Dalam praktik meditasi yang saya jalani beberapa tahun ini, saya mempelajari satu hal, yaitu kesadaran untuk mengenali diri sendiri. Saya diminta oleh instruktur saya untuk merasakan pergerakan yang terjadi di dalam tubuh saya, semisal detak jantung, denyut nadi dan hembusan nafas.

Awalnya saya frustasi karena kesulitan untuk merasakannya, namun saya diminta untuk tidak menjadikan itu semua beban dan berusaha menerima diri saya apa adanya, jangan memaksakan semua hal itu tapi biar itu semua datang sendiri.

Setelah saya mengikuti saran tersebut dan mencobanya berulang-ulang saya mulai merasakan perbedaan, saya bisa merasakan detak jantung saya sendiri, bukan mendengarnya atau merabanya dengan tangan, melainkan saya bisa merasakannya dari dalam.

Dari hal itu saya memahami, bahwa untuk bisa mengerti sesuatu kita tidak bisa memaksakan kehendak, melainkan menerima segala keadaan seperti apa adanya. Kita menyerap segalanya, menetralkan keadaan, menjadi seperti Bumi.

Barulah setelah begitu kita bisa bermanfaat, setidaknya untuk diri kita sendiri. Setelah saya bermeditasi seperti itu saya menjadi tidak mudah marah atau kesal, saya bisa memaklumi keadaan lebih baik, saya tidak menuntut dunia untuk memihak kepada saya, melainkan menuntut diri saya untuk lebih berusaha.

Saya kaitkan pengalaman saya itu terhadap segala pertikaian yang banyak terjadi di sekitar kita, perselisihan yang muncul karena berbeda cara ibadah meskipun satu agama, atau karena perbedaan pandangan politik, atau karena sebuah paham yang baru, atau bahkan karena paham lama yang kembali mencuat seperti komunis yang membuat orang paranoid.

Semua itu terjadi karena mungkin kita tidak pernah mencoba untuk menerima, tanpa memberikan penilaian terlebih dahulu, mempelajari dan mendalami untuk kemudian bisa memaklumi. Kita tidak harus setuju dengan apa yang berbeda dengan kita, tapi tidak menjadikan kita mempermasalahkannya.

Mari sejenak kita merenung dan belajar dari bumi. Bumi tempat kita tinggal ini memiliki sifat yang sangat unik, ia menyerap segala hal yang datang kepadanya tanpa menilai hal tersebut baik atau buruk, kemudian menumbuhkan sesuatu yang bermanfaat dari padanya. Apapun yang datang kepada bumi, entah itu air hujan, air kencing manusia dan hewan, air ludah, gas beracun, bangkai, atau sisa makanan, selalu berhasil diserapnya dengan baik untuk kemudian dinetralisir.

Bumi adalah tentang menerima, tentang kesanggupan meluaskan kapasitas kita untuk menjadi tempat hidup bagi setiap makhluk tanpa memandang harta, status, agama dan segala predikat yang menempel kepada diri seseorang. Menjadi lapang penyedia kehidupan bagi siapapun yang membutuhkan, untuk hidup berdampingan.

Sebagai muslim, pada kesempatan bulan Ramadan yang hendak berakhir ini, saya berusaha merefleksikan diri saya terhadap bumi untuk menjadi manusia yang lebih baik. Serta bertanya kepada diri saya sendiri sudah mampukah untuk menjadi bumi bagi orang lain. Dulu,seringkali saya menilai sesuatu yang datang kepada saya baik itu ajaran atau paham dari orang lain tanpa objektivitas, namun berusaha menyematkan penilaian-penilaian yang mengaburkan diri saya untuk bersikap adil.

Akibatnya saya tidak pernah bisa menyerap ilmu dan hikmah dari apa yang ada di  dalamnya. Seringkali orang menjadi alergi terhadap sesuatu yang memiliki stigma buruk tanpa mengetahui bentuk aslinya. Kita sering langsung menganggap perbedaan paham, agama, dan pemikiran sebagai sesuatu yang buruk bahkan sebelum mengenal dan mempelajarinya.

Apabila kita belajar dari bumi, saya rasa sudah menjadi sebuah sifat yang natural bahwa segala yang hidup di atas bumi memang berbeda. Dan bagi siapapun yang meyakini teori penciptaan, perlu disadari bahwa semua hal memang sengaja diciptakan berbeda. Ketidak mampuan kita menerima dan menyerap sesuatu akan memicu kepada lahirnya konflik, yang membuat kita terhalang dari menerima sesuatu adalah ego kita sendiri.

Perasaan lebih baik, lebih pintar, lebih bijak dari orang lain membuat kita sulit melihat sesuatu seperti apa adanya, sehingga mengundang kita untuk mendebat, melakukan kontra argumen terhadap seseorang, alih-alih mendengarkan dan mendapatkan hikmah dari siapapun dan apapun. Seringkali saya melihat orang-orang berseteru seolah-olah mereka tidak saling memahami bahasa masing-masing, bukan karena benar-benar berbeda pendapat.

Hal berikutnya yang bisa kita pelajari dari bumi adalah menjadi manfaat, menjadi sesuatu yang dibutuhkan bagi banyak orang. Apabila kita tidak sanggup menjadi manfaat bagi orang lain, setidaknya kita tidak menjadi masalah di manapun kita berada. Pada bulan Ramadan ini seorang muslim berlatih mengendalikan diri dari nafsu-nafsu yang membuat enak, suatu hari sahabat saya bercerita, di sebuah masjid di rumahnya syahdan dilaksanakan shalat Jum’at.

Khatibnya adalah golongan tua yang berkhutbah cukup panjang, para pemuda dan jama’ah lain merasa khatib ini telah kelewatan karena terlalu lama bicara, akhirnya kejadian klasik terjadi, orang-orang mulai terbatuk-batuk sebagai kode meminta khutbah segera usai. Layaknya paduan suara, orang yang batuk pun saling bersahutan dan berirama. Namun nampaknya khatib tua ini tidak juga peka dengan para pendengarnya.

Akhirnya khutbah ditamatkan dan sang khatib pun berkata di akhir ceramahnya, “bangsa kita ini baru mendengar khutbah yang agak panjang saja sudah tidak kuat, apalagi mendapatkan cobaan yang berat.” Seketika itu juga suasana menjadi hening tanpa suara.

Mendengar cerita tersebut saya tertawa dan membayangkannya, ternyata khatib itu mengerti keadaan jama’ah namun mencoba mengajarkan sesuatu, bagi saya mendengarkan khatib Jum’at juga merupakan latihan menurunkan ego. Daripada menjadi masalah dengan melukai perasaan sang khatib lewat batuk atau berteriak “aamiin”, lebih baik memanfaatkannya untuk melatih jiwa sendiri.

Daripada sibuk meminta orang lain memahami diri kita, akan lebih baik bila kita menerima diri kita dan lingkungan kita secara apa adanya. Dengan begitu kita akan selalu membumi, tidak merasa lebih dari orang lain, namun selalu bisa memberikan manfaat di manapun tanpa memandang kepada siapapun.