Manusia yang beragama akan menunjukkan kalau dia mencintai Sang Ilahi dengan berbagai motif. Ketika kita sudah berani menyatakan cinta kepada Sang Ilahi, kita harus belajar mencintaiNya dalam misteri sampai kita mati.
Saya melihat adanya kebutuhan untuk merekonstruksi atau mengubah pola pikir kita tentang cara kita beragama. Apa yang menjadi dasar mengatakan bahwa untuk memaknai Pancasila dan kehidupan berbangsa dan bernegara harus kembali memahami kehidupan beragama? Sila ketuhanan itu adanya dimana? Sila pertama.
Sang Pencipta adalah keadilan dan kasih yang paling hakiki. Tapi sering kali manusia mengatasnamakan apa yang mereka sebutkan dan ucapkan sebagai sabda Sang Pencipta. Padahal apa yang diucapkan itu kadang sangat angkuh dan tidak menunjukkan ajaran kasih dalam setiap agama.
Lalu bagaimana sebenarnya praktik beragama dijalankan? Praktik agama menunjukkan dan bertujuan untuk mewujudkan kedamaian universal dalam otentisitas. Prinsipnya agama adalah jalan menuju kedamaian, sebagai cara bagi kita manusia supaya bisa mendekatkan diri pada Sang Pencipta. Praktik agama yang menunjukkan kedamaian itulah yang jadi cara untuk menunjukkan kasih-Nya kepada seluruh ciptaan-Nya yang ada di sekitar kita.
Cinta kasih yang ada dalam pikiran terus dipraktikkan itulah cara paling dasar bagi manusia untuk mencintai Sang Pencipta. Apa yang diimani akan hambar kalau hanya sekedar diucapkan tanpa perbuatan yang nyata.
Sering kali cara kita memahama agama yang kita anut membuat kita menjadi angkuh. Ketika kita melihat orang lain atau orang terdekat yang seagama dengan kita membuat prestasi, bangganya bukan main. Ketika kita melihat orang yang beragama lain berbuat kesalahan atau tindakan yang tidak baik, seenaknya saja mengatakan kalau agama yang lain itu sarang kejahatan.
Keangkuhan dalam beriman dan beragama sering terjadi tanpa kita sadari. Entah itu karena dorongan dari dalam diri sendiri yang sudah terlanjur basah untuk bangga dengan apa yang dianut (ajaran agama). Selain itu keangkuhan dalam beragama juga muncul dari lingkungan sekitar kita, seperti penjelasan yang gue jelaskan sebelumnya. Apa yang terjadi dalam proses kehidupan beragama, sedikit banyaknya akan berpengaruh buat cara pandang lu soal agama.
Malapetaka laten bagi diri sendiri dari keangkuhan beriman membuat pemahaman akan cairnya spiritualitas tidak berkembang. Keangkuhan beragama yang membuat kita memandang remeh yang lain itulah yang membuat kita hidup dalam interaksi sosial palsu (bahasa kerennya pseudocommunity). Kita hidup dalam komunitas yang kelihatannya harmonis, padahal banyak yang dipendam.
Pertanyaan terbesarnya adalah bisakah keangkuhan beragama dihilangkan? Kita harus sadar agama Jelas mengajarkan kita tentang kebaikan dan kesucian. Tapi saat bersamaan kita juga harus sadar kalau sebenarnya manusia sering kali keliru. Praktik yang idealnya menunjukkan kasih, malah jadi sarang kesombongan dan penindasan. Ketika kita hendak mengingatkan tentang kekeliruan, malah kita kadang merasa paling benar. Memang benar dah kalau manusia itu memang sarang kekeliruan dan kesalahan.
Jangan merasa terhina kalau lembaga agama atau orang-orang yang kita anggap sebagai perwakilan kita sebagai umat beragama melakukan kesalahan atau membuat resah banyak orang. Kalau kita punya daya utuk menegur, setidaknya mari ciptakan lingkungan yang bisa meminimalisir kesalahan yang sering kita lakukan dalam beragama.
Keangkuhan beragama membuat kita sulit untuk menjaga kerukukan dalam kemajemukan, sebuah nilai penting di dalam Pancasila. Kita terlalu takut ajaran agama kita dibicarakan orang lain. Kita terlalu takut agama kita yang dikaji atau kita yang mengkaji agama orang lain membuat iman kita akan goyah. Padahal dari kehidupan bersama dalam kemajemukan kita bisa belajar nilai-nilai kebajikan lainnya.
Kalau kita umat beragama masih sering memandang sebelah mata agama lain yang berbeda dengan kita dan hidup dalam label-label yang validitasnya dipertanyakan, mau dibawa kemana kehidupan kemajemukan bangsa kita? Sudah saatnya kita memaknai kembali sila pertama Pancasila itu. Keesaan atau kesatuan seperti apa yang mau dihidupi?
Semoga kita bisa memaknai kembali Pancasila ini. Dimaknai dalam proses berpikir, bukan asal berkoar untuk memandang rendah saudara kita. Manusia itu sama, identitasnya yang berbeda. Kebenaran yang kita percaya akan bertemu dengan kebenaran lainnya, apalagi dalam konteks Indonesia yang majemuk.
Sang Pencipta adalah pencipta semesta yang mahakuasa, bukan dihadirkan Sebagai alasan untuk membenarkan perbuatan yang membedakan orang lain yang berbeda dengan kita. Sudah saatnya kita memaknai kembali Pancasila, dimulai dengan cara pandang kita dalam menunjukkan cinta kepada Sang Pencipta dalam masyarakat yang majemuk di Indonesia negeri tercinta.
Kesadaran bahwa penghayatan iman dan spiritualitas kita tidak bertumbuh dalam ruang hampa harus disadari. Iman kita akan berdampingan dan terbentur dengan berbagai realita yang ada. Keangkuhan dan merasa diri paling benar bukan menjadi solusi untuk kemajemukan negara ini. Puritanisme yang kuat bukan solusi yang tepat bagi umat beragama untuk terus bermain di rumahnya sendiri.