Manusia memiliki tiga jenis kemampuan – fisik, hati, dan kognitif. Di masa lalu, mesin kalah dalam mengungguli kemampuan manusia. Tetapi di masa depan, mesin yang akan mengalahkan manusia.
Oleh karena itu, ketika pekerjaan manual di bidang industri, peternakan, dan perkebunan hari-hari ini membutuhkan jenis kemampuan kognitif dari keterampilan manusia. Dalam hal kemampuan mengamati, menganalisis dan memahami emosi manusia. Dengan sendirinya saya akan katakan; hati itu tidak berfungsi.¹
Dan kita tidak akan mengerti sesuatu yang terjadi di luar nalar, perkiraan dan aktivitas ketiga kita. Sebab wilayah kognisi yang akan menguasai dan mengatur keamanan fisik manusia. Komputer yang demikian canggih dibuat manusia, akan semakin cepat melewati batas kecerdasan manusia.
Berkat revolusi AI (artificial intelligence), sekarang kita sadar bahwa komputer dan kalkulator bisa mendorong dan mengubah aktivitas emosi, hasrat dan hati manusia. Semakin cepat manusia memahaminya, akan semakin cepat pula mesin melampauinya.
Dalam beberapa tahun terakhir, penelitian di bidang ekonomi dan neurosains menemukan bahwa sensasi, emosi, dan kebahagiaan memungkinkan seluruh peneliti, pemikir dan ilmuwan meretas fisik dan pengetahuan manusia. Khususnya untuk mendapatkan keterampilan dan kemampuan yang jauh lebih hebat daripada manusia tentang bagaimana menentukan kehendak.
Tetapi, ternyata keputusan dan kehendak kita tentang segala sesuatu, mulai dari jabatan, keluarga, kekuasaan hingga anak dan istri bukanlah suatu kehendak yang misterius, melainkan aktivitas sel saraf yang terorganisir dalam miliaran neuron, otak dan fisik manusia.
Manusia tidak bisa berkutip apapun, selain menerima kenyataan, sebab aktivitas miliaran neuron akan menghitung persekian detik kecepatan dan kelambatan manusia.
Manusia yang kita bangga-banggakan sekarang, kenyataannya adalah merupakan hasil pengenalan pola.² Ia berkali-kali lebih cepat dari komputer, robot dan mesin daripada manusia itu sendiri. Kerjaan manusia hanya sebatas perilaku aktivitas manual, dibandingkan sistem otomatisasi.
Saya tahu ini, karena melalui pengalaman pribadi. Ketika saya menulis buku, penerbit meminta saya agar supaya merangkum naskah yang akan di terbitkan. Supaya digunakan untuk publikasi daring.
Tetapi mereka tahu, naskah yang saya tulis itu akan di periksa oleh pakar IT-teknologi. Algoritma Google lebih mamahami dan menguasai hal-hal semacam ini adalah sebagai kehendak dan keputusan bebas dari moral manusia.
Google tidak memiliki kesadaran dan moral seperti manusia. Tetapi ia mampu menghitung probabilitas miliaran makanan dan kebutuhan manusia. Buah-buahan yang ingin kita makan, hotel yang ingin kita nginap dan rumah-rumah yang kita butuhkan.
Semuanya di atur sedemikian canggih oleh Google. Ia bahkan pula memiliki halaman web yang super canggih untuk mengukur yang manusia butuhkan. Jadi ketika ruang makan yang Anda punya, tempat tidur yang Anda miliki, dan mobil kendaraan yang Anda pakai. Itu sudah di hitung sepersekian detik oleh algoritma Google.
Demikianpun industri mobil, dan pesawat. Aktivitas pengaturan dan struktrur mekanisme, tata kelola dan cara kerja mesin mereka di bidang IT-teknologi. Itu sudah sedemikan otomatis masuk dalam kerja mesin. Salah satunya adalah Industri Tesla dan Robot di Teknologi mutakhir di Amerika Serikat.
