Putusan Mahkamah Agung (MA) yang memidana Baiq Nuril Maknun pantas publik kecam. Penjatuhan hukuman untuk seseorang yang sejatinya merupakan korban pelecehan seksual adalah bukti paling gamblang bagaimana hukum diberlakukan secara serampangan. Penerapannya sangat kaku, terkunci hanya di aspek formalitas. Cacat!
Kisah ini berawal dari publikasi online yang menyebut Kepala Sekolah SMAN 7 Mataram bernama Muslim melecehkan Baiq Nuril. Pelecehan itu berbentuk pengalaman Muslim berhubungan seks, yang kemudian diceritakan kembali kepada Baiq Nuril via telepon.
Disebutkan pula bahwa Muslim sering mengajak Baiq Nuril berindehoi. Muslim kerap meminta Baiq Nuril untuk menemaninya menginap di hotel, bersama melampiaskan nafsu berahi.
Muak dengan pelecehan itu, terlebih banyak tuduhan beredar bahwa ia dan atasannya terlibat “hubungan gelap”, Baiq Nuril lalu memberanikan diri untuk merekam percakapan mereka. Ia ingin buktikan kalau tuduhan orang-orang terhadapnya selama ini tidak benar; ia hanya korban pelecehan.
Singkat cerita, rekaman yang semula hanya untuk disimpan Baiq Nuril sebagai barang bukti lalu tersebar. Rekan kerjanya meminta rekaman itu untuk diviralkan ke Dinas Pendidikan Kota Mataram. Hanya agar Muslim bisa jera, tak memperlakukan Baiq Nuril lagi secara murahan.
Akibatnya, Muslim dimutasi dari jabatannya. Inilah yang kemudian mendorong Muslim mengambil tindakan hukum: melaporkan Baiq Nuril beralasan pencemaran nama baik.
Meski telah diproses secara hukum di Pengadilan Negeri Mataram pada tahun 2017 dan memutuskan Baiq Nuril bebas, tetapi kasasi di tingkat MA berkata lain. MA mengabulkan permohonan jaksa penuntut umum. MA membatalkan putusan PN Mataram. Baiq Nuril kalah, dinyatakan bersalah.
“Menyatakan terdakwa Baiq Nuril Maknun terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan,” tulis MA pada poin pertama terkait Putusan Nomor 574 K/Pid.Sus/2018.
Atas dasar itu, MA lalu menjatuhkan hukuman penjara selama 6 bulan. Baiq Nuril juga didenda sebesar Rp500 juta. Jika denda tak dibayar, maka akan ada tambahan masa kurungan selama 3 bulan.
Memidana Korban
Baiq Nuril adalah satu dari sekian banyak warga Indonesia yang sudah jadi korban penerapan hukum secara kaku. Apa yang kini menimpanya hanyalah sebagian kecil dari sejumlah kasus yang pernah dijerat dengan UU ITE.
Lagi pula, kasus semacam ini jelas sangat berpotensi melanggar hak asasi manusia. Ini akan mengancam kebebasan warga dalam berpendapat. Padahal hak asasi tersebut sudah terang terjamin dalam UUD 1945 Pasal 28E Ayat 3: setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Belum lagi bagaimana hukum diarahkan MA tanpa dasar rasa keadilan yang memadai. Terhadap orang yang sejatinya merupakan korban pelecehan seksual, alih-alih membela atau sekadar memperjuangkan hak-hak korban, MA malah cenderung menjaga marwah sang pelaku. MA memidana korban.
Lihat saja bagaimana putusan MA terhadap Baiq Nuril. Alasan-alasan yang dipakai sama sekali tak masuk akal: mengabaikan keadilan untuk korban; di saat yang sama, mengedepankan kehormatan pribadi si pelaku. Hal itu sebagaimana tertulis dalam kasasi: “Akibat perbuatan terdakwa, karier Haji Muslim sebagai kepala sekolah terhenti, keluarga besar malu, dan kehormatannya dilanggar.”
Dengan malah membela hak pelaku pelecehan, apakah kita tidak bisa menyebut bahwa sebenarnya ada yang “korslet” di tubuh Majelis Hakim? Ada apa dengan para penegak hukum kita? Mengapa tidak membela hak Baiq Nuril sebagai korban pelecehan? Layakkah jika Majelis Hakim di MA hanya menjadi pembaca Undang-Undang?
Mestinya MA selaku penegak hukum berupaya menggali rasa keadilan—dalam perkara apa pun! Seperti di kasus Baiq Nuril ini, mereka sebenarnya punya tanggung jawab memulihkan keadilan bagi korban pelecehan, bukan malah menimpakan “tangga” kepada ia yang sudah “jatuh”.
Eksaminasi Hukum
Ini merupakan preseden atau catatan buruk bagi lembaga yudikatif kita di Indonesia. Mesti ada langkah internal yang harus MA kedepankan di kasus Baiq Nuril ini, tanpa harus sekadar berlindung di balik prinsip independensi hakim dalam mengambil keputusan.
Adalah mendesak untuk MA segera mengambil langkah eksaminasi hukum. MA perlu dan patut memeriksa segala perangkat hukum yang ada, terutama atas putusan yang tidak berpihak pada keadilan sebagaimana menimpa Baiq Nuril.
Untuk memulai, saya, bersama rekan-rekan di Partai Solidaritas Indonesia (PSI), akan mengundang para pakar hukum melakukan eksaminasi hukum terhadap putusan tersebut. Langkah ini sekaligus jadi usulan kami ke internal MA agar juga mengambil langkah serupa: memeriksa majelis hakim; apakah ada prinsip-prinsip penerapan hukum yang hakim langgar sebelum memutus perkara Baiq Nuril.
Output dari langkah ini diharapkan bisa mendorong MA agar segera membuat kebijakan umum. Itu dapat jadi acuan bersama bagi seluruh hakim dalam memeriksa perkara hukum, terutama yang menyangkut UU ITE.
Ya, supaya tidak ada lagi hakim yang melulu terkunci di aspek formalitas tanpa melibatkan rasa keadilan. Dan juga, biar tidak ada lagi korban pelecehan yang malah berujung menjadi terpidana karena pemberlakuan hukum secara kaku. Sesungguhnya hukum tanpa rasa keadilan adalah hukum yang cacat.