Arteria Dahlan kembali viral. Dalam sebuah potongan video saat rapat bersama Jaksa Agung, ST Burhanuddin, anggota Komisi III DPR RI itu meminta agar seorang Kepala Kejaksaan Tinggi atau kajati, dicopot dari jabatannya karena berbicara menggunakan bahasa Sunda dalam rapat.
“Ada kritik sedikit, ada kajati Pak, dalam rapat dalam raker berbicara bahasa Sunda, ganti Pak itu.” katanya.
Walaupun terlihat serius saat menyampaikan keluhannya, rekan Arteria yang duduk di sebelahnya justru terlihat tertawa mendengar kritikan tersebut.
Bahkan sayup-sayup terdengar rekannya dari fraksi PKS Komisi III, Aboe Bakar Al Habsyi, mengingatkan Arteria agar hati-hati karena ST Burhanuddin pun merupakan orang sunda, tentunya dengan tendensi guyon.
Potongan video dari kanal Youtube parlemen tersebut pun viral sejak Senin, 17 Januari 2022. Menanggapi pernyataan Arteria, langsung bisa ditebak bagaimana reaksi masyarakat Indonesia terutama mereka yang menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa sehari-hari atau bahasa Ibu.
Arteria tentu harusnya paham, menyinggung identitas kedaerahan sangatlah sensitif di Indonesia.
Meski mungkin ada beberapa poin yang harus menjadi bahan pertimbangan, Arteria sebaiknya menahan diri untuk tidak serta merta melemparkan keresahan karena penggunaan bahasa Sunda sebagai sebuah kejadian luar biasa di forum publik.
Penggunaan Bahasa Ibu di Forum Resmi
Bahasa Ibu adalah bahasa yang pertama kali dikuasai seorang anak dimulai saat ia mulai belajar berbicara hingga fasih. Umumnya, bagi Indonesia yang terdiri atas banyak suku bangsa, bahasa Ibu adalah bahasa daerah.
Walaupun banyak sekali juga anak-anak yang besar dengan bahasa Indonesia sehingga bahasa Ibu mereka adalah bahasa Indonesia, atau bahkan bahasa asing.
Bahasa Ibu adalah bahasa penting dan tidak bisa diabaikan begitu saja, bahkan diperingati setiap tanggal 21 Februari.
Bahasa Ibu, khususnya bahasa daerah justru adalah sebuah harta karun yang harus dilestarikan. Tak terhitung sudah banyak bahasa daerah Indonesia yang punah, karena sedikit yang menggunakannya sebagai bahasa Ibu.
Dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa Ibu, dikenal beberapa ragam bahasa dan bagaimana bahasa itu digunakan tergantung pada situasi dan kondisi tertentu.
Dari kacamata ilmu sosiolinguistik, marilah kita tarik benang merah mengenai polemik penggunaan bahasa Ibu—sebelum sampai kepada mengapa Arteria harus merasa tersinggung dengan penggunaan bahasa Sunda dalam rapat.
Ahli bahasa, Martin Joos, membagi lima macam variasi bahasa sesuai kebutuhan penggunaannya. Mulai dari ragam beku, ragam formal, ragam usaha, ragam santai, dan ragam akrab.
Ragam beku adalah variasi bahasa paling formal yang kaidahnya tidak bisa diganggu gugat. Ragam ini digunakan pada situasi sangat resmi seperti upacara kenegaraan, khotbah di tempat ibadah, pengambilan sumpah, pembacaan kitab atau undang-undang, dan dalam menulis surat-surat keputusan (Chaer, 2010).
Apa yang ditulis Martin Joos dalam bukunya The Five Clock tentu menyesuaikan dengan gaya masyarakat Eropa khususnya di Inggris pada saat itu.
Di Indonesia sendiri, banyak ragam bahasa yang dipelajari dalam bidang ilmu linguistik, namun umumnya hanya dikenal dua jenis ragam yang paling utama: ragam bahasa baku dan ragam bahasa tidak baku.
