Beberapa waktu yang lalu, Ibu saya yang sedang gemar-gemarnya menjelajahi internet demi menemukan informasi seputar hidup gaya hidup sehat meminta saya untuk membeli garam Himalaya yang katanya kaya akan berbagai kandungan mineral yang lebih menyehatkan dari pada garam dapur yang masih digunakan Ibu saya dan jutaan orang di Indonesia untuk menambahkan rasa asin pada berbagai jenis makanan.

Bukannya tertarik, saya pun menolak perintah Ibu saya untuk membeli garam Himalaya ini dengan memberitahu beliau bahwa jika memang garam Himalaya lebih menyehatkan, toh harganya cukup mahal untuk sebuah ‘garam’ dengan pemakaian untuk sehari-hari.

Produk garam yang berwarna pink ini jelas bukanlah produk lokal, melainkan impor yang jelas nantinya saya sebagai konsumen punya tanggung jawab akan gas emisi yang terbuang selama perjalanan garam tersebut hingga ke Jakarta. Cukup menggunakan garam dapur lokal agar menghemat budget dan membantu petani garam lokal pikir saya.

Seputar garam Himalaya yang katanya lebih menyehatkan ini jadi salah satu jalan alternatif bagi beberapa orang yang punya masalah dengan kesehatan, sebut saja darah tinggi, asam urat , penyakit jantung yang menyarankan penderitanya mengonsumsi garam dengan kadar sangat rendah. Garam dapur yang berwarna putih itu pun menjadi kambing hitam dari munculnya berbagai penyakit dan beberapa orang memilih meninggalkan garam dapur

Gak cuma persoalan di dapur, garam Himalaya ini pun jadi bahan apik dari munculnya produk-produk skincare. Mulai dari cleansing balm, cleansing water, masker wajah serta lulur badan tersedia dengan embel-embel eksfoliasi sel kulit mati, pelembab dan berbagai nama masalah kulit yang sering banget kita dengar.

Dan harga produk skincare tersebut bisa dibilang cukup menguras kantong dengan rata-rata diatas 400 ribu rupiah dengan berat bersih rata-rata sama seperti skincare yang bisa ditemukan dengan harga 50-150 ribu rupiah.

Eh, garam Himalaya juga dijadikan produk hiasan cantik berupa lampu kristal yang katanya punya khasiat kesehatan yang salah satunya dengan melepaskan ion-ion negatif ke udara dalam proses “ionisasi udara” yang membuat kualitas di sekelilingnya akan lebih berkualitas. Bahkan katanya lampu Kristal garam Himalaya ini bisa mengatur mood atau suasana hati Anda supaya terhindar dari perasaan stress. Wah, siapa sih yang gak mau terhindar dari stress?

Sayangnya labelisasi bombastis oleh berbagai produk yang mengatasnamakan garam Himalaya dengan berbagai segudang manfaat mujarab bagi kesehatan ini masih seputar ‘katanya’. Beberapa penelitian ilmiah pun yang mencoba membuktikan berbagai klaim yang digunakan sebagai ‘iklan’ agar konsumen ini tertarik untuk membeli berbagai produk garam Himalaya ini menemukan hasil yang berbeda dari apa yang pernah kita dengar tentang berbagai manfaat garam ini.

Untuk membedah klaim-klaim atas garam Himalaya ini saya akan mencoba untuk mengulasnya dengan berbagai perspektif penjelasan.

Dari Mana Asal Garam Himalaya?

Ketika melihat nama garam Himalaya, mungkin Anda mengira garam ini berasal dari pegunungan Himalaya. Nyatanya garam ini berasal dari pertambangan Khewra di Pakistan. Walaupun Pakistan sendiri jadi salah satu negara yang terkena bentangan apik pegunungan Himalaya, tapi pertambangan ini bukanlah ada di pegunungan Himalaya itu sendiri.

Coba silakan cek Google Maps dan ketik “Khewra salt mine”, Anda akan melihat lokasi pertambangan garam ini yang cukup jauh dengan pertambangan Himalaya.

