Apa yang teman – teman pembaca bayangkan saat mendengar kata “baliho”? Apakah lokasinya yang selalu strategis di tengah kota? Apakah warnanya yang beranekaragam? Apakah kehadirannya yang menarik perhatian di saat sedang berhenti ketika lampu lalu lintas berwarna merah?
Atau hal lain seperti slogan yang terpampang di dalam baliho yang umumnya menyiratkan optimisme oleh para tokoh politik? “Kepak Sayap Kebhinekaan” atau “Kerja Untuk Indonesia” adalah beberapa slogan atau kata – kata yang sering kali penulis lihat ketika sedang berkendara di jalanan kota Surabaya.
Hal – hal macam ini yang belakangan menjadi sorotan publik. Alasannya adalah yang pertama situasi pandemic belum berakhir dan para tokoh sudah sibuk untuk menaikkan elektabilitas diri untuk Pemilihan Umum. Alasan lainnya, sering kali baliho raksasa yang dipajang di tepi jalan tersebut terkesan konyol oleh karena masa Pemilu yang masih lama.
Jika melihat tradisi sebelum Pemilu atau Pilkada, umumnya beberapa minggu sebelum pelaksanaan pemilihan, akan diadakan masa kampanye lalu selanjutnya akan ada masa tenang. Di dalam masa kampanye tersebut, paslon dari partai tertentu umumnya akan menyebar sejumlah poster, memasang bendera, baliho, atau bahkan menerjunkan para sukarelawan untuk mencari pendukung sebelum masa pemilihan.
Lain halnya dengan saat ini. Masa pemilihan wakil rakyat masih terhitung kurang lebih tiga tahun lagi, tapi baliho sudah terpasang tak terhitung jari. Sudut – sudut jalan sudah banyak dipenuhi oleh Media Publikasi Luar Ruangan yang berisikan foto para politisi. Bukannya memikat hati, malah keberadaannya mengganggu ketenangan diri. “Sungguh terlalu”, kata Sang Raja Dangdut.
Dari hal tersebut, penulis memunculkan pertanyaan, “Untuk apa semua itu dilakukan?”. Memang, sudah sangat jelas bahwa tujuannya untuk mendapatkan dukungan dan suara sebanyak mungkin. Tapi ada apa di balik itu? Permainan dan prinsip apa yang dilakukan oleh para politisi di dalam menaikkan pamor dan mempertahankan keberadaannya di kancah politik?
Pembahasan mengenai hal ini telah lama dijadikan bahan kajian oleh para pemikir, khususnya para pemikir filsafat. Pada masa awal modernitas contohnya, terdapat seorang filsuf bernama Niccolo Machiavelli. Ia adalah seorang yang ahli dalam bidang ilmu politik dan filsafat politik. Ia hidup di kota Florence, Italia, pada masa awal Renaisans.
Tokoh ini sering kali dikenal dan dihubung-hubungkan dengan praktik busuk perpolitikan atau kekuasaan. Misal, taktik “Machiavellian” seorang diktator.[i] Barangkali hal ini dikatakan oleh karena gaya menulis yang realistis berdasarkan situasi zaman di dalam karya-karyanya.
Ya, benar. Machiavelli menulis beberapa karya setelah karir politiknya hancur dan ia mengasingkan diri ke pinggiran kota Florence. Dengan pengalamannya menjadi penasihat politik bagi Cesare Borgia, ia menulis berbagai macam pandangannya terkait politik dengan tidak memberikan embel-embel impian akan moralitas apapun.
Karyanya yang paling tersohor dalam hal ini berjudul Il Principe (Sang Pangeran, terbit tahun 1532) dan Discorsi sopra la prima decade di Tito Livio (Diskursus tentang sepuluh buku pertama dari Titus Livius, terbit pada tahun 1531). Selain beberapa karya tersebut, ia juga kerap menulis novel dan juga komedi.[ii]
Telah dikatakan bahwa Machiavelli seorang realis di dalam karyanya. Ia menulis dengan tidak menambah atau mengurangi suatu situasi tertentu di dalam penggambarannya tentang kondisi politik pada zamannya. Ia menyampaikan kritik dengan menampilkan keadaan riil dan bukan dengan cita-cita utopis.
Hal ini dapat dilihat dari kritiknya terhadap kekuasaan negara pada masa awal abad modern yang didominasi oleh kekuasaan rohani Gereja Katolik yang dipegang oleh Paus. Memang, pada masa abad pertengahan, kekuasaan kerajaan banyak kali dikuasai dan didominasi oleh kepentingan gereja. Bahkan, seorang Imam Gereja Katolik pun memiliki pangkat tertentu di dalam sebuah kerajaan.
