Dalam dinamika isu perubahan iklim dan pengelolaan lingkungan berkelanjutan, sering kita dengar seruan agar sedapat mungkin mengurangi pemakaian kertas dalam kehidupan sehari-hari dan menukarnya dengan pemakaian piranti dan teknologi digital secara lebih masif.
Ketika kesadaran penyelamatan bumi meningkat, kampanye seperti ini sungguh menarik dan kekinian. Tetapi, sungguhkah “going paperless” itu berarti juga “going green”?
Ternyata jawabannya tidaklah sederhana.
Carbon footprint
Yang kerap dilupakan ialah bahwa, di era anthropocene ini, ketika kesadaran go paperless mulai marak, ternyata meningkat pula carbon footprint atau emisi karbon yang merupakan unsur utama gas rumah kaca dari penggunaan piranti digital tersebut.
Ambil contoh penelitian dari The Radicati Group, yang mengupas tentang carbon footprint dari teknologi email yang kita gunakan sehari-hari.
Pada tahun 2015, ditengarai per hari terdapat 205 triliun email yang dikirim dan diterima. Dengan asumsi pertumbuhan 3% per tahun maka di tahun 2019 diperkirakan akan ada 246 triliun email per hari. Ini berarti akan ada 2,4 juta email setiap detiknya.
Jika diestimasi bahwa setiap email mengandung paling sedikit 0,3 gram karbon, maka diperkirakan setiap tahun karbon yang dihasilkan adalah 22 juta metrik ton. Itu setara dengan gas rumah kaca yang dihasilkan oleh 5 juta mobil.
Namun jika diestimasi dengan angka tertinggi, 50 gram karbon per email, maka setiap tahun diperkirakan akan ada 4 triliun gram karbon yang dihasilkan, atau setara dengan karbon dari 890 juta mobil.
Angka-angka itu tergolong fantastis, dan apabila digabung dengan angka dari pemakaian alat digital lain, maka jumlahnya mencapai 2% dari total seluruh emisi karbon yang ada pada gas rumah kaca.
Bagaimana dengan carbon footprint dari kertas (industri kertas dan percetakan)? Data lama dari World Resource Institute, menyatakan bahwa sumbangsih kertas mencapai 1,1% dari total seluruh emisi karbon pada tahun 2005. Sedang di tahun 2012, menurut data Carbon Dioxide Information Center (CDIAC), kontribusi karbon dari industri kertas adalah sekitar 0,9%
Namun, data juga menyatakan bahwa dalam 20 tahun terakhir, pemakaian kertas telah meningkat sebanyak 126%. Maka dengan estimasi sangat kasar, walau sulit menemukan angka perbandingan yang apple to apple, dari estimasi-estimasi itu dapat disimpulkan bahwa baik kertas dan digital, keduanya berkontribusi terhadap emisi karbon dalam proporsi yang sebelas dua belas.
Daur ulang dan pencemaran
Ketika perdebatan soal carbon footprint ini cenderung bikin bingung karena adu klaim dan data antara industri kertas versus penggiat lingkungan, yang dikisruhi kepentingan industri digital, rupanya masih ada satu hal yang jelas dalam soal perkertasan ini.
Tidak seperti industri digital, industri kertas, mulai dari hulu dan hilirnya, adalah industri yang diakui lebih renewable dan recyclable.
Bahan baku kertas adalah kayu, yang merupakan sumberdaya terbarukan. Walau penebangan hutan primer untuk industri kertas adalah praktek buruk, penanaman ulang dapat dilakukan dalam siklus kurang lebih 5-20 tahun tergantung jenis pohonnya. Yang berarti pemanfaatan lahannya lebih berkelanjutan.
Sedang di sini lain, salah satu bahan baku utama piranti digital adalah mineral langka yang disebut dengan Rare Earth Elements (REEs). REEs ini, selain tidak terbarukan, juga sangat boros dalam konsumsi energi karena proses ekstraksi yang rumit, yang berakibat pada tingginya angka ecological footprint-nya. Selain itu, kerusakan lingkungan akibat aktivitas pertambangannya juga tak mudah direstorasi. Jika bisa, perlu biaya besar dan waktu yang juga lama.
Limbah peralatan digital, atau e-waste, diperkirakan berjumlah 50 juta ton per tahunnya. Sedangkan daur ulang peralatan digital, atau e-waste recycling, masih belum optimal, hanya sekitar 25% saja.
Sebagai contoh di Amerika Serikat, Environmental Protection Agency (EPA) menyatakan bahwa pada tahun 2011, dari 3,4 juta ton sampah elektronik, hanya sekitar 25,8% yang didaur ulang. Sedangkan 74,2% sisanya masuk ke tempat pembuangan atau pembakaran. Untungnya, pada tahun 2013, jumlah yang didaur ulang meningkat menjadi sekitar 40,40% dari 3,1 juta ton sampah elektronik.
Bandingkan dengan limbah kertas, yang walaupun berjumlah 67 juta ton per tahun, sebagian besar dapat didaur ulang menjadi produk berikutnya. Tak hanya itu, kertas dapat didaur ulang sebanyak 5-7 kali sesuai ketahanan serat kertasnya.
