Tentunya tidak asing lagi bagi kita semua, terkhusus bagi penggemar kajian filsafat, sosok yang lahir pada tanggal 15 Oktober 1844 di Roecken, Jerman. Ya, dialah Friedrich Wilhelm Nietzshe, yang lebih kita kenal dengan nama pendeknya, Nietzsche. Ia menjadi ikon filosof abad ke-19 bersama dengan Marx dan Kierkegaard yang sukses menjadi sumber inspirasi dalam permasalahan filosofis.
Sosok yang pemikirannya banyak dipengaruhi oleh pujangga Jerman Johan Wolgang Goethe, Musikus Richard Wagner, dan Filsuf Arthur Schopenhauer banyak mengukir gagasan tertulisnya menggunakan metode aforisme, yaitu cara penulisan gagasan yang tidak sistematis, yang terkadang memunculkan multi-tafsir bagi para pembacanya. Konon, metode inilah yang menjadi ciri khas dari Nietzsche sekaligus menggambarkan corak pemikirannya yang khas. (Fakhruddin Faiz:2016)
Filsuf Eksistensialis ini sangat masyhur dengan salah satu gagasanya tentang nihilisme, kematian Tuhan (gott ist tott), kehendak untuk berkuasa (The Will to Power), dan relativitas moral. Nietzsche sering mengatakan: “Tuhan sudah mati! Tuhan terus mati! Kita telah membunuhnya” (Gott ist tot! Got bleibt tot! Und wir haben ihn getotet!). Ucapan ini digunakan Nietzshe untuk mengawali perang melawan segala bentuk jaminan kepastian, absolutisme, dan sakralitas. Jaminan kapasitas tersebut menurut Nietzsche ialah Tuhan sebagaimana yang diwariskan oleh agama. (Purwanto:2005)
Dengan Nihilisme, ia sebenarnya ingin mengatakan bahwa apa saja yang dahulu dianggap bernilai, absolut, dan sakral, kini sudah mulai pudar dan menuju keruntuhan, sehingga tidak ada lagi yang bermakna absolut. Absolutisme di sini meliputi seluruh bidang kehidupan manusia. Seluruh bidang ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu pertama, keagamaan termasuk di dalamnya Tuhan dan moral. Kedua, Ilmu pengetahuan.
Berpijak dari filsafat nihilismenya, Nietzshe berupaya menjadikan manusia sebagai makhluk yang eksis dan tidak selalu bergantung dan menyandarkan diri terus menerus kepada Tuhan. Filsafat Eksistensialis Nietzsche berupaya menghancurkan sakralitas dan absolutisme yang melekat pada dogma agama (moral kristiani) yang begitu kuat mengakar dalam ajaran mereka.
Seruan “Tuhan telah mati”, bagi Nietzsche, adalah bukan Tuhan dalam arti yang menciptakan dunia. Tetapi segala sesuatu yang dianggap absolut di luar diri manusia, sehingga banyak sekali orang yang bergantung padanya dan tidak percaya terhadap kemampuan diri sendiri.
Dengan adanya Tuhan tersebut, menurut Nietzsche, manusia tidak lagi independen dan gerak-geriknya tidak leluasa sehingga tidak mampu memaksimalkan potensi diri (ST.Sunardi, Nietzsche, 26-26)
Lalu bagaimana hidup bahagia dan mulia menurut Nietzsche?
Rasa bahagia manusia diraih ketika ia dapat mengerjakan suatu hal, yang secara natural, menjadi hakikat yang melekat kuat pada dirinya. Hakikat natural dalam dirinya itu ialah kehendak untuk berkuasa (The Will of Power). Fakta tersebut banyak dibahas dan diulas secara panjang lebar oleh Nietzsche dalam karyanya, yaitu The Genealogy of Morals, The will to Power, dan Beyond Good and Evil. (Friedrich Nietzsche: 2002)
Banyak dari kita yang tidak merasa bahagia karena terus menerus mendapatkan tekanan. Misal, tekanan dari atasan, bos, atau pihak yang kita pandang lebih tinggi derajatnya daripada kita. Namun, karena merasa terikat sesuatu dengan mereka dan merasa lebih inferior, kita tidak mempunyai daya untuk membantah atau melawan.
Akhirnya, mau tidak mau, kita harus terus-menerus menjalankan perintah mereka. Kebebasan dan kebahagiaan kita terampas. Tidak ada perlawanan yang diberikan, yang ada adalah umpatan di belakang yang tak akan mengubah keadaan membaik.
