Sehabis main layang-layang seharian di taman Amuhia, Rudi pulang ke rumah dengan bau matahari yang menyengat. Kulitnya makin hari makin terlihat kelam. Matanya berkunang dan batuk-batuk. 

Rudi bercelentang, merengangkan otot di atas selembar tikar pandan yang sudah terdapat banyak robekan di semua sisinya. Keringat asin membasahi lantai, mengalir sampai ke ujung pintu tetangga.

Taman Amuhia sendiri merupakan taman tersembunyi yang tak banyak diketahui orang. Bahkan warga setempat pun tak mengetahuinya meskipun setiap pagi-sore selalu ada saja orang bertanya, “Permisi Pak, taman Amuhia di mana? Anak saya sudah tiga hari tidak pulang.”

“Anakku juga sudah seminggu hilang. Terakhir kata temannya dia main bola di taman Amuhia.”

“Sudah dua puluh tahun Ibu tiap hari mencari ke sana-sini, apa itu namanya! Taman Amuhia tetapi tak seorang pun ada yang tahu. Polisi juga tidak berhasil menemukannya,” timpal seorang ibu tua bertongkat yang juga ikut bertanya.

“Loh, kok banyak anak yang hilang?”

“Mungkin diculik pedofil. Coba hubungin polisi. Kalau ngak mempan, lapor dukun aja”.

Taman Amuhia memang lain daripada yang lain. Taman itu tak beralamat dan tak memiliki ruang. Ia seperti memiliki dimensi sendiri. Dimensinya anak-anak. Hanya anak-anaklah yang bisa masuk bermain di dalamnya. 

Bahkan, anak-anak dapat dengan mudah menemukannya karena memang keberadaan taman itu sangat dekat dari tempat tinggal mereka. Orang dewasa tidak akan pernah bisa melihatnya. Bahkan orang-orang zaman dulu hanya mengenal taman Amuhia sebagai misteri yang menakutkan.

***

Pak RT Uban mendatangi warganya yang sedang berkerumun. Setelah tahu masalah yang dibicarakan, ia angkat tangan dan lekas pergi menjauh, sejauh-jauhnya. RT Uban tidak mau terlibat lebih jauh pada persoalan taman Amuhia.

“Te… bagaimana ini laporan warga!” seorang warga memekik bertanya ketus.

“Jangan libatkan saya. Saya tidak tahu apa-apa,” jjawabnya tergesa setengah berlari menghindar.

RT Uban, salah satu RT yang paling lama di kelurahan Bujur Kemasem. Mungkin juga akan menjadi RT seumur hidup. Tidak ada warga lain yang mau menggantikannya. Bukan tidak mampu, tapi warga tidak ada yang mau terlibat dengan persoalan taman Amuhia.

Kata warga setempat, taman Amuhia adalah sebuah masalah yang tidak akan pernah mungkin bisa selesai karena melibatkan penguasa dan lingkaran pebisnis kakap.

Kata warga setempat juga, rambut putihnya Pak Uban tumbuh karena sepanjang kepemimpinannya terus memikirkan taman Amuhia yang banyak menelan korban itu. 

RT Uban juga memiliki semacam traumatik, mirip penyakit post traumatic stress disolder, sebab 2 cucunya juga ikut menjadi korban. Itulah sebabnya ia selalu menghindar dan pura-pura acuh jika ada orang yang kembali membahas taman Amuhia.

***

Suara dari kerumunan massa itu membangunkan Rudi. Dari gang buntu yang pengap, bau busuk, dan selalu gelap, Rudi berjalan menuju kerumunan warga. 

Ibu-ibu menangis. Histeris. Menyebut nama anak mereka sambil berteriak-teriak. Wajah penuh ratap dan air mata telah bercampur dengan air selokan. Got-got mulai mampet tak sanggup menampung air mata. Anak-anak bocah dipeluk erat-erat menjadi tahanan rumah. 

Tidak ada lagi yang boleh kejar-kejaran atau sekadar bermain hujan di taman. Tak ada lagi anak-anak bermain di luar rumah karena memang tidak ada lagi tempat bermain yang aman untuk mereka. Sungguh mengerikan.

“Rud, bukannya kamu kemarin main sama anak tante? Di mana Raras sekarang?” tanya seorang tante muda sambil mengusap sisa air di matanya.

“Kamu pasti tahu, Rud? Tante tidak bisa kehilangan Raras. Dia anak kami satu-satunya.”

Rudi tidak menjawab. Refleks jalannya mundur kabur dari kerumunan. Setelah sedikit lenggang, ia mulai berlari masuk ke dalam gang-gang sempit yang selalu gelap dan selalu pengap itu. Baunya yang bacin, pesing, dan tengik itu pasti akan membuat siapa pun yang lewat muntah kuning, apalagi orang baru yang belum pernah ke sana.

“Tangkap bocah itu!”

“Ia menyembunyikan rahasia penting.”

