Mengenang almarhum Mino Raiola, saya kok jadi ingat sebuah drama yang ‘diproduserinya’ tahun lalu. Musim lalu para Milanista seluruh dunia mendapat suguhan saga transfer yang cukup menjengkelkan. Pelakunya adalah sang kiper Gianluigi Donnarumma yang disetir sang super agent Mino Raiola. Kiper utama AC Milan tersebut enggan memperpanjang kontraknya yang berakhir di bulan Juni 2021. Alasannya ya apalagi kalau bukan uang.
Saga Transfer Donnarumma
Paolo Maldini telah beberapa kali menyodorkan perpanjangan kontrak dengan kenaikan gaji yang cukup tinggi, tapi Gigio tetep ogah. Maldini yang lelah dengan sikap si kiper tentu enggan digantung tanpa kejelasan. Prinsipnya jelas, tidak boleh ada pemain yang (merasa) lebih besar dari klub. Ketika tawaran terakhir tetap tak digubris, dia segera bergerak di bursa transfer.
Tanpa banyak sorotan media, menjelang Juni 2021 tahu-tahu Maldini sudah mendapatkan tandatangan Mike Maignan dengan nilai kontrak relatif murah. Padahal dia adalah kiper dengan catatan clean sheet terbanyak di Ligue 1 Prancis di tahun itu.
Di lain pihak, Raiola pun segera memasarkan kliennya ke beberapa klub kaya Eropa. Namun dengan permintaan gaji dan komisi agen yang naudzubillah setan, ketika itu belum ada klub yang serius menyambut tawaran si super agent. Mungkin klub-klub Eropa mulai jeri berurusan dengannya. Hingga Raiola sempat menampakkan tanda-tanda mau ngeper. Dia mengajak Donnarumma untuk balikan dengan AC Milan.
Manajemen Rossoneri sendiri merasa sudah kadung tersakiti. Mereka berlagak cuek saja sambil menyanyi: mangan ketan ning prapatan, balikan karo mantan padha karo mangan jangan nget-ngetan. End of the story kita ketahui bersama, si kiper bergabung dengan PSG. PSG yang ori dong, bukan milik youtuber Indonesia tea. Dan performa Gigio di sana ternyata angin-anginan, tidak sekonsisten ketika masih di Milan. Alhasil dia mendapatkan menit bermain yang minim.
Judgement Fans Rossoneri terhadap Donnarumma: Mata Duitan
Sebagai seorang fans il Diavolo Rosso sejak era 90-an, saya sebel betul melihat tingkah Gigio. Seperti kebanyakan fans di negeri pizza sana, saya bahkan sempat men-judge dia sebagai pemain mata duitan yang tidak tahu diri. Karena sependek ingatan saya, belum pernah ada pemain bintang Milan yang begitu terang-terangan bicara tentang uang.
Memang pernah ada Kaka, Sheva dan Thiago Silva yang meninggalkan Milanello pada puncak karirnya. Tapi kasus mereka lebih disebabkan pihak Milan yang membutuhkan dana segar untuk kelangsungan hidup klub.
Sedangkan Donnarumma, dia kan local hero jebolan akademi Rossoneri. Pihak klub punya andil besar dalam memupuk bakatnya. Harusnya darah Merah-Hitam mengalir di urat nadinya (seperti kata Manuel Rui Costa), hingga perkara uang mesti dikesampingkan. Begitulah kira-kira tuntutan saya sebagai fans (jadi fans mah bebas menuntut atuh).
Judgement yang Seharusnya Bisa Menjadi Cermin bagi Kita
Muda, bertalenta, kaya raya dan dicintai tifosi. Begitulah gambaran sosok Gigio 3 atau 4 tahun yang lalu. Masa dimana dia dianggap sebagai rising star terbaik negeri pizza. Bahkan di usia yang belum genap 20 tahun dia sudah digadang-gadang akan menjadi one club man, menapaktilasi jejak Franco Baresi dan Paolo Maldini. Namun belakangan ini banyak fans Milan yang mencoret atribut dicintai tifosi dan menggantinya dengan predikat yang bertolak belakang dan bernada ejekan: pengkhianat yang mata duitan.
Terkait jugdement mata duitan tersebut, saya ingin mengajak kita untuk jujur kepada diri sendiri. Dalam dunia yang semakin kapitalis ini, siapa sih orangnya yang tidak mata duitan? Apalagi bagi kita yang hidup di kota besar. Hingga tenaga, pikiran dan waktu dinilai dengan uang. Mari kita mencoba untuk nggrayahi jithok kita sendiri, ngaca, bercermin. Meminjam istilahnya Bung Ebiet G. Ade, tengoklah kedalam sebelum bicara. Jangan-jangan kita telah bersikap sama mata duitannya dengan si Gigio ini, cuma nilai duitnya aja yang jauh berbeda, hahaha.
Yen tak pikir-pikir, polah si Donnarumma ini kok ada mirip-miripnya dengan tingkah kita semua. (nanti pasti ada yang bilang begini: kita? Elo aja kali..) Oportunis, sifat yang berkelindan dengan mata duitan, selalu melirik lahan kerja yang lebih ‘basah’. Tak peduli seberapapun basahnya lahan yang kita tempati sekarang. Lahan tetangga selalu (tampak) lebih hijau kan? Motivasi utama pastinya sama saja dengan si kiper ini, mencari pendapatan yang lebih dan lebih lagi. Perkara komitmen dan dedikasi telah menjadi ‘barang usang’ yang tak terpikirkan lagi.
Sifat oportunis dan mata duitan tersebut jelas digerakkan ego yang menjulang. Rumangsa isa, merasa diri sebagai bintang, dan menilai diri terlalu tinggi. Yang lebih ekstrim, merasa diri lebih besar dari klub, eh kantor. Ujung-ujungnya merasa kantor telah menghargai kemampuan kita dengan terlalu rendah. Hayo ngaku saja, pernah merasa begitu kan? So, masih tega mencela Donnarumma?
Mari bergeser sedikit. Misalnya dalam urusan asmara, berapa banyak dari kita yang main hitung-hitungan seperti Donnarumma? Menghitung faktor pekerjaan, penghasilan dan kemungkinan harta warisan dalam memilih calon pasangan. Soal cinta? Sepertinya ditaruh di urutan Sembilan puluh Sembilan, seperti nomor punggung Gigio di Milan.