Untuk sedikit menghibur jiwa, kita spontan berasumsi bahwa apa yang kita lakukan ini sebagai sesuatu yang dinilai mulia dan terpuji, dengan dalih “bermanfaat bagi orang lain”.
Ketergantungan kita pada perintah ini, menurut Nietzsche, disebut sebagai “Moralitas Budak” (Herrenmoral) yaitu tidak pernah berbuat dari diri mereka sendiri (ketidakberdayaan), sebab tergantung pada perintah (tuannya). Sebaliknya, sikap tuan yang memberikan perintah kepada kita disebut ”Moralitas Tuan” (Herdenmoral) yaitu ungkapan hormat terhadap diri mereka sendiri. Mereka sangat yakin bahwa segala tindakannya adalah baik.
Moralitas ini tidak menunjukkan bagaimana seharusnya seseorang bertindak. Namun bagaimana tuan itu senyatanya bertindak baik/buruk itu tidak tergantung pada perbuatannya, namun tergantung pribadi yang melakukannya.
Dan asumsi kita bahwa apa yang kita lakukan merupakan suatu bentuk kemuliaan, disebut sebagai “Transvaluasi Nilai” yaitu sentimen kebencian terpendam yang dipelihara oleh kaum “Bermoralitas Budak” yang kemudian menghasilkan kekuatan kreatif yang menghasilkan nilai-nilai dan menjungkirbalikkan penilaian baik-buruk moralitas tuan. (Fakhruddin Faiz: 2016) Maka kita harus mengubah “Moralitas Budak” kita menjadi “Moralitas Tuan” untuk memperoleh kebahagiaan diri yang lebih bebas.
Selama ini kita tidak merasa bebas menjalankan dan menjadi apa yang kita mau. Karena terjerat oleh belenggu moralitas-morlitas ideal yang terdapat dilingkungan kita. Kita pun tidak merdeka dan tidak bebas. Kebahagiaan terpasung.
Namun, menurut Nietzsche, moral itu sendiri memiliki banyak horizon dan jika diteliti dengan teori Genealogi Moralnya, moral hanyalah ciptaakan oleh orang-orang selain kita (seperti Plato, Locke, Hegel, Buddha, dll).
Artinya, semua horizon moral itu ialah buatan manusia yang dibangun dari perspektif dan latar belakang sang pembuat yang selalu berubah dan tidak absolut. Sementara, terdapat banyak perspektif yang bisa dipakai dalam hal moralitas.
Tapi, perspektif tersebut ialah sesuatu yang terbatas dan tidak komplit. Maka, untuk menjadi bahagia, kita bisa menjalankan sesuatu yang kita inginkan sesuai standar moral yang kita tentukan. Karena pemaknaan terhadap moral ialah hak prerogatif masing-masing orang. (Fakhruddin Faiz: 2016)
Kemuliaan, menurut Nietzsche, apabila seorang manusia sudah menjadi sosok yang vital, teguh, terampil, berdaulat, dan ningrat. Karakteristik manusia mulia ini menurut Nietzsche disebut sebagai Superman (ubermensch). Jika kita menginginkan kemuliaan tersebut, maka bisa mengikuti ajaran filsafat Nietzsche selanjutnya yaitu memiliki kehendak untuk bekuasa (the will to power).
Kehendak berkuasa adalah daya hidup paling primordial dalam diri manusia. Kehendak untuk berkuasa dapat juga dirumuskan sebagai kekuatan yang memerintahkan dirinya sendiri tanpa mengandaikan pada suatu pasivitas. (S.T. Sunardi, Nietzsche)
Dalam pandangan Nietzsche, kehendak untuk berkuasa berarti membebaskan diri dari belenggu-belenggu psikis, seperti ketakutan, kasih sayangg, perhatian terhadap yang lemah dan segala macam aturan yang mengeram nafsu dan insting. (Purwanto:2005). Diperlukannya banyak keilmuan yang dikuaiasai guna menundukan sesuatu dan melanggengkan kehendak kekuasaan yang ingin dicapai.
Jika kehendak berkuasa sudah tertanam dalam jiwa, maka seseorang akan berdaulat atas dirinya sendiri. Tidak akan timbul rasa terikat oleh keadaan sekitar, seseorang bebas berkehendak sesuai dengan hasrat diri dan menjadi mulia atas segala perilaku dan tindakan yang dilakukannya.
Begitulah kebahagiaan dan kemuliaan hidup versi Nietzsche. Wassalam