Membela agama adalah hal yang sah-sah saja. Itu pilihan. Tetapi sehebat-hebat apa pun pembelaan kita, kita tidak bisa menutup mata bahwa selalu ada orang yang se-agama dengan kita bertindak jelek. Misalnya, saat ada orang kristen yang membunuh, dengan gampang saya akan mengatakan bahwa ‘itu salah orangnya, agama kristen tidak mengajarkan membunuh.’ Dengan sendirinya orang akan paham bahwa agama itu baik. Yang jahat adalah pemeluknya.
Pembelaan saya terarah kepada agama saya dan bukan orang yang seagama dengan saya. Masalah selesai sampai di situ.
Namun agama tidak selalu sederhana. Agama akan menjadi rumit bila kita bawa dalam wacana lebih luas seperti politik, ekonomi, dan hal-hal serupa. Luasnya dunia menunjukan kepada kita bahwa agama yang kita percayai terkadang muncul dalam wajah yang berbeda dalam tindakan orang lain. Misalnya ada teman saya yang percaya bahwa Buddhisme menolak bentuk kekerasan. Tetapi fakta di Srilanka menunjukan bahwa orang-orang Buddhis membenarkan pembunuhan terhadap orang-orang kristen di sana. Buddhisme muncul dalam wajah yang berbeda.
Orang dengan mudah bisa mengatakan. Urusan agama, ya agama saja. Jangan dicampur ke persoalan lain. Dalam kenyataannya, agama selalu bercampur dengan urusan lain dan tidak akan bisa kita hentikan. Agama selalu memiliki banyak bentuk seperti kasus Buddhisme tadi. Mengapa satu agama bisa muncul dalam beragam bentuk?
Reza Wattimena, ahli Filsafat Barat dan Timur, mengatakan bahwa agama adalah konsep (2022). Karena konsep, agama bisa menjadi bahasa dan alat bagi siapa saja. oleh karena itu, agama, menurut saya, selalu paradoks. Karena paradoks, maka agama, tidak akan pernah bisa dibatasi. Malah agama tidak perlu dibatasi. Lebih jauh lagi, tidak perlu dibela. Lebih lanjut, saya uraikan pada bagian berikut.
Agama Paradoks
Definisi tentang agama selalu beragam. Sulit untuk kita bisa mengatakan ‘agama adalah ini dan bukan itu, atau ‘agama adalah itu dan bukan ini. mendefinisikan agama adalah sebuah pekerjaan rumah yang sangat sulit. Sungguh amat sulit. Sesulit menguras air laut.. Lebih tepatnya, agama pada dirinya sendiri selalu paradoks.
Sebagai contoh, dalam agama kristen, ada orang kristen tertentu yang percaya bahwa Alkitab adalah 100% benar. Di tempat lain, ada juga orang Kristen yang percaya bahwa Alkitab tidak sepenuhnya benar. Dan fenomena itu, bisa terjadi dimana dan kapan saja, di seluruh dunia.
Contoh lainnya, pemeluk Islam di Aceh dan Lombok Timur membolehkan hukuman cambuk bagi orang yang melanggar ajaran Islam. Namun di tempat lain di Indonesia, khususnya yang tidak melegalkan Syariah, tidak menerima hukuman cambuk. Artinya dari sebuah agama, bisa muncul tafsiran dan praktek agama yang berbeda-beda pula. Artinya agama selalu paradoks.
Lantas bila agama itu paradoks, maka mustahil ada definisi agama yang tunggal. Mustahil juga ada cara beragama yang tunggal. Mirip mungkin ada tetapi tidak akan pernah seragam. Meminjam istlah dekonstruksi a la kaum postmodermisme seperti Derrida, bila sebuah kenyataan ‘dikonversi’ ke dalam bahasa maka pada saat yang sama kata (atau definisi) itu selalu mempersempit sebuah kenyataan.
Dalam kasus agama, bila kita mau mendefinisikan agama, maka, definisi tersebut tidak akan bisa merangkum panorama agama yang luas dan tak terbendung. Artinya definisi kita selalu bisa berubah kala ‘fenomena agama’ berkembang dan bergerak maju. Itu berarti agama selalu dihayati dan dipraktekan dengan cara yang berbeda-beda.
Luasnya Wacana dan Urusan Agama
Dalam diskursus para ahli-ahli studi agama (religious studies), agama tidak pernah didefinisikan dalam makna tunggal. Menurut mereka, usaha mendefinisikan agama adalah sebuah tindakan yang membuang-buang waktu. Joseph Blankholm, profesor religious studies dari University Of California Santa Barba, USA, dalam artikelnya One Good Way to Understand Religion is to Break it Apart (2022), dengan sarkas dan elegan, justru mengatakan bahwa kamus-kamus yang berupaya mendefinisikan agama sejujur-jujurnya tidak berguna dan lebih baik dibuang.
Bagi Blankholm, dalam kenyataannya, orang selalu percaya pada agama yang ‘mereka alami’ dan hidupi dalam keseharian. Definisi agama yang ditawarkan kamus-kamus hanya memberitahu sebuah ‘bentuk’ dari agama dan bahwa ‘agama’ pernah ada dalam sejarah dan masih ada saat ini. dalam ruang diskusi tentang agama, orang lebih banyak berbicara tentang agama yang datang dari pengalaman keseharian orang beragama dan bukan definisi. Jadi buat apa kita percaya pada definisi agama dari kamus?
Malory Nye, seorang pakar studi agama asal Inggris, dalam bukunya Religion: The Basic (2008), mengatakan bahwa agama (secara khusus religion) adalah sebuah istilah yang dibangun oleh orang-orang Eropa, di masa lalu, untuk menjelaskan agama-agama institusional seperti Kristen. Istilah religion pun dipaksakana untuk diikuti oleh kelompok atau tradisi lain di luar Eropa seperti Islam, Hindu-Budha di India, dan kemudian ajaran dan kepercayaan lokal di dunia.
