Di subuh yang penuh gigil kemarin, pendukung timnas Jerman harus rela mengalungkan gordon kemenangan ke leher timnas Inggris, usai pertandingan. Skor dua nol untuk Inggris, mempertegas marwah mereka sebagai satu dari sekian tim yang memiliki pemain serta pola permainan terbaik selama gelaran EURO 2021 ini.
Sedangkan kepulangan Jerman sendiri menandai berakhirnya kharisma grup F yang sempat menyorot perhatian para pecinta sepak bola di seluruh dunia, Alih-alih menjadi perwakilan terakhir dari grup neraka, Jerman gagal membayar utang kekalahan Hungaria, Portugal dan Prancis. Sekaligus memunculkan semacam pernyataan tendensius, bahwa grup F ternyata tidak se-neraka yang kita sangka.
Tentu kepulangan Jerman dini hari kemarin tidak serta-merta bebas cibiran. Dari awal hingga akhir laga, cibiran serta ujaran kebencian yang datang dari non-pendukung semakin membikin gaduh suasana.
Sudah jadi tradisi, saling mencibir antar sesama pendukung tim sepak bola di Indonesia. Masing-masing pendukung membela tim kesayangan dan menjatuhkan mental pendukung lawan.
Tidak bermaksud menjustifikasi pihak yang membela timnas negara lain sebagai kelompok kontra-nasionalisme, akan tetapi tindakan itu memang lumrah terjadi dalam rangka menyambut euforia EURO.
Sebuah momentum yang mirip dengan suasana pemilihan umum lima tahun sekali. Di mana terjadi perang opini antar pendukung kandidat. Kita bisa melihat tulisan-tulisan mengenai analisis skill dan strategi bertebaran di media sosial, saling berbalas pantun antar pendukung. Seru sekali.
Sebab dalam prosesnya, keseruan adu strategi tiap kelompok menghasilkan warna tersendiri. Baik sepak bola maupun pemilihan umum, keduanya mampu membangkitkan spirit totalitas serta solidaritas dalam kelompok masing-masing.
Di media sosial, biasanya kita tekun mencari referensi untuk saling mencibir, agar terkesan intelek. Dan itu adalah cara umum yang biasa dilakukan. Apalagi kalau sudah mulai menyinggung ranah politik, maka akan semakin menarik ini barang.
Seperti isu politik dan sepak bola yang dibahas melalui tulisan-tulisan Gus Dur dan Romo Sindhu. Membaca esai-esai kedua tokoh nasional itu, kita seakan diajak melihat sisi lain dunia sepak bola dan politik yang sebelumnya biasa saja. Diksi dan narasi yang disertai teori ilmiah, bertebaran di setiap paragraf, membuat esai mereka diminati banyak pembaca.
Tulisan-tulisan itu memuat teori yang bukan sempalan, bukan teori tambal sulam yang dinukil dari buku atau jurnal ilmiah. Melainkan teori yang diracik sendiri, serta disajikan secara komprehensif dan bergizi tinggi.
Sama bergizinya dengan tulisan lain, seperti karya Franklin Foer berjudul “Memahami Dunia Lewat Sepak Bola” yang membahas sepak bola dari sisi politik dan agama, atau karya Simon Kuper dan Stevan Szymanski berjudul “Soccernomics” yang membahas sepak bola dari aspek statistik dan ekonomi.
Lihat saja kumpulan esai Gus Dur tentang sepak bola yang terbit di pelbagai media cetak dari 1982 hingga 2000, terangkum dalam buku “Gus Dur dan Sepak Bola” terbitan Imtiyaz, Surabaya.
Sedangkan kumpulan esai Romo Sindhu, bisa dijumpai pada buku triloginya, antara lain berjudul “Bola di Balik Bulan”, “Bola-Bola Nasib”, dan “Air Mata Bola”. Esai-esai itu muncul ibarat makanan ringan yang enak disantap saat menonton pertandingan.
Satu contoh tulisan menarik dari Romo Shindu adalah saat ia mencibir Gus Dur yang waktu itu masih menjabat sebagai Presiden R.I. Romo Shindu menyebut strategi yang dipakai Gus Dur dalam menghadapi kasus bulog sebagai tak-tik “Catennacio” khas Itali yang dikenalkan oleh Enzo Bearzot. Yang mana merupakan strategi bertahan sambil memojokkan lawan, kemudian dengan cepat mencari celah untuk membantai gawang lawan.
Selang beberapa waktu kemudian, Gus Dur lalu membalas cibiran itu dengan esai berjudul “Catennacio Hanyalah Alat Belaka”. Dalam tulisannya, Gus Dur membahas strategi lain, seperti tak-tik “Hit and Run” dan “Total Football”. Strategi-strategi itulah yang menjadi model dalam menyelesaikan masalah-masalah kenegaraan.
Lihatlah, saling cibir yang elegan dari dua agamawan besar itu, memuat hal-hal sederhana yang belum pernah terpikirkan sebelumnya. Tulisan mereka makin menambah hasanah filsafat sepak bola secara holistik. Bayangkan, kita bisa mengambil pelajaran politik dari sepak bola berdasarkan pandangan dua tokoh agama.
Begitulah seharusnya sepak bola digandrungi, dengan cara-cara yang positif agar tidak muncul tindakan yang akan memicu pertikaian. Persaingan di dunia sepak bola dan di panggung politik mantap dijadikan sebagai ruang untuk bertukar wacana, berdebat dengan wawasan yang mumpuni. Bukan dengan debat kusir sampai bunuh-bunuhan.
