Sepuluh tahun lalu saya terjebak dalam romantisme kertas yang cukup asyik. Di perpustakaan kampus Islamic Call College (IIC), Tripoli, saya membaca sebuah buku tentang hadits (segala yang bersumber dari Muhammad Saw) yang dianggap bermasalah. Pandangan saya tertahan pada sebuah teks berbunyi:
“Tipikal orang hitam jika lapar dia mencuri, jika kenyang ia berzina”.
Bukan substansi dari (yang dikatakan) hadis tersebut yang membuat saya tertarik, melainkan pada catatan-catatan pinggir yang dibuat oleh pembaca-pembaca sebelumnya.
Seorang pembaca berkomentar, “Tak seharusnya teks seperti ini berada dalam buku hadis”. Dengan warna tinta pena yang berbeda ada juga yang menulis, “Coba baca penjelasan penulis buku secara lengkap”. Saya tahu coretan-coretan semacam ini ilegal, tapi tetap saja menarik perhatian. Dua hari setelahnya saya kembali mendatangi buku itu. Terlihat sudah ada catatan baru yang cukup panjang. Di antaranya adalah “perkataan kotor seperti ini tidak mungkin keluar oleh sosok mulia seperti Muhammad Saw”.
Dialektika tersebut (di “zaman now” bisa disebut twitwar) terjadi sepuluh tahun lalu dan saya tidak kesulitan untuk mengingatnya. Berbeda dengan komunikasi Whatsapp kemarin malam yang begitu di-clearchat sudah terlupa apa isinya. Komentar-komentar di area kertas tersebut juga terasa lebih “maknyus”dan membekas dari semisal kolom komentar di dinding FP Info Cegatan Jogja (ICJ).
Tahun 2014 saya ikuti kelas Kajian Islam Komprehensif yang diampu oleh Prof. Oman Fathurrahman di UIN Jakarta. Beliau bawa contoh manuskrip yang berhasil beliau kumpulkan. Di antara yang menarik adalah manuskrip tentang sejarah Islam. Namun sekali lagi, bukan pada substansi teks tersebut melainkan catatan kecil di bawahnya. Tertulis dengan aksara Arab ramuan-ramuan kejantanan untuk pria dewasa. Dugaan saya, mendiang pemilik manuskrip mendapat resep tersebut tapi tak memiliki cukup kertas untuk menulisnya. Harga kertas tentunya tak semurah sekarang.
Saya tidak ingin terburu-buru menjadikan dua kisah anekdotal di atas untuk justifikasi romantisme atas kertas. Saya hanya ingin katakan bahwa ada hal yang tidak bisa disubstitusi oleh para pengganti kertas kelak.
Frederick Wilfrid Lancester mengemukakan konsep paperless society di tahun 1978. Intinya adalah suatu tatanan masyarakat di mana komunikasi antar individu yang berupa kertas digantikan dengan komunikasi digital. Secara fungsi pragmatis mungkin betul, tapi ada banyak aspek di mana kertas harus dipertahankan. Di samping anekdotal di atas, kesimpulan saya berdasar pada hal-hal berikut:
Pertama, target Indonesia sebagai produsen kertas nomer 6 dunia. Sebagaimana dikutip dari situs Kemenperin (diakses pada 13/12/2017), pada tahun 2013 Indonesia memiliki 82 industri pulp dan kertas yang terdiri atas 4 industri pulp, 73 industri kertas, serta 5 industri pulp kertas terintegrasi dengan kapasitas terpasang industri pulp dan kertas sebesar 18,96 juta ton. Selanjutnya para stakeholder menetapkan target di tahun 2017, Indonesia menjadi produsen kertas nomer 6 dunia.
Artinya satu dari sekian kebanggaan Indonesia (selain tiang listrik yang kokoh) adalah kertas. Anda bisa bayangkan imbas gagasan paperless society pada dunia industri dan isu ketenagakerjaan. Berapa ribu pengangguran baru yang akan tercipta?
Kedua, isu lingkungan yang bisa diatasi. Dualisme dalam diri kita adalah keinginan pada kemudahan di satu sisi, dan mencoba idealis dengan menjaga lingkungan di sisi lain. Kertas dihasilkan dari pohon yang harus ditebang. Sementara pohon adalah simbol go-green dan lingkungan yang sehat. Maka menebang pohon untuk kertas dianggap tindakan yang merusak lingkungan. Padahal sebenarnya keduanya tak melulu harus dipertentangkan.