Menurut Nye, religion menjadi sangat kolonial dan kontekstual. Agama (religion) adalah istilah yang sangat khusus bagi orang Eropa dan kemudian tidak bisa menjadi istilah umum. Imbasnya, agama sangat kontekstual, maksudnya terbatas untuk kristen saja, kristen Eropa secara spesifik, sehingga definisi agama tidak bisa sama dan cocok pada tempat lain.
Dari tradisi Asia, agama sebenarnya tidak relevan untuk dipakai. Kepercayaan Hindu-Buddha, yang mungkin banyak orang Indonesia kira sebagai ‘agama,’ bukanlah agama. Richard King dalam bukunya Orientalism and Religion (2001) Hindu pada dasarnya adalah budaya (culture) dan Buddha adalah dharma (jalan atau the way of life). Menurut King, karena alasan kolonialisme, Hindu-Buddha kemudian disebut menjadi ‘agama.’ agama dalam hal ini adalah kelompok ajaran yang memiliki komunitas, kitab, dan Tuhan.
Dalam diskursus pakar studi agama di tanah air, agama tidak pernah berangkat dari definisi tetapi pengalaman komunitas beragama. Wacana agama dimulai dari pemeluk agama (religious people) dan ajaran agama (religious belief). .
Rm. Albertus Bagus Laksana, profesor studi agama dari Sanata Dharma Jogjakarta, lewat tulisannya Menguak Perkara Agama: Perkembangan Studi Agama Kontemporer dan Tantangan di Indonesia (2015), mengatakan bahwa wacana agama di Indonesia, dewasa ini, berupaya untuk melihat peranan agama bagi berbagai aspek kehidupan manusia seperti lingkungan hidup, gender, ekonomi, dan masih banyak lagi.
Artinya, agama lebih diarahkan untuk menghargai keberagaman pilihan hidup dan menjawab tantangan kehidupan manusia. Singkat cerita, agama bersifat interdisiplin dan multifungsi. Tentu pada arah yang mulia yaitu kemaslahatan hidup orang banyak dan seluruh ciptaan.
Beberapa Pertimbangan
Semua teori-teori di atas mau mengatakan bahwa agama adalah sesuatu yang personal dan kompleks. Saat saya mengatakan saya beragama kristen, maka ke-kristenan- saya selalu kompleks. Apa yang saya pandang sebagai kristen akan selalu berbeda dengan orang lain.
Belum lagi saat agama kristen dipraktikkan demi motif-motif lain seperti politik dan ekonomi. Singkat kata, di dunia saat ini tidak ada sesuatu yang murni agama. Agama selalu hadir dalam berbagai motif dan tujuan. Tujuan dan motif itulah yang harus kita sadari dan pahami dahulu sebelum bertindak demi sebuah agama.
Kesadaran akan kompleksitas agama harus menjadi kesadaran kita sebelum membela sebuah agama. Saat ada orang yang menghina agama, setiap hinaan tersebut selalu hadir dalam berbagai alasan dibaliknya. Misalnya, di Indonesia, saya sudah sering melihat Gereja di bakar. Banyak orang kristen terganggu akan hal itu.
Tetapi, saat saya sadar bahwa pembakaran Gereja itu datang dari pandangan tertentu terhadap agama kristen. Saya tahu bahwa orang yang membakar Gereja memiliki pandangan tentang agama kristen yang sempit. Kedua saya sadar bahwa pembakaran Gereja hanyalah sebuah ‘alat’ untuk kepentingan lain seperti politik dan ekonomi.
Artinya agama hanyalah ‘alat’ dalam aksi pembakaran Gereja. Lantas bila saya mau membela agama kristen semata, saya akan melupakan persoalan penting lainnya seperti penindasan ekonomi dan politik yang menjadi tujuan utama dari pembakaran tersebut. Artinya, membela agama menjadi tidak relevan tanpa membela kepentingan ekonomi dan politik dari korban pembakaran Gereja. Dalam taraf yeng lebih kompleks, membela agama adalah tindakan salah sasaran. Yang harus saya bela adalah hak dan kepentingan para korban yang direnggut karena isu agama yang menjadi 'alat' atas kekerasan yang mereka alami.
Akhir kata, membela dan tidak membela agama adalah pilihan. Namun, sebelum memutuskan itu, pertimbangkanlah lima alasan berikut. Pertama, saat kita membela agama. sesungguhnya agama versi siapa yang kita bela? Dan agama seperti apa yang kita pahami? Kedua, luasnya ranah agama membuat agama selalu menjadi alat bagi kepentingan lain.
Maka jaminkan pada diri kita bahwa agama yang kita bela adalah demi kepentingan agama dan bukan kepentingan orang yang mengatasnamakan agama. Ketiga, tanpa kita bela, agama yang kita yakini selalu dapat kita jalani sebab agama selalu bersifat personal. Membela agama kita sama artinya kita melarang kebebasan orang membentuk pandangan lain dari pandangan kita.
Ke-empat, keyakinan kita pada agama kita saat ini selalu bisa berubah. kita bisa membela agama kita hari ini, tetapi besok kita bisa menghakimi agama kita sendiri karena berbagai motif dan kepentingan sebab agama selalu Paradoks.
Yang terakhir, agama seharusnya berkaitan dengan kehidupan. Agama menghidupkan dan bukan mematikan. Saat kita membela agama, yakinlah bahwa tidak ada kekerasan yang akan terjadi dan tidak ada hak hidup orang yang kita renggut, seperti yang pernah kelompok agama tertentu lakukan pada BTP. Ingatlah bahwa agama selalu paradoks.