Setiap 17 Agustus, mereka masih khidmat merayakan bebasnya negeri ini dari belenggu penjajahan. Mereka pun mengibarkan bendera Dwiwarna dengan penuh kebanggaan. Namun, selama belasan tahun pula kemerdekaan mereka yang hakiki sejatinya telah direnggut. Merekalah pengungsi di negeri sendiri.
Pemerintah daerah, atau bahkan pemerintah pusat di Jakarta tidak lagi menoleh mereka. Mereka menjadi objek perhatian jika ada lembaga nasional atau lembaga internasional yang menyoroti nasib mereka. Selebihnya, tak ada aktivitas berarti untuk meningkatkan derajat kehidupan mereka yang tinggal di pengungsian.
Merekalah para pengungsi Ahmadiyah di Asrama Transito, Nusa Tenggara Barat. Persekusi yang terjadi pada 2006 lalu membuat mereka terusir dari rumah tempat tinggal yang sudah didiami turun temurun puluhan tahun lalu. Sebagian besar rumah mereka hancur, masjid yang berhasil mereka bangun secara swadaya pun luluh lantak dan tidak bisa digunakan lagi.
Kurang lebih sekitar 200 orang harus hidup berdempetan dan tersekat-sekat di asrama yang terdapat di Kelurahan Majeluk, Kota Mataram Nusa Tenggara Barat (NTB). Namun, dari 200 orang ini sebagian di antaranya sudah keluar dan tinggal di tempat lain. Anggota Ahmadiyah di Transito tinggal di 3 gedung aula yang ada di sana. Dalam satu aula terdapat sekitar 9 bilik sempit yang telah disekat satu sama lain dengan penerangan seadanya.
Tirai untuk menyekat pun beragam. Ada yang menggunakan tripleks, kayu bekas, sarung, kardus bekas, bahkan spanduk untuk kampanye partai politik. Bilik-bilik di penampungan ini rata-rata berukuran 3 x 3 meter persegi. Di dalam ruangan yang kecil ini, tempat tidur dan dapur menjadi satu (rappler.com)
Para pengungsi jemat Ahmadiyah itu juga tidak mendapatkan berbagai program sosial dari pemerintah, seperti beras sejahtera (Rastra), jaminan kesehatan (BPJS Kesehatan) maupun gas elpiji bersubsidi (kbr.id, 16/08/2017).
Benarlah yang dikatakan ahli filsafat hukum Nanda Oudejans bahwa pengungsi bukan saja tidak memiliki dunia dalam artian politis, keberadaannya juga tak ada dalam ranah hukum. Para pengungsi Ahmadiyah adalah bukti nyata, bagaimana secara politis mereka dipersulit untuk mendapat hak-hak politiknya. Selama beberapa tahun mereka tidak mempunyai hak pilih. Baru pada Pilpres 2014 dan Pilkada 2015 mereka memiliki kesempatan untuk berpartisipasi.
Pun, secara hukum, mereka secara tidak langsung dipersulit untuk mendapatkan pengakuan sebagai warga. Seperti juga saudara-saudara mereka di Manislor, Kuningan, Jawa Barat, pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP), dipersulit. Setelah perjuangan bertahun-tahun, beruntung, persoalan KTP pada 2014 lalu telah selesai.
Apa dan Siapa Ahmadiyah?
Persoalan Ahmadiyah di Nusa Tenggara Barat (NTB) tidak bisa dilepaskan dari ekskalasi persoalan ormas ini di tingkat nasional. Keluarnya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 2005 lalu menjadi alat legitimasi bagi ormas-ormas intoleran untuk memersekusi Ahmadiyah.
Pada kenyataannya, semenjak 1980, MUI sudah mengeluarkan fatwa tentang “kesesatan ajaran Ahmadiyah.” Namun, pada masa itu, belum ada ormas-ormas intoleran. Sehingga situasi dan keamanan anggota Ahmadiyah pada masa itu terbilang kondusif.
Lalu, apa yang sesungguhnya dipermasalahkan dalam keyakinan Ahmadiyah? Ahmadiyah bukan ormas kemarin sore di negeri ini. Setidaknya sejak 1920-an, Ahmadiyah sudah ada, yang berarti sebelum proklamasi dikumandangkan, organisasi asal tanah Hindustan ini sudah eksis.
