Ketika kita memperbincangkan hukum maka seturut juga kita berbicara entitas makhluk bernama manusia; suatu makhluk yang (diklaim) memiliki keistimewaan karena akal dan budi-nya. Artinya, hukum ada ketika manusia – dalam pemahaman majemuk – turut juga ada.
Tidak ada hukum, baik tercipta dan maupun dicipta, dalam entitas makhluk lainnya. Itu sebabnya subjek utama hukum adalah manusia dan pada kenyataannya memang cuma manusia itu sendiri -- ya, meski dalam lintasan sejarah peradaban ini sendiri, kita tahu, pernah satu waktu bahwa hewan pun dijadikan sebagai subjek hukum.
Namun, tiada hukum pada manusia dalam individu. Hukum ada ketika manusia sebagai sebuah bagian, baik dalam lanskap komunitas maupun masyarakat. Manusia sendiri bisa ditelusuri dari dua sisi: sebagai individu dan sebagai entitas sosial.
Syahdan, pada mulanya semua manusia adalah individu. Seiring dengan perkembangan daya pikiran (kognisi), kebutuhan, dan kepentingan, manusia sebagai individu berkumpul dan membentuk unit sosial dalam skala kelompok guna pemenuhan aspek-aspek tersebut.
Kelompok manusia demikian melakukan kerjasama positif dalam upaya mengejar kehidupan yang layak sebagai manusia. Filsuf Yunani, Aristoteles memberikan istilah terhadap perangai manusia tersebut sebagai zoon politicon; makhluk yang pada dasarnya ingin bergaul dan berkumpul dengan sesama manusia.
Ketika manusia semakin berkembang, baik dalam populasi maupun kemampuan, serta kebutuhan semakin mendesak dan kompleks, hingga terkadang melahirkan perselisihan antar kelompok dan konflik, manusia merasa perlu menyelaraskan ide dan kebutuhan dengan kelompok manusia lainnya dengan menciptakan sebuah tatanan bernama masyarakat. Ya, sebagai bentuk wadah individu plus individu dan kelompok plus kelompok tersebut.
Pun demikian, bicara masyarakat sebagai wadah kelompok plus kelompok ialah soal bagaimana mempertahankan kepentingan kelompok dan ego-sektoral masing-masing, bukan? Dus, diperlukan sebuah aturan yang mengakomodir kepentingan antar kelompok dalam masyarakat tersebut.
Yang demikian disebut norma; suatu aturan yang lahir dari hasil pertentangan dan penyelarasan kepentingan-kepentingan antar kelompok manusia yang dirasa perlu dilindungi dan diakomodasi berdasarkan kesepakatan dan selaras serta tidak bertentangan dengan kodrat alam.
Sebagai suatu akomodasi kepentingan antar kelompok, dari sini, bisa dilihat suatu norma juga turut terbentuk karena dua hal:
Pertama, adanya perjumpaan dua atau lebih aturan dan kepentingan kelompok yang secara komposisi memiliki pengaruh sama kuat, namun dapat diselaraskan hingga bersama-sama membentuk norma masyarakat.
Tentu, pertanyaannya adalah, sebagai perjumpaan kepentingan dan pertentangan antar-kelompok, bagaimana terbentuk suatu kesepakatan norma? Bagi penulis, tawaran pandangan seperti sebagaimana yang diuraikan J. J Rosseau sangat tepat untuk menjawabnya. Bahwa kepentingan tersebut harus dibedakan antara kehendak umum dan kehendak masing-masing.
Kehendak umum jelas menyangkut kepentingan bersama, seperti kepentingan akan adanya keamanan, kenyamanan, dan keadilan. Sementara kehendak masing-masing menyangkut kepentingan kelompok dan karena sebuah kepentingan kelompok, ya, tentu saja itu tidak akan pernah sama. Kedua kehendak tersebut dibenturkan dan difilter hingga mendapatkan kehendak mayoritas dan itu yang disepakati akan menjadi norma tersebut.
Kedua, adanya perselisihan dan konflik antar kepentingan kelompok yang melahirkan satu kekuatan kelompok yang mendominasi (hegemonik) dan, tentu saja, memiliki pengaruh serta intervensi untuk membentuk norma masyarakat berdasarkan standar kelompok tersebut.
Singkatnya, norma hadir sebagai produk “rambu-rambu”, baik berdasarkan konsensus (kelompok) masyarakat maupun kreasi figur (kelompok) masyarakat warga tertentu yang dirasa memiliki pengaruh dan implikasi positif bagi kebutuhan masyarakat tersebut.
Lebih jauh lagi, dibanyak catatan dan referensi bentuk norma itu sendiri terklasifikasi menjadi 4, yakni: 1).Norma Agama; 2). Norma Hukum; 3). Norma Kesopanan; dan 4). Norma Kesusilaan.
Saya sendiri memberikan pandangan bahwa ke-empat norma tersebut bisa dilihat sebagai hasil dari 3 kreasi produk, yakni Norma Agama sebagai produk pewahyuan nan metafisis; Norma Kesusilaan dan Kesopanan sebagai produk kreasi unit kelompok sosial atau komunitas – yang bersifat relatif, ; dan Norma Hukum sebagai produk terakhir terhadap akumulasi dan penyelarasan akumulasi dari norma lainnya.
Pemahaman Norma Agama di sini dipahami, dibatasi, dan direduksi dari sudut teologis belaka saja; bukan disinggung dari sudut antropologi guna menghindari pendekatan pemahaman yang multitafsir dan (pasti) berbeda. Norma Kesusilaan dan Kesopanan sebagai produk kreasi yang bersifat relatif.
Ilmu Etika memasukkan norma demikian sebagai bagian dari etiket atau etika perangai. Norma Hukum sebagai produk norma terakhir yang disepakati sebagai akumulasi dan penyelarasan nilai-nilai dari norma-norma tersebut.
Himpunan norma-norma demikianlah yang menginisiasi dan melahirkan aturan-aturan yang bersifat konkrit bernama hukum seperti kita kenal saat ini. Berkaca dari hal itu, saya melihat bahwa pada akhirnya, persoalan perkembangan masyarakat dan norma ialah persoalan penyelarasan, konflik, dan dominasi kelompok masyarakat tertentu.
Ini juga menjawab mengapa peradaban masyarakat impor, seperti Peradaban Barat begitu berpengaruh bagi dunia dan dijadikan “standard kehidupan” masyarakat modern.
Iya, tak lain, karena Peradaban Barat-lah pemenang pertarungan dominasi itu.