From deep contemplation, aku meyakini bahwa sejak tuhan pertama kali menuturkan kalimat sakti, "Kun Fayakun", bahasa sudah berkonspirasi dengan ciptaan tuhan, termasuk alam.
Ada yang berpendapat bahwa ciptaan tuhan pertama kali itu adalah Nur Muhammad, Arsy, dan air. Namun, menurut Syekh Yusuf Qardhawi, "Ciptaan tuhan pertama kali itu adalah Qalam, tuhan menyuruh Qalam untuk menuliskan apa yang tuhan perintahkan."
Sebagian manusia masa kini mungkin masih rumit untuk menerima validitas tentang ciptaan tuhan pertama kali itu. Namun apa boleh berkata-kata, referensi itu lahir dari generasi terdahulu, dan hingga kini masih menjadi konsumsi literasi, dan bahkan konsumsi spiritualitas dalam proses petualangan mencari tuhan.
"Tidak berhenti di situ!" Makin ke sini, lagi-lagi sejarah cukup dilematis untuk diterima sebagai kebenaran absolut. Ada sejarah yang menguak bahwa, bahasa pertama kali adalah bahasa Ibrani, namun tidak jarang, banyak yang meyakini bahwa itu adalah bahasa Arab. Karena sejak tuhan melempar makhluk ciptaannya, from heaven to the earth, tempat pijak pertama makhluk yang diasingkan itu adalah tanah Jazirah Arab.
Mulai dari kasus ciptaan tuhan pertama kali, hingga pada konteks bahasa, tentu masih cukup mengundang kekacauan dan kegalauan.
Sekarang, aku tidak sedang menulis tentang bagaimana bahasa bekerja mulai dari balita ke manula, mulai dari hulu ke hilir, mulai dari zaman kekosongan hingga pada zaman kembali kosong. Namun, aku mau bertutur bahwa, jauh-jauh hari para Nabi, Ilmuwan, Filsuf, Sufi, dan tokoh-tokoh Cendekiawan lainnya sudah berlalu lalang berbicara tentang ciptaan dan bahasa.
Menurutku, "Konstruksi berpikir, humanisme, kedamaian dengan alam, hingga me-manunggal dengan gusti, semua itu kembali pada apa yang kita alami dan apa yang kita sadari, karena kebenaran terbaik adalah kebenaran yang dialami dan disadari oleh diri sendiri, selebihnya boleh dicurigai."
Nah, sampai kapan kita mesti tidak kapok pada konsep yang meneror dan pedoman yang menipu, yang tak pasti, yang berubah-ubah, bahkan kerap kali kita malah terlalu yakin dengan keyakinan yang berlebihan, sehingga mengaburkan dan mengabaikan fitrah kebenaran pengalaman dan kesadaran diri.
"Coba berpikir!" Beberapa teks dan konteks memang jitu untuk ditiru, namun tidak semua keluar dengan keberhasilan, bahkan banyak yang harus pulang dengan kegagalan. Bahkan sangat mungkin, habis baca tulisan ini, lima menit setelahnya, justru kamu akan memperselisihkan, bahkan mencurigai kebenarannya, namun apa boleh buat, inilah yang aku alami dan aku rasakan.
Sebelumnya aku nulis artikel berjudul, "Aku berpikir maka aku tidak ada." Jika Rene Descartes memiliki diktum, "Aku berpikir maka aku ada." Namun, menurutku justru sebaliknya, "Aku berpikir maka aku tidak ada." Makna sederhananya, aku melihat bahwa selain si pencipta yakni kosong atau hampa.
Nah, dalam tulisan ini aku ingin mengajak berkontemplasi pembaca tentang eksistensi bahasa agar tidak melulu berkutat pada bahasa sebagai suatu disiplin ilmu yang tersistem, dan bercabang-cabang, melainkan ada sesuatu yang lain yang perlu kita gali yaitu, "bagaimana bahasa berkonspirasi dengan alam dan tuhan."
Memang umumnya, setiap disiplin ilmu butuh peran bahasa sehingga ada yang ngotot mengatakan bahwa bahasa tidak hanya sebatas disiplin ilmu, namun dari sisi yang berbeda ada yang berpendapat bahwa bahasa sebagai alat komunikasi.
Aku melihat bahwa, "Bahasa bagian dari setiap bagian, bahasa ada dimanapun bagian itu berada. Contohnya, aku yang sebenarnya tidak cukup diwakili oleh kata aku. Untuk mengenal aku, perlu konspirasi bahasa."
"Sampainya berbagai pesan, termasuk pesan spiritual, bahasa tetap berkonspirasi dengan segenap objek. Bahkan ruang hampa tanpa tempat, ruang, dan waktu pun, yang namanya bahasa tetap ada. Bahasa ada bukan hanya pada sesuatu yang dianggap ada, namun pada sesuatu yang tidak ada pun, bahasa itu ada."
"Rumit?"
Tidak rumit, cuma kita mesti keluar dulu dari pemahaman bahasa secara devinisi, pemahaman bahasa secara konkret, ataupun penjelasan ini dan itu tentang bahasa, atau sesuatu yang mengekang lainnya. "Sekarang kita mesti luas, lugas, dan bebas!"
Analoginya, kerapkali ketika kita menatap langit, tentu yang sering tertangkap adalah yang ada namun yang konkret sahaja yaitu, "Langit yang diterjemah seolah tak bertepi, dan pokoknya dianggap paling besar, padahal disela-sela yang konkret itu ada kehampaan yang tidak terbaca oleh mata."
Dari mata telanjang, dari letupan mata yang mengarah pada langit yang menawan dan anggun itu, bukankah yang hampa lebih besar atau lebih banyak dari pada yang konkret itu?
Sama juga simbiosis manusia dengan alam dan tuhan, kalau dengan alam tidak cukup dengan untaian kata cinta pada alam. "Boro-boro cinta pada alam, toh tetap masih sahaja membuang sampah sembarang!" Cinta pada alam itu, kasih sayang akal budi dan batiniyahnya mesti dibangun dulu, baru habis itu lahiriahnya bakal ngikut.
Sama juga, PDKT-an sama tuhan itu tidak musti melulu tentang zikir, ngaji dan sholat, namun kita musti mengikat setiap organ dan non organ kita kepadanya. Pokoknya hal apapun yang berkaitan dengan kita, kita sambungkan pada tuhan, kita yakini bahwa ruang yang berisi, misalnya hati, dan pikiran, maupun ruang hampa tanpa bahasa, yang tidak terjangkau oleh akal budi, harus mulai disadari dan mulai sambungkan kepadanya.
Itulah yang aku maksud konspirasi bahasa bekerja, karena seindah apapun firman, zikir, atau amalan yang kita amalkan, semuanya kembali pada cara kita masing-masing, selebihnya itu kuasa tuhan.