Perusahaan-perusahaan kertas jangan terjebak pada memetik hasil tapi malas lakukan proses. Hanya merusak hutan tanpa mau menanamnya. Mestinya mereka memiliki lahan sendiri yang terus ditanam secepat ia ditebang. Perusahaan tidak boleh merusak hutan di mana satwa-satwa langka hidup di dalamnya. Jaminan dari itu semua tentunya adalah regulasi, komitmen, dan pengawasan.
Ketiga, Relevan untuk hal yang bersifat confidential. Kerahasiaan dokumen kertas lebih bisa dijaga daripada bentuk digitalnya. Kita tidak tahu persis apa saja yang bisa dilakukan peretas di dunia digital. Barangkali itu sebab lembaga-lembaga seperti KPU mendasarkan perhitungannya pada hitung manual berjenjang. Lebih bisa dipertanggungjawabkan. Pun demikian dengan resep dokter. Ada yang dapat resep obat keras lewat email? Kita semua, disadari atau tidak, nampaknya juga begitu. Menjadikan kertas sebagai media untuk hal-hal yang sifatnya rahasia.
Keempat, kemampuan untuk digunakan kembali. Hal yang tidak bisa dilakukan oleh dunia digital adalah kemampuannya untuk digunakan kembali. Bekas-bekas artikel digital tak bisa didaur ulang kecuali untuk kepentingan politik. Banjir zaman Gubernur Ali Sadikin diposting ulang untuk diskreditkan Anies, misalnya. Jauh lebih mulia koran minggu lalu yang alih fungsi jadi bungkas cabe, bukan?
Kelima, faktor keyakinan dan kepercayaan. Kitab suci Al-Qur’an khususnya, dianggap sakral jika berbentuk lembaran-lembaran kertas bersampul. Bagi sebagian kalangan, menyentuhnya harus dengan wudhu. Cara membawanya tak boleh dijinjing tapi harus didekap di dada. Perlakuan ini tak berlaku untuk smartphone yang sudah terpasang Al-Qur’an digital.
Selain itu, Anda pernah lihat jimat dalam wujud digital? Produk dari “orang-orang pintar” akan diragukan kesaktiannya kalau ditulis di layar ponsel. Ia justru mencapai puncak mistisismenya manakala ditulis secara artistik dan misterius dalam lembaran kertas.
Keenam, ramah anak. Bisanya orang tua lebih merasa aman manakala sang anak bermain dengan kertas dan alat tulis alih-alih memegang gawai. Motorik halus dan kasarnya akan terlatih bersamaan dengan bergumulnya ia dengan kertas tersebut. Resiko terbesarnya hanyalah sobek. Jika memegang gawai, dipanggil saja kadang tidak merespon.
Ketujuh, romantisme. Ini bagian yang teramat luas untuk diurai tapi yang terpenting. Sebagai gambaran, ada tokoh nasional yang membangun romantisme justru dengan bau kertas. Menurutnya, aroma kertas dari buku-buku lama teramat sayang untuk dilewatkan. Ada juga yang terikat dengan kertas pada nilai artistiknya. Lembaran-lembaran papyrus dari Mesir bertuliskan aksara-aksaran biasa. Namun karena nilai artistik dari kertas tersebut membuatnya layak dijadikan oleh-oleh (di samping “hajar jahannam” tentunya).
Sebagian membangun romantisme dengan usia dari kertas tersebut. Silakan tanya pada para kolektor benda-benda pos (filatelli). Semakin lama edisi yang ia koleksi, semakin terpenuhi kepuasan batinnya. Sebagian lagi bernafsu dengan kuantitas buku itu sendiri. Untuk memuaskan “birahinya”, dibangunlah perpustakaan pribadi dengan koleksi buku yang komplit, meski untuk membacanya adalah nomer dua. Romantisme-romantisme tersebut sulit didapat dengan perangkat digital manapun.
Alasan-alasan di atas (dan alasan lain yang tidak terbatas) membuat keterikatan kita akan kertas tidak sebanding dengan rasa penasaran akan paperless society. Barangkali gagasan Frederick Wilfrid Lancester tersebut hanya berlaku pada lingkup yang terbatas atau mungkin juga tidak pernah terwujud. Yang jelas untuk saat ini, kita bisa menyisihkan gagasan itu dan tetap merayakan keintiman dengan kertas. Ingat, pendukung kertas bersatu tak bisa dikalahkan!