Happiness is finding a pencil, pizza with sausage, telling the time. Happiness is learning to whistle, tying your shoe for the very first time. Happiness is Playing the drum in your own school band, and Happiness is walking hand in hand. 

(From:You're a Good Man Charlie Brown)

Lihatlah betapa sederhananya kebahagiaan di mata anak-anak, walau hanya sekedar menemukan sebatang pensil. Sampai-sampai kebahagiaan sederhana ini pun menginspirasi orang dewasa untuk menikmati kebahagiaan hanya dengan menyeruput secangkir kopi dan mengunyah sepotong donat.

Apakah kebahagiaan memang sesederhana itu? Memang benar bahwa kopi dan donat bisa membuat kita bahagia. Bahkan dengan kebahagiaan sesederhana menikmati kehangatan sinar mentari pagi, banyak orang yang sadar untuk bersyukur. Sungguh indah jika rasa syukur pada hal-hal sederhana, bisa menghantarkan seseorang pada kebahagiaan.

Tapi sadarkah kita bahwa jika hal-hal sederhana saja bisa membuat kita berbahagia, maka tentu ada pula hal sederhana yang bisa membuat kita menderita. Charger ponsel yang tertinggal di rumah, kacamata yang tiba-tiba patah, orang yang menyerobot antrian. Itu adalah contoh hal sederhana yang mudah membuat kita gusar dan bersedih.

Jika dari hal-hal sederhana kita bisa bersyukur dan merasa senang, maka sebaliknya dari hal-hal sederhana, kita pun bisa mengumpat dan menjadi gusar. Bukankah itu berarti bahwa kebahagiaan dan penderitaan menjadi sama sederhananya?

Tak banyak yang menyadari bahwa sesungguhnya "kebahagiaan" bahkan jauh lebih sederhana daripada itu. Tak perlu dikejar, bahkan kita tak perlu melakukan apapun untuk berbahagia. Karena di dalam diri kita senantiasa ada kebahagiaan hakiki yang sebenarnya identik dengan diri kita sendiri. Dan itu bukan berasal dari secangkir kopi atau sepotong donat.

Kebahagiaan adalah esensi diri kita sendiri yang sebenarnya sudah bahagia seapa adanya, tanpa campur tangan dari segala hal yang ada di luar. Kita ini sudah bahagia, di sini, saat ini. Namun belum kita sadari. Mengapa?

Sejak kecil, lingkungan telah mengajari kita konsep-konsep kebahagiaan yang berlaku secara umum. Kita telah terbiasa merasa bahagia ketika ada syarat-syarat yang terpenuhi. Selama ini kita mengira bahwa kebahagiaan adalah sebuah kegembiraan disaat kita mengalami peristiwa yang menyenangkan, atau saat kita mendapatkan apa yang kita inginkan.

Memang benar semua itu bisa membuat kita bahagia. Namun bagaimana jika terjadi sebaliknya? Dunia tidak melulu diwarnai oleh hal-hal yang menyenangkan. Setiap orang pasti punya jatah kesedihannya masing-masing.

Lalu apa yang kita lakukan ketika mengalami kesedihan atau merasa sedang punya masalah? Kita cenderung untuk menghilangkan kesedihan atau melupakan masalah dengan cara melakukan sesuatu untuk menciptakan kebahagiaan lain sebagai pelipur lara.

Apakah kebahagiaan buatan itu bisa menghibur kita? Mungkin bisa. Tapi bukankah hanya bersifat sementara? Kesenangan itu akan berakhir tepat ketika hiburannya selesai. Dan kita tetap mendapati diri kita yang masih dirundung derita.

Kita sudah terlanjur terbiasa menikmati kebahagiaan-kebahagiaan buatan. Jika setiap kali bersedih kita justru lari dari diri sendiri menuju kebahagiaan semu, lalu kapan kita bisa menyadari kebahagiaan yang sudah ada di dalam diri ini? Kapan kita akan mengenali diri sendiri? Esensi diri kita yang sudah bahagia seapa adanya.

Tak ada larangan untuk menikmati ribuan jenis kebahagiaan yang ada di luar sana. Kita bisa tamasya, ngopi bareng teman, nonton film, kulineran, shopping. Kita sangat boleh menjadi kaya raya, karena dengan begitu kita bisa berbagi. Kita boleh menjadi pintar dengan mencari ilmu setinggi-tingginya, karena dengan begitu kita pun bisa menularkan ilmu pada orang lain.

Kita bisa berbahagia dengan semua itu, sepanjang kita tidak melekat pada keyakinan bahwa semua itu adalah kebahagiaan yang mutlak. Agar kita juga menyadari bahwa kebahagiaan kita memang bukan bersumber dari situ.

Orang tua, pasangan, sahabat, ataupun keluarga, semuanya bisa membuat kita bahagia. Namun tak bisa kita pungkiri bahwa mereka pun bisa membuat kita bersedih bahkan menderita. Orang tua yang banyak tuntutan, pasangan yang tidak mencintai lagi, sahabat yang berkhianat, anggota keluarga yang gemar mencemooh saudaranya sendiri.

Begitu juga dengan kesuksesan, popularitas, kekayaan yang sering dibanggakan. Kita tak bisa mengingkari jika semua itu pun berpotensi untuk membuat kita menderita. Pekerjaan dibalik kesuksesan yang membuat stress, popularitas yang membuat seseorang sering menjadi sasaran gosip. Kekayaan yang membuat orang lupa diri sehingga terjerumus ke dalam masalah pelik.