Manusia tidak perlu lagi bekerja manual, melainkan sudah di bentuk secara otomatisasi oleh sistem. Tidak perlu lagi menghitung seberapa jauh mesin bekerja, melainkan sudah terukur dengan aman.
Namun, benarkah artificial intelligence akan lebih cepat dari kerja manusia?
Kalau benar di mana manusia akan bertarung ?
Kita tidak tahu seperti apa mesin, robot, dan pasar kerja pada tahun 2040 ke depan. Secara inklusif, manusia tak bisa lepas dari teknologi. Tetapi secara khusus, manusia tetap bersama teknologi. Kalau robotika dan mesin pembelajar lebih hebat daripada kemampuan khusus manusia. Maka di setiap lini pekerjaan manusia akan mengubah pola baru. Dari penjelajah planet Bumi hingga menelusuri planet Mars.
Namun ada persepsi lain yang saling bertentangan tentang perkembangan dan kemajuan, pengetahuan dan teknologi. Sebagian mereka percaya bahwa teknologi dan pengetahuan sangat bergantung pada perkembangan manusia. Tetapi sebagian lagi pahami beberapa tahun kemudian, miliaran manusia akan mubajir terhadap persoalan ekonomi.
Jadi, apakah kita berada di pintu ekonomi yang menakutkan. Atau histeria otomatisasi yang menegangkan, sulit mengatakannya. Tetapi, ketakutan kita pada otomatisasi yang menciptakan pengangguran secara besar-besaran. Itu wajar seseorang menerimanya, ketimbang kita menolak perubahan.
Ketika revolusi industri di abad 19 masuk di era kesibukan manusia. Setidaknya satu pekerjaan baru yang di gantikan oleh mesin melalui keterbukaan manusia. Dengan standar hidup meningkat rata-rata. Kali ini berbeda dengan robotika. Sebab efektivitas mesin akan menjadi permainan yang sangat nyata.
Sekarang AI sangat mengungguli keterampilan manusia, termasuk bagaimana mengenali emosi, mengatur keamanan, dan mengambil keputusan. Satu kesalahan kecil yang diproyeksikan oleh emosi dan hasrat manusia. Dengan sendirinya mesin mengatasinya. Sebab algoritma mesin lebih tinggi dari kognisi yang manusia punya.
Ini berarti bahwa AI (artificial intelligence) dapat menyerang manusia, bahkan dalam pekerjaan yang menuntut ide manusia sekalipun. Kalau Anda berpikir AI bisa menciptakan alam raya, besar kemungkinan jawaban kita akan ragu. Tetapi jika AI dapat menghitung miliaran komorbit otak dan sel saraf manusia, kemungkinan kita akan menakutkan –kedengarannya.
Secara khusus AI bisa mendatangkan musibah, bisa pula menciptakan solusi. Banyak jenis pekerjaan yang akan di lakukan manusia – seperti membawa pesawat di tengah badai yang menggelembung, mengendarai mobil di persimpangan jurang yang mencengangkan, dan bahkan pula bertransaksi uang di ATM – membutuhkan kemampuan emosi untuk menangkap hasrat dengan benar.
Apakah siswa SMP Pancasila pemakai narkoba? Apakah guru filsafat bisa jadi buronan? Akankah pemuda menyerang pribadi saya, kalau sebenarnya mereka adalah pelaku utamanya?
Selama emosi dan hasrat di anggap menghasilkan roh immaterial. Tampak jelas komputer dan robotika tidak bisa menggantikan pilot, pengemudi dan para bankir di perkotaan.
Sebab bagaimana mungkin komputer dan mesin bisa menciptakan ruh manusia. Sedangkan jiwa manusia itu sendiri adalah sumbernya dari ilahi. Tetapi jika emosi, hasrat dan perasaan kita tidak lebih dari algoritma biokimia.
Maka tidak ada alasan bagi komputer dan mesin bisa menguraikan proses ini. Sebab ini akan jauh lebih baik bekerja daripada pengetahuan dan aktivitas manusia yang sesungguhnya.