Nah, untuk jawaban kenapa garam ini tidak dinamakan garam Pakistan ada konteks sejarah, politik serta teknik promosi yang masuk ke pembahasan garam ini.  

Pertama, di tahun 2019 ada sebuah berita yang beredar di sosial media yang mengatakan bahwa garam yang berasal dari Pakistan ini telah dijual kembali dengan label “made in India”. Dan Pakistan dan India memang memiliki hubungan yang kurang baik sejak dahulu. Hal ini membuat beberapa politisi Pakistan membawa permasalahan tersebut ke meja parlemen untuk dibahas.

Tapi, sebenarnya nama ‘Himalaya’ yang terkesan sudah melekat dekat garam Pakistan sudah bermasalah setelah tahun 2007 yangmana sektor pertambangan tersebut diurus oleh sektor privat setelah sebelumnya diambil alih oleh Pakistan Minerals Development Cooperation sebagai pengatur ekspor garam.

Eksportir swasta yang mengeluhkan sistem birokrasi pemerintahan yang rumit menyebabkan beberapa pembeli internasional tidak puas dan beralih membeli sumber garam ke negara lain.

 Itulah yang menyebabkan pertambangan Khewra yang menjadi salah satu pertambangan garam terbesar kedua di dunia, Pakistan nyatanya tidak berada di sepuluh posisi eksportir garam terbesar dunia, justru negara India, Cina yang masing-masing berada di urutan ketujuh dan kesembilan. 

Hal ini disebabkan karena Pakistan yang hanya menjual garam tersebut dalam keadaan mentah dan naasnya dijual lebih murah. Alhasil keuntungan besar dan berkali-kali lipat justru didapat bukan dari Pakistan, melainkan negara eksportir yang sudah mengolah garam mentah tersebut dalam keadaan finished product dan kembali dijual ke negara lain. 

Jadi, harga mahal garam Himalaya ini bukan karena dari ‘garam’ itu sendiri, melainkan harga dari ongkos produksi yang berlapis-lapis dari negara eksportir.

Sejarah Pertambangan Garam Himalaya 

Pertambangan ini ditemukan oleh salah satu tentara Alexander the Great yang menjilat sebuah batuan besar di tempat ia bersinggah setelah kelelahan memenangkan pertarungan melawan  kerajaan Paurava di dekat sungai Jhelum. Walaupun cerita ini gak memiliki bukti tulisan, tapi peristiwa pertarungan besar di dekar sungat Jhelum ini benar adanya. Dan pertarungan tersebut dinamakan Battle of the Hydaspes”.

Berabad-abad setelahnya, banyak sejarawan yang mengatakan bahwa Jalaluddin Muhammad Akbar sang kaisar dari kekaisaran Mughal yang saat itu menguasai daerah Pakistan yang memperkenalkan pertambangan garam pink ini ke komoditas perdagangan besar. 

Sampai pada akhirnya kerajaan Sikh yang mengambil alih pertambangan garam ini dan pada akhirnya kolonialisme oleh tentara Inggris yang menjajah Pakistan mengambi pertambangan garam Khewra. 

Mereka melakukan panen garam dengan sistem “room and pillar” atau “kubah dan pilar” agar dapat melakukan jumlah panen yang menigkat dan para penduduk lokal, baik laki-laki, perempuan dan anak-anak yang melakukan penambangan garam ini dengan sistem kerja paksa.

Hingga saat itu para pekerja pertambangan garam masih melakukan cara yang sama dengan teknik yang diperkenalkan oleh tentara Inggris tersebut.

Bagaimana garam Himalaya dibuat?

Berbeda dari garam dapur yang dibuat dengan proses evaporasi, garam Himalaya ini diambil dari pertambangan garam yang terbentuk sejak zaman prakambrium sekitar 500 juta tahun yang lalu. 

Nah, laut pedalaman purba di dalam pegunungan yang menguap akibat iklim di era ini belum lah stabil membuat laut akhirnya mengering dan meninggalkan deposit garam mineral yang jumlahnya ekspansif. 