Lalu pada saat situasi rapat seperti yang digambarkan Arteria, ragam manakah yang digunakan? Sudah barang tentu adalah ragam baku.
Ragam baku bersifat resmi, digunakan pada rapat dinas dan juga surat menyurat kedinasan, pidato kenegaraan, dan ceramah kenegaraan. Ragam ini memiliki pola atau kaidah yang sudah ditetapkan sebagai sebuah standar.
Dalam hal ini, penggunaan bahasa Ibu atau mudahnya dianggap sebagai bahasa daerah di Indonesia, tidak digunakan dalam situasi baku atau resmi.
Namun bila kembali kepada telaah sosiolinguistik, ada beberapa situasi yang membuat bahasa Ibu digunakan dalam kondisi tertentu. Kedua situasi itu dinamakan alih kode dan campur kode.
Ada beberapa pemaparan makna mengenai alih kode yang dikemukakan para ahli bahasa, namun bila menyesuaikan dengan kasus Arteria, bolehlah mungkin mengutip pernyataan dari Appel (1976: 79), yang mendefinisikan ahli kode sebagai gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi.
Sementara campur kode adalah penggunaan dua bahasa berbeda dalam satu waktu, seperti pada masa sekarang kita mengenalnya sebagai “bahasa jaksel” di mana penggunaannya mencampurkan antara bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
Alih Kode Bukan Kesalahan Berbahasa
Alih Kode dan Campur Kode merupakan variasi bahasa dan bukanlah merupakan sebuah kesalahan berbahasa. Apabila terjadi penyimpangan penggunaan bahasa tidak sesuai pada tempatnya, maka kesalahan itu disebut interferensi.
Masalahnya adalah publik tidak tahu persis bagaimana penggunaan bahasa Sunda yang dilakukan oleh seorang Kajati yang dipermasalahkan Arteria: apakah sebuah alih kode atau interferensi?
Oleh karena demikian, kita juga tidak bisa serta merta menyalahkan si A atau membenarkan si B dalam kasus ini.
Ada hal yang perlu ditelaah lebih mendalam yang berkaitan dengan pokok permasalahan linguistik, seperti dengan siapa yang bersangkutan berbicara? Kalau benar dengan bahasa Sunda dalam kondisi rapat kerja, kepada siapa dan untuk tujuan apa?
Pun apabila Kajati yang dimaksud berbicara menggunakan bahasa Sunda, ia tidak sepenuhnya salah apabila dilakukan di dalam lingkungan masyarakat tutur.
Joshua Fishman, ahli bahasa Indonesia yang berfokus pada sosiologi bahasa menyebut bahwa ada sebuah masyarakat bernama masyarakat tutur.
Masyarakat tutur adalah suatu masyarakat yang anggota-anggotanya setidaknya mengenal satu variasi bahasa beserta norma-norma yang sesuai dengan penggunaannya (Chaer, 2010).
Karena itulah kita mengenal banyak jenis masyarakat tutur; masyarakat jawa, masyarakat sunda, masyarakat batak, dan sebagainya .
Dosen Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, pada tahun 2014 silam pernah mempertahankan disertasi berjudul “Wacana Rapat Dinas: Kajian Sosiopragmatik dan Kewacanaan”.
Dra. Bernardine Ria Lestari, mengambil studi kasus pada Rapat Dinas DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta. Hasil studi kasusnya menunjukan dalam rapat di DPRD DIY terjadi alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa sebagai bentuk penghormatan terhadap pihak eksekutif dan anggota DPRD dalam rapat komisi.
Masalah akan timbul apabila penggunaan bahasa itu dilakukan pada forum yang bukan merupakan masyarakat tutur. Dengan kata lain, masyarakat yang bukan bagian dari masyarakat tutur itu tidak dapat memahami apa yang dimaksud sehingga komunikasi menjadi tersendat.