Begitulah jika kita selalu menyandarkan kebahagiaan kita pada orang lain dan segala hal yang ada di luar diri kita, bukankah hal itu hanya akan menjadi penderitaan yang tidak ada habisnya? Dengan begitu kebahagiaan hanya akan menjadi barang mewah yang di pajang di dalam etalase toko dan hanya bisa dipandangi dari luar kaca. Tak mampu dibeli. Padahal kita sendirilah yang menetapkan harga terlalu tinggi bagi kebahagiaan kita sendiri.

Aku akan bahagia bila punya uang banyak, aku akan bahagia jika berjodoh dengan si dia, aku akan bahagia jika aku punya baju bagus, aku akan bahagia jika…. Dan jika lainnya. Semakin tinggi syarat yang kita tetapkan maka akan semakin sulit kita menjangkaunya. Jika kita harus memiliki alasan tertentu untuk bisa berbahagia, bukankah itu justru membuat kebahagiaan menjadi tidak sesederhana yang selama ini kita serukan?

Sementara itu, kebahagiaan justru jauh lebih sederhana dari pada sekedar menyeruput secangkir kopi dan mengunyah sepotong donat. Semakin kecil syarat yang kita tetapkan, maka akan semakin mudah didapatkan. Semakin kita melepas semua ego sebagai syarat, dan semakin syaratnya meniada, maka seketika itu juga kita sudah bahagia.

Seorang pujangga, Kahlil Gibran menulis,

"Pabila engkau sedang bergembira, mengacalah dalam-dalam ke lubuk hati, di sanalah nanti engkau dapati, bahwa hanya yang pernah membuat derita, berkemampuan memberimu bahagia. Pabila engkau berdukacita, mengacalah lagi ke lubuk hati, di sanalah pula kau bakal menemui, bahwa sesungguhnyalah engkau sedang menangisi, sesuatu yang pernah engkau syukuri."

Seseorang pernah berbahagia bersanding dengan jodoh yang dicintainya. Tanpa mengetahui bahwa ternyata suatu saat pasangannya akan meninggalkannya. Kisah ini bisa menjadi salah satu contoh untuk menjelaskan apa yang dimaksud oleh Gibran bahwa suka ternyata bisa menjadi cikal bakal yang berpotensi menorehkan duka lara.

Seseorang pernah dikhianati oleh sahabatnya yang membuat ia kehilangan pekerjaan. Sehingga ia memutuskan untuk memulai usaha sendiri dari nol hingga akhirnya ia sukses menjadi seorang pengusaha. Cerita ini adalah salah satu contoh dari pesan yang ingin di sampaikan Gibran dalam puisinya, bahwa ternyata duka bisa menjadi bibit yang tumbuh menjadi pohon yang berbuah rasa syukur.

Lalu bagaimana kita bisa menilai bahwa kesedihan adalah hal yang negatip, jika duka ternyata kelak bisa merekah menjadi sesuatu yang membuat kita bahagia? Dan bagaimana kita bisa menyematkan label positip bagi kegembiraan jika ternyata suatu saat hal itu justru membuat kita menangis dikemudian hari?

Suka dan duka seperti saudara kembar yang serupa namun tak sama. Suka terbuat dari duka dan duka juga terbuat dari suka. Mereka seolah memiliki lingkaran orbitnya masing-masing dan berotasi mengelilingi hidup kita setiap hari. Sementara itu kita sibuk menilai ini sebagai suka dan itu sebagai duka. Padahal mereka hanya bertukar peran tanpa kita menyadarinya.

Ada sebuah kondisi kesadaran di mana seseorang tak lagi memisahkan duka dan suka sebagai dua kutup yang berjauhan. Mereka menerima keduanya dengan rela tanpa keluhan. Bersyukur atas setiap kegembiraan namun juga tidak kufur akan kesedihan. Kebahagiaan mereka jauh lebih kokoh.

Seorang sufi pujangga besar, Jalaluddin Rumi menulis dalam puisinya.

 "Jauh di luar gagasan tentang benar dan salah, ada sebuah ruang murni. Kutunggu kau di sana."

Kebahagiaan merupakan ruang kesadaran yang mampu menampung suka dan duka tanpa terganggu oleh keduanya. Suatu kesadaran di mana benar-salah, baik-buruk, negatip-positip semuanya menjadi murni. Mengenali diri sendiri yang sudah bahagia seapa adanya.

Setiap insan diniscayakan bisa mencapai kesadaran ini. Bukan hanya para alim ulama, bahkan para pendosa sekalipun. Kita semua sedang dalam perjalanan menuju kesadaran itu. Kesadaran yang menjadi esensi diri kita sendiri. Tak perlu khawatir, karena setiap orang akan dipertemukan dengan jalannya masing-masing. Jalaluddin Rumi sedang menunggu kita di sana.

Perjalanan kehidupan seseorang akan selalu diiringi dengan tumbuhnya kesadaran spiritual. Kita mungkin lebih sering membenci derita, namun jangan sampai penderitaan membuat kita menjadi kufur dan pembenci. Jika demikian maka derita hanya akan menjadi musibah biasa. Sesungguhnya derita bisa menjadi pijakan yang kokoh bagi sebuah loncatan spiritual.

Penderitaan bisa membuat seseorang lebih sering menyucikan diri dengan air mata taubat. Lebih berani menghadapi dirinya sendiri, menemui luka batinnya tanpa berlari pada kebahagiaan buatan. Penderitaan bisa menjadi sebuah jalan menelusuri kedalaman batin untuk mengenali hakikat diri yang sudah bahagia seapa adanya dan menemukan jawaban atas pertanyaan “Siapakah aku?”

Man arafa nafsahu faqad arafa Rabbahu. Barang siapa mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya. (Muhammad SAW)

Surakarta, 18 Mei 2022