Maka, Machiavelli mengatakan bahwa negara jangan sampai dikuasai oleh agama. Sebaliknya, negara harus mendominasi agama, seperti pada masa awal kekaisaran Romawi Kuno (saat agama Kristen dijadikan agama resmi kerajaan Romawi). Meski demikian, Machiavelli tidak ingin menyingkirkan peran agama sebagai sebuah pranata hidup masyarakat sebuah negara. Bahkan nantinya, agama ini yang dapat dijadikan alat oleh negara untuk mengatur rakyatnya.[iii]
Hal ini terkait dengan pandangan Machiavelli tentang manusia. Pada masa abad pertengahan, manusia dipandang sebagai citra Allah yang sungguh mulia ketimbang makhluk lainnya. Ia tidak menyetujui hal ini. Ia lebih menganggap bahwa manusia adalah makhluk yang bergerak dengan dipengaruhi oleh nafsu dan kepentingan diri.[iv] Dalam hal ini, manusia beserta tindakannya adalah diombang-ambingkan oleh emosi-emosinya.
Pandangannya tentang manusia inilah yang mendasari pandangan politiknya. Menurut Machiavelli, seorang penguasa harus bisa membentuk opini umum yang dapat mengendalikan tingkah laku warganya.[v] Seorang penguasa harus menegaskan posisi dan kekuasaannya di dalam menggerakkan nafsu-nafsu rendah dari rakyat.
Dalam kepentingan untuk dominasi atas nafsu rakyat, seorang penguasa harus lihai di dalam bersikap dan bertindak. Seorang penguasa haruslah mampu “bermain baik sebagai manusia maupun binatang buas”.[vi] Di satu sisi, penguasa mesti bertindak dengan memperhatikan ketetapan moral dirinya. Namun di sisi yang lain demi legitimasi kekuasaannya, ia tidak perlu melakukannya (pertimbangan moral).
Di dalam hal ini sangat kentara bahwa Machiavelli mencetuskan logika politik, yakni bertahan selama mungkin di dalam kekuasaan politik adalah sesuatu yang mesti diusahakan. Untuk itu, Machiavelli mengatakan adalah lebih baik jika seorang penguasa disegani dan ditakuti oleh rakyatnya ketimbang dicintai.
Maka sebenarnya, seorang penguasa perlu memiliki alasan mendasar terkait setiap keputusannya. Jika bertindak tegas dalam situasi tertentu, hal itu dapat benar apabila sang penguasa tersebut memiliki dasar kuat tertentu. Sama halnya dengan berbuat baik. Seorang penguasa tidak boleh kehilangan alasan baik di dalam bertindak baik untuk “memanis-maniskan” pelanggaran janjinya (jika ia melanggar).[vii]
Lalu, di mana posisi moralitas? Machiavelli mengatakan bahwa moralitas ada sejauh ia berguna untuk melanggengkan kekuasaan dari para politisi. Seperti yang telah dikatakan, bahwa seorang penguasa mesti superposisi, di mana bertindak baik adalah demi kebaikan dan kelanggengan kekuasaannya. Juga demi dilihat dan disegani oleh rakyatnya. Sehingga dalam hal ini, Machiavelli membenarkan segala cara untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan, baik lewat militer, propaganda, maupun peperangan.[viii]
Kondisi yang ditampilkan oleh Machiavelli sebagai situasi politik di Florence, Italia, pada zamannya sungguh sangat relevan dengan keadaan politik negeri ini. Segala cara dilakukan demi mendapatkan kekuasaan. “sogok sana sogok sini” merupakan cara yang biasa dilakukan oleh para politisi demi terus menjaga posisi politiknya.
Lebih lagi apabila mendekati masa pemilihan-pemilihan, baik pemilihan umum, pilkada, atau yang lain-lain. Segala cara dilakukan baik membeli suara, memasang propaganda untuk melemahkan posisi lawan politik, hingga menampilkan figur diri yang sesuai dengan cita-cita rakyat.
Hal inilah yang sering dilakukan dalam pemasangan baliho, yakni menampilkan citra diri sesuai yang diinginkan oleh rakyat. Langkah ini sesuai dengan strategi branding suatu produk, yakni Mnemonic Device. Mnemonic Device secara umum dipahami sebagai suatu alat yang digunakan untuk mengingatkan seseorang pada suatu hal. Misal, slogan, frasa, jingle, atau jinglet.
Jika ditanya mengenai slogan “Kepak Sayap Kebhinekaan”, semua orang akan tahu bahwa kata-kata tersebut adalah digunakan di dalam baliho partai tertentu dengan figur tokoh yang terpampang sebagai latar belakangnya. Sangat mudah diingat dan unik, tetapi lambat laun dapat mengganggu kenyamanan pengendara dan pengguna jalan.
Tetapi dalam hal ini, penulis tidak dalam posisi untuk memojokkan suatu partai tertentu atau tokoh politik tertentu yang memasang balihonya. Penulis dalam hal ini lebih kepada prihatin atas kondisi politik Indonesia masa ini. Pandemic belum berakhir, tetapi para tokoh politik sudah melancarkan gerakan-gerakan untuk meraih dukungan. Padahal, pemilihan masih lama.
By the way, boleh atau tidak ya pasang baliho biar dapat jodoh?
Daftar Bacaan