada mau menyadari bahwa setiap tantangan hidup kudu dihadapi dengan wujud berperilaku memahami fakta, kebenaran.

Bagai zat psikotropika, kata “Seandainya” akan membius, membuat nyaman dan melenakan, tiada pernah tersadari perlahan-lahan membuat siapapun yang terjebak memuja kata itu, terkaget-kaget akan kehadiran sebuah paket menawan namun berisi kehampaan yang tersaji di hadapan.

Mari berikhtiar, memohon karunia padaNya. Apapun hasil yang teraih, tanpa pernah berandai-andai sambil bilang; "Seandainya bla bla bla...”