Ketika aktivitas tektonik membuat gunung melutus, pada akhirnya semburan lava akan menutupi tambang garam sebagai perlindungan dari racun serta polutan lainnya dari zaman ke zaman. Karena garam ini yang terlindungi secara alami, sebab itu banyak orang yang menganggap garam Himalaya sebagai garam paling murni di dunia.

Jika menyebut garam Himalaya terbentuk dari proses alami saya jelas setuju. Tapi, kalau menganggap garam ini yang paling murni dengan mengatakan kadar natrium-klorida di dalam garam ini lebih rendah ketimbang garam dapur. Nyatanya kandungan NaCl di dalam garam Himalaya sekitar 95 sampai 98 % yang ternyata sama dengan kandungan NaCl pada garam dapur.

Kandungan 84 Mineral yang Lebih Banyak Dari Garam Dapur

Salah satu line promosi dalam garam Himalaya ini ialah yang mengklaim bahwa garam ini memiliki kandungan 84 mineral yang diantaranya kalsium, potasium, dan magnesium. Nyatanya jumlah kandungan tersebut tidaklah terlalu banyak untuk memenuhi yang tubuh kita butuhkan. 

Kalau Anda cekatan, ketiga kandungan tersebut sebetulnya bisa ditemukan pada sayur bayam, pisang, dan susu yang jelas lebih murah dan memiliki kandungan nutrisi yang lebih tinggi serta tinggi akan serat yang baik untuk pencernaan. 

Perlu dicatat bahwa kandungan mineral dalam garam Himalaya tersebut pun akan berkurang dan rusak ketika masuk dalam proses memasak.

Asumsi “lebih banyak, lebih baik” diinterpretasikan secara salah oleh beberapa orang, sebab tubuh kita dalam menanggapi nutrisi yang masuk dalam tubuh memiliki asupan per harinya masing-masing.  Tubuh pun akan membuang sisa nutrisi yang terdeteksi berlebihan tersebut pada akhirnya.

Beberapa penelitian justru menemukan 60 dari 84 mineral, seperti uranium, cesium, plutonium, thallium yang memiliki kandungan berbahaya serta radioaktif. Walaupun kandungannya tidak terlalu tinggi, tetap saja klaim 84 mineral lebih menyehatkan menjadi klaim yang terlalu berlebihan mengingat garam ini dianggap sebagai yang “baik dan menyehatkan”.   

Saya menyarankan jika anda menginginkan nutrisi berbagai mineral yang bukan sekedar line bombastis layaknya garam Himalaya ini, anda bisa mendapatnya sekedar memakan kacang-kacangan, ikan serta sayuran.

Oh ya, garam Himalaya justru tidak memiliki kandungan yodium yang berfungsi untuk menstabilkan hormone tiroid dalam tubuh. Jika tubuh anda kekurangan yodium dampaknya akan menimbulkan penyakit seperti gondokan, hipotiroidisme sampai kanker tiroid.

Klaim Lebih Menyehatkan

Seperti yang sebelumnya sudah saya katakan, bahwa banyak orang memilih garam Himalaya sebagai garam ‘penambah rasa’ alternatif bagi mereka yang ingin menjaga kesehatannya dari penyakit yang ‘katanya’ ditimbulkan oleh konsumsi garam.

Jika menganggap garam sebagai dalangnya timbul berbagai penyakit khususnya kardiovaskular karena beberapa pakar kesehatan yang lebih menyarankan untuk meminimalisasi penggunaan garam, bukan karena garam itu sendiri berbahaya melainkan ada beberapa faktor, misalnya proses memasak yang apabila terkena suhu  tinggi dengan proses memasak yang lumayan memakan waktu dan asupan garam yang berlebihan.

Anggapan garam sebagai kambing  hitam utama timbulnya berbagai masalah penyakit pun jelas anggapan yang salah. Sebab kita tidak boleh menutup mata ada berbagai faktor timbulnya penyakit, seperti jarang berolahraga, makan makanan yang kurang nutrisi serta serat yang diperlukan tubuh ataupun faktor keturunan.  