Ahmadiyah setahun atau bahkan dua tahun lebih tua dibanding Nahdlatul Ulama (NU), ormas Islam terbesar di tanah air. Ahmadiyah sendiri di negeri asalnya terpecah menjadi 2 badan, yakni Ahmadiyah Lahore dan Ahmadiyah Qadian. Keduanya mengirim utusan ke Nusantara. Pada 1924, Ahmadiyah Lahore (GAI) mengirim, Mirza Wali Baig dan pada 1925 giliran Ahmadiyah Qadian (JAI) mengirimkan utusannya, Maulana Rahmat Ali.
Jejak Ahmadiyah tak bisa lepas dari sepak terjang para founding fathers. Misalnya, di tubuh Sarekat Islam (SI) –salah satu ormas Islam terkemuka- pernah terjadi perdebatan yang cukup sengit, tentang persoalan tasfir Al-Qur’an. Tokohnya, Haji Agus Salim berdebat dengan sejawatnya bahwa dari segala tafsir, tafsir Ahmadiyah-lah yang paling baik untuk memberi kepuasan kepada pemuda-pemuda Indonesia terpelajar.
Ketua Sarekat Islam sendiri -H.O.S. Tjokroaminoto- seolah-olah mengamini Haji Agus Salim. Ia diam-diam menerjemahkan karya Maulana Muhammad Ali, presiden Ahmadiyah Lahore, berjudul The Holy Qur’an, ke dalam bahasa Melayu (historia.id).
Yang mungkin kurang ter-ekspose sejarah adalah hubungan Bung Karno (BK) dengan tokoh-tokoh Ahmadiyah. BK sendiri menjalin hubungan persahabatan yang baik dengan mereka, semisal Mirza Wali Baig dan Maulana Rahmat Ali. Bahkan BK banyak membahas Ahmadiyah dalam tulisan-tulisannya yang masih bisa kita baca hari ini yang dirangkum dalam buku tebal bertajuk “Di Bawah Bendera Revolusi” Jilid 1. BK misalnya menulis,
“Ahmadiyah adalah salah satu faktor penting di dalam pembaharuan pengertian Islam di India, dan satu faktor penting pula di dalam propaganda Islam di benua Eropa khususnya, di kalangan kaum intelektuil seluruh dunia umumnya. Buat jasa ini – cacad saya tidak bicarakan di sini – ia pantas menerima salut penghormatan dan pantas menerima terima kasih..”
Dan kita bakalan sulit menemukan dalam buku-buku pelajaran sejarah mengenai rasa terima kasih BK terhadap Imam Jema’at Ahmadiyah Internasional pada saat itu yakni, Hazrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad. Pasalnya, pemimpin tertinggi Komunitas Ahmadiyah ini menyerukan kepada pemimpin negara Islam di seluruh dunia agar serentak mengakui berdirinya pemerintah Indonesia.
Pada Desember 1946, Ia juga menginstruksikan agar seluruh anggota Ahmadiyah di seantero dunia melakukan puasa Senin Kamis dan memohon do’a kepada Allah SWT guna menolong bangsa Indonesia dalam perjuangannya. Dukungan ini terekam baik dalam Surat Kabar Kedaulatan Rakjat, edisi Selasa Legi, 10 Desember 1946.
Di lain pihak, Ahmadiyah memiliki cerita sendiri mengenai hubungan mereka dengan “founding fathers” bangsa ini. Disebutkan bahwa pada masa perjuangan beberapa tokoh seperti Bung Karno, Syahrir, bahkan Tan Malaka sering bolak-balik ke tempat tinggal Maulana Rahmat Ali –utusan Ahmadiyah Qadian- untuk mendiskusikan beragam hal. Juga di masa lalu, Haji Agus Salim sering merekomendasikan orang-orang yang ingin mendalami Islam agar datang ke mesjid Al-Hidayah, tempat tinggal Maulana Rahmat Ali tersebut (Suryawan, 2006:187).
Ahmadiyah pun menjadi legal di negeri ini. Pada 1953 pemerintah Soekarno memberikan Badan Hukum terhadap Jema’at Ahmadiyah Indonesia (JAI) melalui SK Menteri Kehakiman RI No. JA 5/23/13 Tgl. 13-3-1953, sehingga keberadaannya dilindungi oleh hukum.
