“It was nice, but, Wahiba is my home, I couldn’t stay longer outside.” Betapapun cantik dan menariknya dunia luar, hatinya tetap tertambat di gurun, tempatnya menghabiskan sisa usia. Meski pernah menjejakkan kaki di keindahan benua Eropa dan Amerika, rumah bagi orang Bedouin adalah gurun, di hamparan pasir sejauh mata memandang.

***

Suku Bedouin di Jazirah Arab, bukan lagi suku yang hidupnya berpindah-pindah tempat mengikuti musim. Mereka kini hidup di rumah permanen dan bisa memindahkan ternaknya dengan mudah ke tempat yang tanamannya subur. 

Tenda khas Bedouin saat ini dimanfaatkan untuk sekedar tempat berkumpul keluarga besar sepekan sekali.  Atau, menjadi daya tarik wisatawan untuk sejenak merasakan hidup di hamparan pasir gurun.

Begitu pula di Oman, kehidupan mereka berubah. Sebagian besar sudah meninggalkan gurun dan melanjutkan hidupnya di kota, bahkan sampai ke luar negri. Sebagian lalu bekerja di bidang pariwisata, misalnya menyewakan ATV dan mobil unuk offroad, menjadi pemandu wisata atau menyediakan tendanya untuk menerima tamu, dan bekerja sama dengan penginapan/camp komersial.

Di Oman, orang Bedouin masih bisa kita temui di Gurun Wahiba, wilayah Sharqiya. Mereka lahir dan dibesarkan di gurun yang kemudian diberi nama sesuai nama keluarga mereka: Al Wahiby. 

Meski sudah tidak bisa kita temukan mereka  tinggal di tenda, setidaknya masih kita lihat di camp penginapan, atau ketika mereka melintasi gurun dengan mobil. Mereka akan melambaikan tangan jika berpapasan dan ketika kita perlu bantuan, mereka tak akan segan-segan membantu.

Urusan mobil stuck di pasir misalnya, mereka sangat piawai menarik mobil dan yang paling penting, ringan tangan. Tidak ada bengkel satupun di wilayah gurun seluas 12,500 km2 ini. Mengharapkan jasa towing mobil sih bisa, tapi ya lebih lama. Sementara kalau orang Bedouin tahu kita butuh bantuan, mereka akan menyegerakan diri membantu. Dengan bahasa Inggris ala kadarnya, niat baik mereka akan dengan mudah diterjemahkan dengan tindakan.

Banyak yang bertanya, bahkan menertawakan, mengapa di daerah yang panasnya bisa mencapai 52 derajat Celcius, orang asli Bedouin dan umumnya orang Arab tetap mengenakan dishdasha /gamis bahkan berwarna gelap atau hitam. Bukannya panas tubuh kita harus dikeluarkan, sehingga kita harus mengenakan pakaian yang terbuka? Nhaaa, baca dulu yaaa.

Mereka mengenakan pakaian yang longgar, karena dengannya panas tubuh akan tersirkulasi dengan baik. Pakaian ketat akan sangat menyiksa di kala panas menyengat. Oke, tapi kenapa tertutup semua? Karena dengan menutup tubuh, penguapan cairan akan jauh lebih tertahan. Dengan pakaian terbuka, cairan tubuh akan menguap lebih cepat.

Dengan mengatur sirkulasi panas tubuh ini, orang Bedouin bisa bertahan dengan minum 1 liter air sehari di tengah gurun. Irit. Orang asing yang ngotot dengan cara berpakaian mereka yang terbuka bisa menghabiskan 15 liter sehari di kala musim panas. Untungnya, orang Arab terutama Bedouin tidak mudah terpengaruh dengan budaya berpakaian orang asing, bisa boros air nantinya.

Tak heran, jenis pakaian adalah salah satu tips utama untuk para pelintas gurun. Selain persediaan air minum tentunya.Tentu aturan berpakaian ini tidak berlaku untuk mereka yang sekedar camping di musim dingin, seperti yang biasa kami lakukan. Kami berpakaian biasa saja, ditambah jaket dan syal sebagai penutup angin yang dingin dan kencang.

Bagaimana mereka melihat kita berpakaian tidak seperti mereka? No problem, mereka sudah lama berkenalan dengan budaya asing. Orang Bedouin adalah bangsa yang sangat menghormati tamu. Tetapi tentu saja ada aturan resmi untuk tidak berpakaian terlalu terbuka. Bagaimanapun, saling menghormati, akan lebih nyaman untuk semua. Seperti pepatah kita, di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.

Suatu ketika kami menginap di camp  yang dimiliki orang Bedouin asli. Camp ini berbeda dengan yang lainnya, karena menawarkan paket api unggun lengkap dengan story telling dari pemiliknya, Obaid. Ada tarian khas Bedouin asli, tanpa musik dan sesi foto dengan pakaian tradisional.

Obaid lahir dan besar di Wahiba, ia menceritakan awal dirinya berkenalan dengan dunia luar Wahiba. Sekira 25 tahunan lalu, ia bekerja di pom bensin di pinggiran Wahiba. Dilihatnya ada orang asing asal Jerman yang tampak bingung memegang peta besar. 

Obaid mencoba berkomunikasi dengan mas Jerman, ternyata ia ingin menyeberangi Gurun Wahiba untuk penelitiannya. Sudah berbekal peta, tapi menghadapi hamparan pasir sejauh mata memandang, keder juga, maka ia memutuskan untuk meminta bantuan orang asli Wahiba.

Beruntung keduanya, mas Jerman mendapat bantuan, Obaid mendapat pengalaman. Nama Obaid pun direkomendasikan oleh mas Jerman pada teman dan koleganya, yang kemudian menggunakan jasa Obaid sebagai guide di Gurun Wahiba. 

Ia hafal tiap jengkalnya, karena pernah merasakan hidup nomaden mengikuti ke mana ternaknya mendapat makanan. Bintang pun menjadi penunjuk arah yang tak pernah salah. Obaid masih setia pada Wahiba, meski anak-anaknya sudah dikirimnya keluar Wahiba bahkan keluar negri untuk menempuh pendidikan dan karir..

Begitulah, sebagian orang membiarkan jati dirinya hilang bersama dengan datangnya kemajuan, sebagiannya bertahan, dan sebagian lagi justru makin bersinar. Tradisi dan value of life oleh sebagian orang dianggap menghambat kemajuan. Warga Bedouin sangat bangga dengan identitas diri mereka sebagai warga asli Wahiba, yang masih memegang syariat Islam hingga kini. 

Tenda asli Bedouin memang tak lagi dipakai sehari-hari, tapi value of life mereka masih bertahan dan dipertahankan. Sebagian lagi justru semakin bersinar bisnisnya, dengan tetap mempertahankan tradisi dan nilai hidupnya.

Bagaimana dengan kita?