Dan jangan lupa bahwa asupan konsumsi garam per harinya ialah sebanyak satu sendok teh. Bukan satu sendok makan, ya.

Upah Minim Para Pekerja

Salah satu dari sekian banyak line promosi garam Himalaya ini yang berhubungan dengan para penambang garam ini ialah dibuat dari tangan atau “hand mines” yang membuat mindset garam Himalaya ini lebih organik dari garam dapur. 

Padahal tidak ada sebetulnya istilah garam organik sebab garam merupakan senyawa anorganik. Baik itu garam laut, garam dapur atau garam Himalaya sekalipun. Jadi, jangan sampai tertipu.

Tambang garam Khewra yang sempat dikelola pada masa kolonial ini hingga sekarang para penambang ialah para keluarga lokal yang secara turun menurun dipekerjakan sesuai dengan tradisi masa kolonial Inggris yang sayangnya masih dipertahankan oleh perusahaan.

Berdasarkan artikel Seattle Times di tahun 2005, dalam wawancaranya bersama salah satu penambang garam di Khewra yang sudah bekerja selama 40 tahun, Mohammed Buksh mengungkapkan bahwa pekerjaannya secara teknis tidaklah berbeda ketika dia menjadi penambang untuk pertama kalinya.

Para buruh yang melakukan pekerjaannya dengan cara berkelompok hanya mendapatkan upah sekitar 164 rupee ($ 2,75) untuk setiap ton batu garam yang mereka gali. Jika mereka bekerja secara keras, mereka bisa mendapatkan upah sekitar $50 per bulan.

“Saya ingin keluar dari pekerjaan ini. Karena ini merupakan pekerjaan yang berat dan tidak mendapatkan upah yang cukup. Beberapa hal tidak berubah. Kami masih menggunakan tangan dan alat-alat manual,” ucap Buksh.

Belum lagi angka kematian para penambang garam yang menurut Organisasi Buruh Internasional, seadanya ada 100 orang yang meninggal di pertambangan Pakistan yang mana pekerja di Khewra terbunuh oleh sebongkah batu yang jatuh saat dia mencungkilnya dari langit-langit batuan tambang dengan sebatang besi.

Balik Lagi ke Garam Dapur

Di balik cantiknya garam pink Himalaya yang berasal dari Pakistan ini, line promosi seputar kesehatan dan kecantikan yang berhasil dikomersialkan tampaknya tidak seratus persen dari apa yang mereka coba iklankan tersebut terbukti secara ilmiah.

Patutnya kita sebagai rakyat di tengah negara agraris ini berpikir ulang kembali untuk menggunakan garam Himalaya yang nyatanya tidaklah berbeda dengan garam dapur ataupun garam laut buatan para petani lokal. 

Tak hanya lebih murah, tindakan kita yang memilih garam lokal ialah sebagai kewajiban kita untuk memakmurkan produk lokal guna menggunakan sumber daya alam yang sudah Tuhan lapangkan untuk negara kita juga untuk memajukan perekonomian petani garam yang kian tercekik berbagai garam impor.

Kapitalisasi akan garam Himalaya yang jelas merampas hak buruh atau para penambang garam Himalaya membuat mereka  tidaklah makmur dari garam yang seharusnya menjadi ‘hidden gems’ bagi penghidupan mereka justru lebih memberi penghidupan kepada eksportir yang membuat harga berkali-kali lipat di pasaran internasional.

Sekiranya sebagai konsumen, apalagi membeli produk dengan harga mahal untuk sekedar garam ada baiknya memikirkan tentang para pekerja di pertambangan Khewra yang justru mendapatkan bayaran yang ‘tidak pantas’ ini.

Jika garam ini dirasa lebih cantik dan Anda memiliki uang yang sudah melebihi kebutuhan Anda, silahkan membeli garam ini toh itupun hak Anda. Tapi, melihat berbagai penjelasan yang sudah saya jelaskan sebelumnya, apakah garam pink ini yang secara fisik indah layak untuk dibeli mengingat berbagai polemik di proses produksinya?