Seperti juga saudaranya NU dan Muhammadiyah, JAI aktif di lapangan sosial. Yang paling menonjol adalah aktivitas donor darah dan donor mata. Hampir tiap minggu aktivitas ini sering kita temui di masjid-masjid milik JAI.
Banyak anggota JAI yang sudah diganjar penghargaan dari pemerintah karena sedemikian aktifnya melakukan donor darah. Sedangkan untuk donor mata, Jaya Suprana dari Museum Rekor Indonesia (MURI) baru-baru ini memberikan penghargaan kepada JAI sebagai organisasi paling aktif mendonorkan mata. Uniknya, rekor yang mereka pecahkan, bukan lagi rekor nasional, tapi rekor dunia ! (merdeka.com, 23/07/17).
Di bidang sosial ini mereka memiliki organisasi underbow, yakni Humanity First (HF). Organisasi di bidang kemanusiaan yang berdiri sejak 1995 ini banyak berkontribusi memulihkan korban bencana di seluruh dunia. HF ada di 52 negara di 6 benua.
HF hadir di area konflik, seperti Bosnia dan Rohingya. Di Indonesia sendiri, kontribusi HF bisa dilihat dengan hadirnya posko-posko kesehatan dan dapur umum pasca tragedi tsunami Aceh, gempa di Pangandaran, Sumatera Barat dan Jogjakarta. Begitu pula dengan kejadian terakhir di Lombok, Palu dan Donggala. HF sudah hadir di sana melakukan pelayanan kesehatan kepada yang membutuhkan.
Dalam skala internasional nama Ahmadiyah cukup dikenal. Mungkin kita pernah mendengar Abdussalam, muslim pertama peraih Nobel Fisika pada 1979. Atau Sir Muhammad Zafrullah Khan, Menteri Luar Negeri Pakistan, dan mantan Ketua Majelis Umum PBB sekaligus mantan ketua Mahkamah Internasional PBB. Mereka berdua adalah anggota Ahmadiyah.
Lebih dari 200 negara dan dengan jumlah anggota yang terkonfirmasi sebanyak 10 juta jiwa membuktikan bahwa organisasi ini sudah melebarkan sayapnya ke mana-mana. Bahkan, di 2018 ini, Ahmadiyah sudah berusia 129 tahun.
Didirikan pada 23 Maret 1889, oleh Hazrat Mirza Ghulam Ahmad. Beliau berasal dari sebuah desa kecil lagi terpencil, Qadian, Punjab India. Untuk memantapkan dakwahnya, Ahmadiyah memiliki MTA (Muslim Television Ahmadiyya) sebuah jaringan televisi internasional yang mengudara 24 jam tanpa iklan.
Keyakinan yang Digugat
Lalu, dengan semua kontribusi mereka, lantas persoalannya di mana ? Yang menjadi soal adalah tafsir mereka terhadap kenabian Pasca Nabi Muhammad Saw yang tidak sama dengan mainstream umat Islam lainnya. Mereka menganggap bahwa pintu kenabian masih terbuka, sementara sebagian umat Islam mayoritas berkeyakinan pintu kenabian sudah ditutup dengan diutusnya Nabi dan Rasul terakhir, Muhammad Saw.
Persoalan Al-Qur’annya dianggap berbeda, Hajinya tidak ke Mekkah, melainkan ke Qadian, India, hingga syahadatnya berbeda adalah kabar bohong alias hoaks yang telah dipelihara selama puluhan tahun. Faktanya, di rumah-rumah Ahmadi terdapat Al-Qur’an, mereka pun melakukan ibadah haji serta umrah ke Mekkah dan bersyahadat layaknya umat muslim lainnya. Dan bagi mereka, Nabi Muhammad Saw tetap sebagai “Khataman Nabiyyin.”
Karena ketidakpahaman, kabar hoaks dan kurangnya tabayyun –atau cek dan ricek- sajalah yang menyebabkan sebagian kalangan umat malah mempersekusi Ahmadiyah, bahkan mencap mereka sesat dan kafir. Padahal, yang perlu dikedepankan dalam menghadapi perbedaan tafsir, fiqh atau apapun adalah seperti yang dikemukakan Kang Jalal –sapaan akrab Jalaludin Rakhmat, salah seorang cendekiawan muslim- yakni “dahulukan akhlak di atas fiqh.”