Mari kita ingat kembali kisah Nelson Mandela yang pernah menyatukan rakyatnya melalui sepak Bola. Bahkan, peringatan seratus tahun kelahiran Madiba, sapaan Mandela, diselenggarakan salah satunya dengan pertandingan sepak bola bertajuk “Mandela Centenary Cup”. Ia berhasil menyatukan rakyat untuk bersama-sama melawan rezim melalui olah raga.
Mulanya, Mandela dan para pejuang lain pernah ditahan di pulau Robben waktu itu, merasa bosan dengan suasana penjara. Lima tahanan yang sama-sama mendekam di sana, kemudian mencetuskan ide untuk membuat turnamen sepak bola. Mereka menyebut federasinya sebagai “Makana Football Association”. sebagai bentuk penghormatan kepada kepala suku Makana yang juga ditahan di sana.
Alhasil pada 1966, pertandingan pun diselenggarakan dengan meriah. Seluruh tahanan turut berpartisipasi mensukseskan turnamen. Uniknya, mereka lebih mematuhi peraturan FIFA dibandingkan aturan-aturan rezim apartheid, kata Gabriel Sexwale, politisi Afrika Selatan yang waktu itu juga ditahan di Pulau Robben.
Seketika, sepak bola menjelma menjadi kegiatan positif yang digemari semua pihak di dalam penjara. Dengan bermain sepak bola, para tahanan bisa menyalurkan energi positif mereka. Dengan bermain bola pula, para tahanan merasa menjadi manusia merdeka.
Mereka lupa jika sedang dalam masa tahanan, lupa akan rutinitas yang membosankan. Jika tidak ada pertandingan itu, mereka mungkin bisa saja depresi lalu mencari ribut dengan tahanan lain atau sipir penjara.
Meski Mandela tidak hadir selama pertandingan karena berstatus tahanan kelas berat, ia tetap bersinar di hati rakyat Afrika Selatan sebagai pejuang terbaik. Setelah bebas, Mandela terpilih menjadi Presiden Afrika Selatan sekaligus menjadi simbol perlawanan terhadap penindasan kulit hitam di Afrika Selatan. Meski telah meninggal dunia, rakyat masih tetap merayakan Mandela dengan sepak bola.
Yang menjadi catatan penting dari kisah Mandela itu adalah bagaimana politik dan sepak bola mampu menyatukan rakyat untuk melawan penindasan rezim kulit putih di negaranya. Dan sebagai rakyat Indonesia yang plural, semangat inilah yang perlu kita adaptasi serta kita tingkatkan lagi. Semangat melawan oligarki.
Semangat yang dibangun demi kepentingan bersama, meski berbeda visi-misi, tim sepak bola, atau pun pilihan politik. Betul memang, kalau ada yang bilang bahwa mendukung sesuatu itu tidak bisa setengah-setengah. Wajar apabila seorang pendukung menunjukkan euforianya dalam membela siapa yang ia dukung. Namun pertanyaanya ialah, bagaimana jika dukungan yang diberikan itu terlalu berlebihan dan sangat mengganggu?
Misalnya, orang yang melakukan pawai kendaraan di suatu lingkungan secara berlebihan. Atau orang yang terus menyebarkan cibiran provokatif di media sosial. Dengan rasa percaya diri akan memenangkan pertandingan dengan mudah, ia cenderung merendahkan mental tim lawan. Hati-hati, anda sedang mencoba memancing keributan.
Dalam ilmu kesehatan, euforia muncul karena adanya hormon endorphin yang dapat melahirkan rasa senang. Tetapi ibarat dua sisi uang logam, euforia juga bisa menimbulkan sensitifitas, gelisah, dan hiperaktif bagi seseorang.
Mereka yang tidak mampu mengontrol euforianya sendiri, bisa saja lepas kendali dan merugikan orang lain. Mereka juga dapat merubah euforia tadi menjadi disforia, yaitu perasaan sedih, marah, gelisah karena ekspektasi tidak sesuai realita.
Jika sudah berada pada tahap disforia, maka salah satu solusi yang bisa direkomendasikan adalah dengan terapi mental. Di titik inilah ia harus membaca tulisan Gus Dur dan Romo Sindhu yang menjelaskan bagaimana cara memperbaiki permainan agar mencapai kemenangan.
Contohnya, lagi-lagi tulisan Romo Shindu terhadap Gus Dur yang menganalogikan demokrasi seperti sepak bola: “Bola tidak harus langsung ditembak ke gawang lawan, tetapi juga harus dikejar, direbut, di-dribble, dijadikan passing pendek, diolah dalam kombinasi dan kerja sama tim dimainkan dalam tempo yang tidak selalu sama”.
Romo Shindu dan Gus Dur, adalah perwakilan para pendukung yang sedang berselisih paham, yang mencoba berbalas cibiran melalui tulisan ilmiah tapi menghibur. Bukan dengan umpatan apalagi dengan kekerasan.
Ini penting. Supaya rakyat yang katakanlah sedang menderita kekalahan, baik kalah politik, kalah sepak bola, maupun kalah keduanya, bisa sedikit lega sekaligus bisa tersenyum sumeringah ketika membacanya. Jangan boleh seperti kata pepatah: “sudah jatuh, tertimpa orba”.
AR Renhoran penulis dan pegiat literasi.