Mahkamah Konstitusi (MK) akan mengumumkan hasil sidang sengketa Pilpres 2019 pada tanggal 27 Juni besok. Publik menanti pengumuman Mahkamah Konstitusi (MK) karena ia berkaitan langsung dengan hidup dan hajat orang banyak, juga karena sudah jenuh dengan hiruk pikuk kepolitikan yang ber-impact pada terpolarisasinya publik menjadi kelompok cebong dan kampret.

Publik sudah jenuh dengan adu bacot para politisi kita yang saling tebar fitnah dan kebencian melalui hoaks-hoaks murahan. Provokasi dan propaganda berseliweran di tengah-tengah publik dan membuat wajah perpolitikan kita makin sengkarut. 

Dengan makin dekatnya pengumuman MK, makin dekat pulalah kesilang-sengkarutan itu akan berakhir. Publik tentu gegap gempita menyambut hal ini.

Tetapi cukup disayangkan ketika gegap gempita ini dinodai oleh ajakan aksi yang bertajuk ‘bela agama’ di depan gedung MK oleh PA 212, GNPF, dan sejumlah ormas lain. Novel Bamukmin menyatakan, aksi tersebut tanpa unsur politik apa pun. Sebab pihaknya sedang berjuang bela agama sampai keadilan ditegakkan. 

Diakui ataupun tidak, aksi tersebut dimaksudkan sebagai pressure kepada MK agar putusannya adil dan tidak memihak sebelah, yang dalam versi mereka, yaitu capres-cawapres 02 dimenangkan. Aksi tersebut, menurut analisis saya, adalah aksi yang mubazir. Sebab Mahkamah Konstitusi akan memutuskan perkara seobjektif mungkin, tanpa berat sebelah. 

Memang dalam alam demokrasi kita, aksi tersebut merupakan sesuatu yang lazim dan dijamin undang-undang. Siapa pun berhak menyampaikan aspirasinya di depan publik, tak terkecuali. Tetapi yang sangat disayangkan, aksi tersebut diiming-diimingi dengan (aksi) bela agama. 

Membawa-bawa nama Islam dalam aksi yang politis tersebut bukan saja merupakan bentuk baru dari kejahiliaan, tetapi juga merupakan pediskreditan terhadap Islam yang universal dan sakral. Karena pada hakikatnya aksi tersebut bukan aksi bela agama, tetapi aksi bela politik. Politik yang bertopengkan Islam. 

Politik yang sengaja dibungkus dengan topeng dan jubah agama supaya kepentingan politik yang pragmatis dan machiavelinistik itu tertutupi. Juga agar bau busuk hasrat politik yang menggebu dan nyaris klimaks itu terhalang oleh bau harum agama. 

Narasi “bela agama” dalam aksi tersebut merupakan kamuflase untuk menarik simpati publik Islam agar mau berpartisipasi aktif dalam aksi tersebut.

Karena sebagaimana jamak terjadi di Indonesia dalam tahun-tahun terakhir ini, publik Islam mudah terbakar emosinya ketika Islam dianggap dihina dan direndahkan. Dan terbukti dari ekspresi keberagamaan yang serupa menyulut sumbu pendek di tengah terik itu mampu memobilisai massa dengan jumlah yang tidak sedikit. 

Menggunakan agama sebagai propaganda politik sungguh telah mencederai agama yang sakral dan nilai-nilainya yang universal. Sebab itu, marilah para elite politisi dan Anda yang mengaku paling agamis dan paling Islam, bedakan antara bela agama dan bela politik. 

Janganlah dibuat seakan-seakan sama antara keduanya, demi hanya untuk membodohi umat. Karena keduanya berbeda, baik secara lahir dan batin. Agama itu suci dan politik itu ‘najis.’

Dalam konteks aksi bela Islam menjelang pengumuman hasil pilpres 2019 oleh Mahkamah Konstitusi, kenapa agama harus dibela? Memangnya ada yang menghina dan melecehkan agama? Tidak ada, kan? Sidang sengketa hasil pilpres tidak ada sangkut pautnya dengan persoalan agama, termasuk Islam. Sama sekali tidak ada. Ini murni kepentingan politik.

Syukur-syukur jika kepentingan politiknya adalah kepentingan politik kerakyatan dan kebangsaan. Bukan kepentingan politik kebangsatan yang mementingkan kelompok dan golongan tertentu.

Jadi tidak mungkinlah ada tindak penghinaan dan pelecehan terhadap agama di sidang tersebut, sehingga harus dibela. Karena memang ini bukanlah sidang ihwal agama, apalagi Islam. Kecuali alasan yang mengada-ngada dan dibuat-buat. 

Saran saya, untuk Novel Bamukmin dan kawan-kawan yang hendak melakukan aksi di depan gedung MK, sebaiknya tidak usah menggunakan narasi “bela agama”. Alangkah bijaknya jika narasi aksi bela Islam diganti dengan narasi yang jujur dan transparan. Bahwa aksi tersebut adalah aksi bela (kepentingan) politik kelompok tertentu.

Jika ingin benar-benar membela agama, maka santunilah para tetanggamu yang fakir lagi miskin. Dan jangan lupa, rawatlah anak-anak yatim-piatunya yang membutuhkan uluran tanganmu. Didiklah mereka dengan sebaik-baiknya pendidikan. 

Jika mau yang ekstrem, Anda bisa pergi ke Palestina untuk membela saudara-saudara kita dan agamanya yang dihina dan dilecehkan Israel. Anda bisa sepuasnya melawan Yahudi di sana, hingga ajal syahid menjemput.

Sesekali cobalah transparan dan jujur terhadap umat. Umat kita jangan terus-menerus dijejali dengan kebohongan-kebohongan yang berjubahkan Islam. Islam terlalu sakral untuk dikait-kaitkan dengan remeh-temeh urusan politik kita yang kian sengkarut ini. Sudah terlalu banyak umat kita yang menjadi korban politik di negeri ini.

Ada tragedi carok di Sampang, Madura, gara-gara pertengkaran politik di media sosial. Ada banyak yang harus berurusan dengan hukum karena menyebarkan hoaks berkaitan dengan politik.

Ada juga peristiwa pembakaran Mapolsek di Sampang, Madura, gara-gara hoaks. Ada juga yang nyaris terjadi bentrok antara satu pendukung capres-cawapres yang satu dengan pendukung capres-cawapres yang lain. Sesuatu yang mengerikan.

Peristiwa-peristiwa tersebut cukup dijadikan introspeksi untuk masa depan demokrasi yang maslahat. Demokrasi yang menjunjung tinggi kemanusiaan dan mempersatukan anak bangsa dari kecerai-beraian yang disebabkan perbedaan pendapat dan pilihan politik.

Oleh sebab itu, suhu politik kita yang kian hari kian adem jangan dibuat panas dan tensinya dibuat tinggi kembali dengan aksi-aksi yang tidak perlu. Terlebih aksi yang mengatasnamakan bela Islam. Karena hal itu tidak saja meninggikan tensi kepolitikan kita, tetapi juga merendahkan sakralitas Islam.

Jika Novel Bamukmin tetap bersikukuh untuk melakukan aksi dengan embel-embel agama, maka lakukanlah aksi tersebut sendirian atau bersama para sekutunya. Tidak usah berteriak mengajak yang lain. Lakukanlah sepuasnya; kita tidak akan mengganggumu kok.