Umat Islam kontemporer kehilangan warisan pengetahuan dari leluhur mereka tentang bagaimana menghadapi perbedaan di kalangan mereka sendiri. Padahal, Islam kaya dengan cerita dan kisah tentang toleransi, baik yang diajarkan Nabi mereka, hingga tokoh-tokoh besar seperti Ulama, Imam Mazhab hingga tokoh-tokoh Sufi.
Keterputusan sejarah atau diskontinuitas sejarah menyebabkan mereka kehilangan referensi atau contoh aktualisasi toleransi di masa lalu. Yang terjadi sekarang malah sebaliknya. Mereka memutlakkan dirinya sendiri. Menganggap pendapatnya paling benar, dan di luar pendapatnya berarti salah.
Mereka lupa semisal cerita Imam Abu Hanifah dan Imam Maliki, Imam Syafi’i. Imam-imam mazhab terkemuka ini sangat berhati-hati dalam mengeluarkan pendapat atau fatwanya. Syahdan Imam Syafi’i pernah berkata, “Pendapatku benar, namun sangat potensial keliru; sementara pendapat orang selainku itu keliru, namun sangat mungkin benar.”
Solusi Terakhir?
Nah, sekarang kita kembali ke pengungsian. Bagaimana solusinya agar mereka dapat kembali ke tempat tinggal mereka. Anak-anaknya dapat bermain-main di lapangan dan sekolah di tempat yang layak ? Kabar terakhir, Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) bakal membangun rumah susun khusus bagi jemaat Ahmadiyah yang kini mengungsi di Asrama Transito, Kelurahan Majeluk, Kota Mataram. Gubernur NTB Muhammad Zainul Majdi (TGB) mengatakan, keputusan ini merupakan hasil kesepakatan pemprov dengan Kantor Staf Kepresidenan (KSP).
"Itu solusi terakhir yang kami sepakati dengan Kantor Staf Presiden. Jadi Kantor Staf Presiden diskusi sama saya dan, beliau-beliau juga komunikasi dengan teman-teman Ahmadiyah," tutur Gubernur NTB Zainul di Mataram, Rabu (25/4/2018). Dengan pergantian kepemimpinan daerah Pasca TGB, akankah janji bagi para pengungsi Ahmadiyah terealisasi ? Mari kita simak kelanjutannya.
Dus, menutup tulisan ini, perlu ada yang digaris bawahi. Warga Ahmadiyah, baik di Nusa Tenggara Barat atau di tempat lainnya di pelosok negeri ini bukan liyan (orang lain). Mereka –seperti kita juga- adalah warga bangsa ini. Mereka berhak hidup layak dan mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara. Mereka tidak boleh menjadi pengungsi di negeri sendiri.
Perkara keyakinan, agama atau kepercayaan, maka siapapun jangan mencoba menjadi Tuhan dan mengutuki keyakinan orang lain. Saya sependapat dengan Kang Jalal tentang ajaran agama atau kepercayaan, apapun itu namanya, “marilah itu semua kita serahkan kepada mekanisme free market of ideas atau pasar bebas ide.” Biarlah masyarakat yang memilih, memeluk atau meninggalkannya.
Pustaka:
Suryawan, M.A. 2006. Bukan Sekedar Hitam Putih. Jakarta: Azzahra Publishing
Tautan:
http://theconversation.com/merasa-terasing-pengungsi-di-indonesia-rentan-bunuh-diri-95072
https://www.rappler.com/world/regions/asia-pacific/indonesia/93375-mengunjungi-pengungsi-jamaah-ahmadiyah-di-lombok
https://historia.id/agama/articles/jejak-tafsir-kaum-ahmadi-P91ZP
https://www.merdeka.com/peristiwa/aksi-donor-kornea-mata-3-ribu-jemaah-ahmadiyah-pecahkan-rekor.html
http://kbr.id/nusantara/08-2017/pengungsi_ahmadiyah_ntb__kami_belum_merasakan_merdeka_sepenuhnya/91793.html
http://kbr.id/nasional/04-2018/pemerintah_sepakati_solusi_bagi_pengungsi_ahmadiyah_ntb/95861.html