Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk. Kemajemukan ini terdiri dari ragam bahasa dan budaya yang menuntun kita untuk mewujudkan dan melestarikan disetiap sisi masyarakat. Dukungan kecanggihan teknologi telah menjadikan bahasa dalam segala bentuknya mengalami kemajuan varian yang sangat pesat. 

Bagaimana tidak? Fakta bahwa pengguna internet di Indonesia hingga tahun 2015 ini telah mencapai 80 juta orang atau naik 300% dalam 5 tahun terakhir. Bahkan hingga tahun 2016, pengguna internet di Indonesia sudah mencapai 132,7 juta orang. Bahkan  60 juta orang diantaranya, meng-akses internet secara mobile. Hal ini menjadi tanda tingkat produktivitas pemakaian bahasa yang luar biasa.

Di sisi lain, data Kominfo April 2012 menyebutkan jumlah pengguna jejaring sosial di Indonesia juga sangat besar. Setidaknya tercatat sebanyak 44,6 juta pengguna Facebook dan di tahun 2016 lalu sesudah mencapai 80 juta orang. Belum lagi para pengguna media sosial lainnya, pasti terus bertambah pesat dari waktu ke waktu. Kondisi ini bertolak belakang dengan realitas adanya 15 bahasa daerah yang sudah punah dan 139 bahasa daerah yang terancam punah dari sekitar 726 bahasa daerah yang ada di Indonesia.

Berlatar pada kondisi inilah, perlu menentukan sikap terhadap fenomena bahasa pada media sosial yang semakin mengglobal. Bagaimana kita memandang bahasa yang terdapat pada medsos, memberi ancaman terhadap bahasa persatuan dan bahasa daerah.  

Bahasa merupakan instrumen terpenting dalam kehidupan manusia. Manusia tidak dapat hidup tanpa menggunakan bahasa, baik lisan maupun tulisan. Bahasa juga di jadikan simbol-simbol yang digunakan untuk menyatakan gagasan, ide, dan perasaan orang kepada orang lain. Mulai dari bangun tidur, makan, mandi, sampai tidur lagi, atau melakukan berbagai aktivitas manusia lainnya, tidak luput dari adanya penggunaan bahasa.

Namun, hingga hari ini kita menghadapi tantangan yang berat seiring intervensi dan realitas penggunaan bahasa pada media sosial. Penggunaan bahasa persatuan Indonesia bertolak belakang dengan prinsip yang ditetapkan dengan baik dan benar. Satu hal yang pasti dalam bahasa media sosial adalah adanya peralihan dari komunikasi lisan menjadi komunikasi tulisan.  

Hal ini terjadi karena dilakukan melalui internet. Cara berkomunikasi ini yang mendorong terjadinya eksplorasi untuk memperkaya bahasa tulis yang dipakai, termasuk menggunakan emot icon sebagai simbol ekspresi tertentu. Dari segi sifatnya, bahasa dalam media sosial biasanya terjadi pada pemakai bahasa yang sudah saling kenal, meskipun berada di ruang publik.

Dalam media sosial, para penutur bahasa alay saling berdialog melalui ragam tulis. Dalam berbahasa tulis kita harus lebih menaruh perhatian agar kalimat-kalimat yang kita susun bisa dapat dipahami pembaca dengan baik. Oleh karena itu, para penutur bahasa alay sering menciptakan kosakata baru yang mereka gunakan untuk berkomunikasi dalam jejaring sosial tersebut. 

Penggunaan kosakata bahasa gaul yang ada dalam jejaring sosial terus berkembang dan berganti mengikuti tren. Masa remaja memiliki karakteristik antara lain petualangan, pengelompokan, dan kenakalan. Ciri ini tercermin juga dalam bahasa mereka. Keinginan untuk membuat kelompok eksklusif menyebabkan mereka menciptakan bahasa rahasia.

Bahasa media sosial telah menjadi realitas. Dalam konteks berbahasa, kita hanya perlu mencermati beberapa ciri bahasa media sosial, antara lain: Adanya sisipan, singkatan, bahasa alay icon emot dan lainnya. Dalam bermedsos kita sering menemukan  adanya singkatan pada sebagian besar konstruksi kalimat yang digunakan. Penggunaan singkatan-singkatan yang umum pada akun status user media sosial menjadi contoh adanya konsensus atau kedekatan emosional di antara pemakainya.

Berdasarkan ciri-ciri tersebut, bahasa media sosial dalam bentuk kosakata, ejaan, atau singkatan pada dasarnya dapat dengan mudah dikreasikan oleh siapapun. Walaupun istilah alay ini sudah dikenal di masyarakat luas dengan arti “orang norak”, tetapi hingga saat ini bahasa alay tersebut masih banyak digunakan oleh para remaja untuk menulis dalam akun pribadi user-nya. 

Bahasa “alay” telah menjadi bahasa pemersatu pergaulan kalangan anak muda dan remaja saat ini. Karena sifatnya yang santai, bahasa media sosial perlu dikawal agar tidak merambah ke aktivitas komunikasi dan berbahasa yang bersifat formal. Inilah sikap penting yang harus dijunjung setiap pengguna bahasa.

Dalam hal ini, penulis lebih mengkerucutkan terhadap penyampaian pesan  dari segi bahasa yang dituangkan pengguna kedalam akun media sosial. Sejauh ini, tidak sedikit masyarakat yang terpengaruh mengalami perubahan sosial dampak dari media sosial. 

Bahasa daerah yang seharusnya di lestarikan. Setidaknya diekspresikan dan di perkenalkan kepada khalayak bahwa Indonesia memiliki beragam bahasa dan suku budaya. Padahal di Indonesia ada sedikitnya 714 suku dan memiliki lebih 1.100 bahasa daerah. Semakin hari semakin terkikis pula nilai budaya lokal karena ketergantunga penggunaan media sosial ini.

Generasi milenial dari anak-anak hingga lanjut usia semua memiliki setidaknya satu akun media sosial, yaitu facebook, instagram, twiter, path, whatsapp, line, blog, pinterest, dan BBM. Banyak variasi medsos yang digunakan mudah dan praktis agar terkesan modern yang membuat orang berlomba-lomba ingin memilikinya.

Kemudahan yang ditawarakan medsos ialah untuk membuat pelakunya merasa sangat dekat meski sebenarnya memiliki jarak yang sangat jauh. Ditambah dengan mudahnya promosi bisnis di dunia maya membuat peminat medsos semakin berkembang. Media social awalnya digunakan sebagai alat yang menghubungkan komunikasi jarak yang jauh, kini menjadi sebuah alat untuk mengekspresikan diri. Banyak pengguna yang mencurahkan isi hatinya di medsos menggunakan ekspresi dan bahasa yang berbeda.