Bila ternyata yang terjadi adalah interferensi, penggunaan bahasa Ibu dalam hal ini bahasa Sunda, bisa menjadi sebuah kesalahan. Sebab dalam ilmu sosiologi bahasa, interferensi dianggap penyakit yang bisa merusak kemurnian bahasa.
Pertanyaannya, apakah Arteria Dahlan adalah bagian dari masyarakat tutur pada saat rapat bersama sang Kajati yang dimaksud? Jika ya, wajar bila ia merasa kecewa karena tidak memahami apa yang dikatakan karena bukan menggunakan bahasa Indonesia.
Tetapi akan lebih bijaksana bila Arteria tidak menggunakan kata ‘takut’, seolah-olah menggunakan bahasa Ibu bertendensi negatif bagi yang tidak memahaminya.
“Kalau ngomong pakai bahasa Sunda nanti orang takut Pak, ngomong apa...”
Reaksi Berlebihan Arteria dan Respons Tokoh Masyarakat Sunda
Masyarakat tidak bisa sepenuhnya menyalahkan Arteria Dahlan terkait kegelisahannya terhadap penggunaan bahasa Sunda. Karena seperti sudah disinggung di atas, kita harus melihat bukti dari dua sisi bila ingin memberikan penilaian terkait benar atau salah.
Namun, yang perlu disayangkan dari sikap Arteria adalah karena usulan sanksi indisipliner berupa pencopotan terhadap oknum Kajati tersebut yang terlalu berlebihan.
Alih kode atau penggunaan bahasa Ibu saat rapat bukanlah tindakan pelanggaran disiplin berat.
Merujuk pada Peraturan Pemerintah atau PP Nomor 53 tahun 2010 tentang disiplin ASN, hukuman berat diberikan bila 1) menyalahgunakan wewenang, 2) menjadi perantara untuk keuntungan pribadi/orang lain, 3) tanpa izin pemerintah bekerja untuk lembaga atau organisasi internasional, 4) menyalahgunakan barang negara, 5) KKN, dan terakhir adalah tindakan kriminal berat.
Sementara bila kesalahan penggunaan bahasa dianggap sebagai sebuah tindakan tidak disiplin, dapat dikategorikan sebagai pelanggaran ringan sehingga hukuman yang bisa diberikan bisa berupa teguran lisan, teguran tertulis, atau pernyataan tidak puas.
Terkait reaksi berlebihan Arteria itu, beberapa tokoh yang mewakili masyarakat Sunda angkat bicara. Mulai dari Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil beserta Wakil Gubernurnya, Uu Ruzhanul Ulum.
Keduanya sama-sama meminta Arteria agar memohon maaf kepada masyarakat Sunda yang terluka hatinya akibat pernyataannya kepada Jaksa Agung.
Namun, Arteria bersikeras tidak ingin meminta maaf dan meminta Ridwan Kamil untuk membawa saja masalah ini ke Mahkamah Kehormatan Dewan.
Dan, akhirnya terjawab sudahlah alasan mengapa Arteria merasa takut dan merespons berlebihan, rupanya pria berdarah minang itu tidak ingin kejaksaan disusupi oleh Sunda Empire. Sebuah alasan yang cukup lucu.
Rekan sesama anggota DPR, Dedi Mulyadi yang juga pernah menjabat Bupati Purwakarta, juga mengganggap tidak ada yang salah dengan menggunakan bahasa Sunda dalam rapat.
Saat menjabat sebagai bupati pun, Dedi kerap menggunakan bahasa Sunda sebagai sarana berdialog. Apalagi dalam situasi rapat yang bersifat kedaerahan, tidak hanya bahasa tetapi juga dekorasi bahkan pakaian yang digunakan saat rapat pun menyesuaikan daerah masing-masing.
Kesimpulannya, ketakutan Arteria terhadap penggunaan bahasa Sunda adalah masalah personal. Apakah pantas bila mencopot seseorang dari jabatannya hanya karena peristiwa alih kode? Apakah sebegitu kuatkah pengaruh Sunda Empire sehingga membuat seorang Arteria takut? (z)