Dengan mengenakan masker respirator N95 dan sambil menahan mual, tante muda yang bekerja di bagian perkotaan itu terus mengejarnya. Walaupun bertempat tinggal tidak jauh, tapi ia tidak pernah sekalipun dalam hidupnya menginjakkan kakinya di tempat kumuh penuh najis seperti itu. 

Gang-gang sempit yang berkelok dan licin membuat tante muda itu terjatuh beberapa kali hingga berdarah-darah. Rudi si juara lari, dengan yakin tetap meluncur bagai kijang.   

Akhirnya sebelum senja berganti sempurna dan semburat jingga yang ke ungu-unguan itu belum berganti menjadi malam, Rudi ditangkap di rumahnya. Untuk menghindari kerumanan warga, Rudi langsung digelandang ke kantor Polisi untuk dimintai keterangan. 

Dalam perjalanan ke kantor polisi, Rudi didampingi komisioner KPAI dan puluhan media massa nasional yang meliput kejadian langka ini.

“Ini, bang, kami sedang meliput kejadian langka. Seorang anak yang pernah ke taman Amuhia dan berhasil kembali dengan selamat. Besok bisa taru di H nih, bang,” lapor seorang wartawan pada atasannya.

***

Di kantor polisi, kerumunan massa makin menjadi-jadi. Empat sisi jalan raya yang mengarah ke kantor polisi sudah penuh orang bersesakan. Bahkan ekor barisan massa sampai melewati 52 lampu merah, dan membuat kemacetan terparah yang tidak belum pernah terjadi di kota yang setiap harinya selalu macet, mirip Ibu Kota. 

Luar biasa. Inilah puncaknya ketika rakyat meminta kejelasan tentang nasib anak-anaknya yang hilang masa kanak-kanaknya.

Sepanjang kebudayaan manusia kota, keberadaan taman Amuhia memang tidak pernah diangggap penting. Bahkan para politisi sering seenaknya sendiri memperdagangkannya. Para sejarawan juga tidak pernah bersuara. 

Sungguh tata kota dan defisit ruang terbuka hijau di kota ini sudah sedemikian parah. Semua tanah sudah menjadi beton. Semua sungai sudah menjadi tempat sampah. Semua jalanan air sudah menjadi pemukiman warga.

Lebih hebat lagi, sekarang taman di kota sudah memakai pendingin ruangan. Panas, hujan, cahaya matahari, cahaya bulan hanyalah hasil rekaan manusia.

***

“Dek Rudi, apa benar kemarin Anda baru pulang dari taman Amuhia?” tanya polisi.

“Apa taman itu memang benar ada? Bisa antarkan kami?”

“Dek Rudi apa mengerti? Tolong cerita pada kami.”

Rudi adalah satu-satunya bocah yang berhasil kembali dari taman Amuhia yang penuh mistis itu. Taman Amuhia adalah sebuah taman yang sangat teduh, sejuk, dan alami. Jika pagi hari kupu-kupu selalu datang menghibur, nan pada malam harinya kunang-kunang juga melakukan hal yang sama. 

Pohon jambu yang begitu pendek, buahnya manis dan besar. Daun ungu yang bercampur merah jambu dan batu-batuan sungai yang berwarna warni. Air bening yang terus mengalir. Rumput basah. Tempat bermain lumpur, area menangkap ikan dan bermain dengan ternak. Anak kecil mana yang tak tertarik ingin ke sana?

Di taman Amuhia, bintang-bintang bisa dipetik sesuka hati. Rembulan bisa dipeluk. Langit bisa dicium. Hal-hal yang tidak mungkin dilakukan di bumi, ada dan bisa dilakukan di taman Amuhia. Wajar saja jika orang-orang betah. Ada yang tiga minggu, bahkan 20 tahun tinggal di sana.

Tinggal di taman Amuhia jauh lebih baik ketimbang kembali ke gang sempit beraroma bacin itu atau sekalipun ke rumah mewah hasil rekaan itu. Tidak ada orang jomblo kesepian. 

Memang, awalnya hanya ada beberapa anak kecil yang menetap, tapi seiring perjalan waktu mereka tumbuh dewasa dan beranak pinak. Sekarang pun makin banyak orang yang datang dan tak ingin kembali. Alasannya kompleks, mulai ekonomi, percintaan, hingga keluarga.

Orang-orang yang tinggal di taman Amuhia bukanlah orang yang tak bisa menerima kenyataan hidup. Mereka hanya menuntut hak mereka. Harusnya fasilitas hidup seperti itu yang mereka dapatkan. Kota ini telah gagal mewariskan fasilitas hidup yang baik.

“Kota ini telah di kepung, pak!” kata Rudi setelah panjang lebar bercerita.

Generasi yang tinggal di taman Amuhia sangat gemar membuat taman. Sehingga di dalam taman Amuhia terdapat taman-taman yang jumlah tak terhitung. Sangat kontras dengan kota ini.