Ketika bahan metal dari piranti digital itu masuk ke tanah, atau dibakar, terjadi pencemaran. Misalnya saja dari logam merkuri, americium, lead, cadmium, beryllium, atau brominate flame retardant (BRF), yang bersifat karsinogen dan destruktif terhadap sistem tubuh makhluk hidup termasuk manusia. Material-material beracun tersebut dapat masuk ke air tanah dan sungai, sedangkan komponen plastik yang terbakar mengakibatkan dioxin terlepas ke udara.
Di sisi lain, walau jauh lebih degradable dari material piranti digital, tidak juga pas jika kita menyepelekan kontribusi industri kertas dalam hal pencemaran ini. Di Kanada, industri kertas merupakan penyumbang ketiga terbesar untuk buangan limbah ke air, tanah, dan udara. Di Amerika Serikat, ia menempati posisi keenam. Kandungan kimia dalam tinta, pewarna dan polimernya juga mengandung bahaya bagi lingkungan yang tidak kecil.
Bukanlah kalau bukan ini maka itu
Melihat data dan fakta dalam beberapa ulasan di atas, apa yang dapat disimpulkan?
Menurut saya, kita mesti paham sepenuhnya adalah bahwa keberpihakan terhadap bumi bukanlah soal memilih antara “paper vs paperless”. Selain karena persoalan “paper vs paperless” sebenarnya sedikit banyak adalah soal perang global antara penggiat lingkungan, industri kertas, dan industri digital, kita juga harus tahu bahwa tidak ada satupun dari kedua opsi itu yang merupakan lorong ajaib menuju penyelamatan bumi dari perubahan iklim.
Bagi saya keduanya bukan cerita tentang “kalau bukan ini maka itu”. Keduanya adalah dinamika kompleks dari hasil penemuan besar yang mengubah peradaban manusia. Dengan konsekuensinya masing-masing, dengan dampak positif dan negatifnya masing-masing.
Maka, satu-satunya cara adalah manfaatkan kedua-duanya secara bijak dan proporsional – walau ini justru yang tidak mudah! – karena justru keduanya adalah rute keniscayaan peradaban yang tidak bisa dielakkan lagi. Sementara, seiring dengan perkembangan zaman dan kecerdasan, kita tetap berusaha menciptakan teknologi pendukung kehidupan di bumi yang lebih ramah lingkungan, misalnya dalam hal lebih less carbon, lebih degradable, atau lebih mudah didaur ulang.
Sebagai penutup, saya ingin menguraikan agak panjang bahwa kita juga mesti paham bahwa sebaiknya tesis “going green by less paper and more digital” perlu dikampanyekan dengan lebih cerdas, agar tidak mudah dipatahkan oleh realita.
Mari melihat deforestasi dan industri kertas yang sering dijadikan contoh oleh penggiat lingkungan.
Fakta bahwa aktivitas logging – dimana salah satunya tujuan utamanya adalah untuk mencukupi kebutuhan industri kertas – bersama dengan ekspansi aktivitas pertanian merupakan dua besar penyebab berkurangnya hutan, memang telah memicu gerakan global dalam hal pengurangan penggunaan kertas yang berlebihan di berbagai sektor.
Walau begitu, ada kalanya, kampanye itu jatuh pada isu-isu kehutanan yang berada di permukaan belaka. Hipotesis kebanyakan orang adalah bahwa industri kertas akan berkolerasi dengan rendahnya tutupan hutan
Namun ternyata, dalam publikasinya, USDA Forest Service Products Laboratory (FPL) menyatakan bahwa, di Amerika Serikat misalnya, angka deforestasi terendah bukanlah berada di wilayah tanpa campur tangan manusia. Melainkan justru berada di wilayah-wilayah industri perkayuan.
Walau tetap tidak menutupi fakta bahwa kebanyakan reservasi itu terjadi pada hutan sekunder, dan mungkin tidak begitu relevan pada fakta deforestasi di negara tropis, harus diakui bahwa kawasan hutan justru terjaga di area tersebut.
Jadi sebaiknya bagaimana?
jika tidak ingin dikatakan dangkal, kampanye anti penebangan kayu hutan untuk keperluan industri kertas - yang menurut FAO mencapai 40% dari total industri kayu dunia – ataupun pembukaan hutan tanaman industri kertas, sebaiknya disuarakan bukan melulu pada hilangnya tutupan hutan. Melainkan, lebih pada konteks hilangnya keanekaragaman hayati akibat penanaman tumbuhan monokultur.
Isu hilangnya biodiversitas ini, akan lebih krusial namun tetap faktual. Apalagi semua tahu bahwa “entitas biodiversitas” itu tak tergantikan. Sekali hilang, pada dasarnya keanekaragaman hayati tak akan pernah kembali seperti semula. Yang mungkin terjadi hanyalah bentuk baru dari keseragaman atau beberapa ragam elemen hayati saja.
Dengan demikian, kampanye tentang kertas akan lebih jernih dan lebih tajam fokusnya.
Jadi, tak perlu berpanjang-panjang lagi, mari kita lebih cerdas dalam berkampanye melindungi bumi yang kita cintai ini!