Siang itu saya tiba di kedai kopi sederhana di salah satu Kota kecil di pulau Kalimantan. Seperti kebisaan saya, memesan kopi dan membuka laptop lalu berpikir panjang sebelum mulai menulis.
Sementara air dipanaskan oleh pemilik cafe, di saat saya masih menantikan seruput pertama racikannya yang selalu berbeda dari seruput setelahnya.
Tiba-tiba saya teringat beberapa kejadian yang masih saja dibiarkan. Di mana kejadian tersebut sudah ada sejak zaman purba, hanya saja setiap kejadian mengalami pergeseran nilai dan istilah sesuai perkembangan zaman, atau tergantung kebutuhan pelaku sejarah.
Sebut saja arogansi, istilah ini tak perlu saya terjemahkan. Lagian saya tulis ini untuk mereka yang mengerti istilah, bukan pada mereka yang baru beranjak dan belajar merangkak, sebelum tumbuh lalu belajar menghitung.
Arogansi yang melekat pada kekuasaan yang selalu melahirkan tragedi, penjajahan, bahkan pembantaian.
Lagi-lagi saya tak perlu suguhkan banyak bukti untuk pengakuan, sebut saja Adolf Hitler, selama perang dunia II melakukan pembantaian terhadap jutaan orang Yahudi.
Atau kejadian serupa di Indonesia pada 1965. Walau banyak versi terkait tragedi berdarah itu, namun satu hal yang pasti bahwa hal tersebut merupakan pelanggaran HAM dan harus diselesaikan atas dasar tanggung jawab bersama.
Banyak sejarah dan kisah mengerikan lainnya terus terjadi di dunia, bahkan di Indonesia. Kendati perilaku yang menyayat hati itu tidak diharapkan, namun faktanya penguasa selalu punya cara dan alasan untuk terus membunuh tanpa sanksi yang setimpal.
Saya ambil contoh kecil UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, di mana negara melindungi dan menghormati hak asasi manusia setiap warganya.
Tetapi, bila penguasa sudah menunjuk dan menginstruksikan, hukuman mati pun dilangsungkan lewat berbagai macam pembenaran ala kadarnya.
Belum lagi di desa-desa di pelosok negeri ini. Bila seseorang punya jabatan atau pangkat, serta kedudukan tinggi.
Maka jangankan dirinya, keluarga dan kerabatnya pun ikut arogan seolah identitas tersebut adalah milik bersama.
Mereka dengan tega menganiaya, menyingkirkan, bahkan melecehkan orang-orang kecil yang miskin dan tidak memiliki apa-apa tanpa pernah merasa bersalah apalagi mau disalahkan. Penguasa sok suci, sok maha benar.
Watak arogansi atas kekuasaan tersebut menjadi cerminan di lingkungan masyarakat negeri ini. Sehingga para pelajar berlomba-lomba untuk kuliah dan jadi pejabat, para pengangguran ada yang rela merampok dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang demi membayar orang berpangkat agar diladeni dengan baik.
Perilaku menyimpang ini perlahan membunuh kemanusiaan, menghilangkan nurani dan melepas otak dari batok kepala.
Sehingga nampak kehidupan tak lebih dari sekedar aktivitas binatang yang saling memakan demi bertahan hidup.
Kegelisahan ini terus menyiksa dalam kepala, sehingga tidak ada pilihan lain. Saya harus tumpahkan lewat tulisan ini, sekaligus menjadi bahan perenungan bersama untuk semua ciptaan Tuhan yang mengaku berakal.
Akibat kegalauan ini, saya kemudian membuka Facebook dan memasuki salah satu grup, Suara Masyarakat Sinjai. Grup yang beranggotakan 28,2K itu terbilang aktif di Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan.
Dalam grup itu saya mengajukan pertanyaan atas risau yang menghantui selama ini. Saya tuliskan pertanyaan. “Selamat siang untuk semua hamba Tuhan yang senantiasa berpikir. Menurut kalian, apa penyebab kekuasaan kerap identik dengan watak arogan?”
Bertebaran like dan komentar meramaikan pertanyaan saya pada grup tersebut, mulai dari akun Pardi Alberto: Karena kekuasaannya tidak ditopang ilmu yg memadai plus keteguhan hati kakak ditambah lagi sifat egoisme yg ia miliki. Sedikit disentil Malah tidak terima masukan padahal apa yg dia lakukan kurang tepat. Hanya mau dengan ide dan gagasan tersendiri.
Jawaban-jawaban dari netizen terus masuk dengan kalimat yang nyaris bermakna serupa, bahwa kekuasaan merasa punya segalanya, sebab itu mereka arogan.
Seperti jawaban Akbar Latif: Karna merasa banyak hamba kekuasaan yg slllu menjilat di kakinya.
Disambung oleh akun Rahmat Puang Dorong: Kekuasaan yg identik dengan sikap arogan. Berarti orang yg memiliki kuasa itu belum sepenuhnya memiliki kedewasaan dalam berpikir. Tidak mampu mengontrol diri, sulit untuk menerima masukan.
Tidak ketinggalan Irfan: Kehidupan seseorang tidak di kendalikan orang lain kecuali dia penjilat. Serta nilai nilai religius dalam hidup telah di Nina bobokan.
Bahkan masih banyak jawaban lainnya yang tidak saya masukkan pada tulisan ini, mengingat jawaban-jawaban di atas sudah sedikit mewakili jawaban atas pertanyaanku.
Intinya kekuasaan yang tidak ditopang dengan suatu konsep yang matang, dijalankan oleh pribadi yang bijaksana. Maka selalu berpotensi melahirkan arogansi.
Sehingga perlu kiranya menjadi evaluasi bersama. Bagaimana menjadi pemimpin yang tidak melahirkan kebijakan yang timpang atas watak arogansi yang usang, tetapi menjadi pimpin yang dirindukan, dibicarakan baik dan dinikmati hasilnya bahkan jauh setelah pemimpin tersebut tiada.
Pemimpin atau pemilik kuasa sudah seharusnya memanfaatkan kedudukan demi kemajuan bersama, bukan memainkan peran atas relasi dari kuasanya untuk menindas. Sebab saya yakin, bila penindasan terus berlanjut. Cepat atau lambat, perlawanan akan berlipat ganda dan meledakkan sebuah rezim.