Teori objektivisme muncul sebagai reaksi terhadap relativisme yang tersirat di dalam penafsiran subjektivistis dan karena adanya kebutuhan untuk menekankan moralitas yang stabil. Nampaklah bahwa manusia itu perlu menyesuaikan perilakunya dengan berbagai prinsip yang melampaui dirinya dan bahwasannya kebaikan kode moral seseorang itu terkandung di dalam pemenuhan kebutuhan diri pribadi. 

Meinong mengalami di dalam dirinya perubahan yang pada akhirnya juga harus dimulai dengan penyamaan kasar antara nilai dengan kenikmatan.

Kesalahan subjektivisme yang terdahulu mengakibatkan munculnya ajaran objektivitas yang ekstrem yang mengasumsikan bahwa kesalahan ini mengizinkan mereka untuk melangkah tanpa banyak meributkan sikap yang berlawanan. 

Karena subjektivisme berangkat dengan pengalaman, ajaran ini kembali kepada setiap unsur empiris dan lebih suka menggunakan metode a proori yang memiliki keuntungan rangkap untuk meyakinkan kita atas objektivitas yang diasumsikan yang sedang kita cari dan memberi kepastian kepada kita bahwa pengalaman  itu tidak kontradiksi dengan kita. Orang semestinya hanya mengikuti koherensi logis dan presentasi estetik sistem; penggunaan bahasa yang tepat akan mendapatkan kesetiaan emosional dari pembaca

Banyak orang tidak percaya akan perlunya mengajukan argumen yang berlawanan dengan subjektivisme yang mereka bantah; mereka lebih suka merendahkannya dengan mengingat orang yang tidak mengemukakan idenya tentang idenya tentang nilai secara membuta. Ada juga orang, terutama di Amerika Latin yang berpura-pura melihat agar tidak di tuduh buta.

Karena kita menganggapnya tidak memadahi untuk menjelaskan di sini teori umum objektivisme secara sewenang-wenang menarik kesimpulan dari berbagai bentuk yang ada dan sekalipun enggan untuk menggemukkan semua teori objektif yang muncul di abad ini, nampaknya akan lebih baik membatasi bab ini dengan sebuah pernyataan dari salah satu teori yang terkemuka diantara teori yang lain berdasarkan atas kepastian prinsip dasarnya dan gengsi yang diperoleh di dunia yang berbahasa Jerman maupun yang berbahasa Spanyol, tentu saja kita akan mengacu pada ajaran max Scheler.

Pribadi Max Scheler

Max Scheler lahir pada tahun 1874 di Munchen, ibukota daerah Bayern (Bavaria) di Jerman Selatan, suatu daerah yang mayoritasnya beragama Katolik. Ayahnya berasal dari keluarga menengah ke atas yang beragama Protestan. Keluarga Scheler tidak memeluk agama Katolik. 

Ayah “ Max Scheler beragama Lutheran, sedangkan ibunya Yahudi. Namun menurut cerita pada saat menikah ayahnya berpindah memeluk agama Yahudi. Sedangkan Max Scheler dalam tulisannya memperlihatkan bahwa ia kurang tertarik dengan agama ibunya yang sebenarnya merupakan agama tempat dia di besarkan.

Sheler tidak menempatkan dirinya untuk melayani berbagai idenya. Idenya agak mengikuti cara nafsunya yang meluap yang dipolakan untuknya. Nafsu ini dinyatakan melalui berbagai tema yang dia pilih untuk dipikirkan secara serius. Dia senantiasa merasakan dirinya tertarik pada persoalan manusia, untuk persoalan tersebut dia mengabdikan seluruh hidupnya. Kematian menghalangi dia mempersembahkan karya yang utama tentang antropologi filsafati.

Nafsu adalah musuh bagi sistematika, oleh karena itu Scheler tidak berhasil. Dia juga tidak berusaha membangun sebuah sistem. Pada hakikatnya hidup dan pikirannya yang bergejolak mengalami perubahan besar karena tidak daoat ditempatkan ke dalam batasan tradisional pemikiran filsafat. Scheler di bawah pengaruh fenomenologi.

Etika Scheler

Etika Scheler timbul dari hasrat untuk melanjutkan etika Kant. Scheler memandang etika Kant lebih dari pada etika yang tertinggi yang pernah dihasilkan oleh jenius dalam bidang filsafat. Ia menulis “ Etika Kant lebih dari pada etikanya para filsuf modern yang lain hingga dewasa ini merupakan etika yang paling sempurna yang pernah kita miliki.

Aksiologi Scheler dihadirkan dari keinginan untuk meneruskan dan mengoreksi etikanya Kant. Scheler memulai dengan apriorisme Kant dan menganggap sebagai benar fakta bahwa Kant menolak etika Material yang sebelumnya yang didasarkan pada empirisme dan validitas induktif dan yang mengubah bentuk hidup, kemakmuran, dan sebagainya menjadi nilai material dasar.

Scheler mengakui bahwa Kant menolak semua etika tentang benda dan tujuan. Sekalipun demikian, dia mengacaukan benda dengan nilai. Benda adalah sesuatu yang bernilai; oleh karena itu adalah keliru bahwa menginginkan inti nilai dari benda-benda karena ia terdiri atas segala sesuatu maka dapat dihancurkan oleh kekuatan alam ataupun sejarah dan jika nilai moral kehendak kita tergantung pada benda-benda, maka kehancuran tersebut akan mempengaruhinya.

Nilai  itu berasal dari benda-benda bukannya tidak tergantung pada mereka ketidaktergantungan tersebut memungkinkan dia untuk menyusun sebuah etika aksiologis yang sekaligus material dan apriori. Dalam rangka memberi dasar yang kuat untuk tujuan ini, Scheler menunjukkan bahwa nilai itu tidak tergantung pada benda-benda dan isi tujuan. Hal ini merupakan tugas yang harus dia laksanakan.

Benda , Tujuan, dan Nilai

Scheler membandingkannya dengan warna untuk menunjukkan bahwa di dalam kedua kasus terdapat persoalan tentang kualitas yang keberadaannya tidak tergantung pada pengembangannya masing-masing. Saya dapat berkata tentang merah sebagai kualitas yang murni dalam spektrum tanpa mengalami perlunya untuk mengkonsepsikannya sebagai yang meliputi permukaan yang berbadan, melainkan aganya sebagai quale yang luas. ‘

Menurut Scheler kita tidak memahami misalnya nilai kenikmatan atau estetik melalui induksi yang umum. Dalam kasus tertentu satu objek atau perbuatan tunggal cukup memadai bagi kita untuk menangkap nilai yang terkandung di dalamnya. Sebaliknya kehadiran nilai yang menyertai objek yang bernilai memiliki hakikat baik. Dengan cara ini kita tidak memeras keindahan dari benda yang indah; karena keindahan mendahului bendanya.

Kemudian nilai tidak tergantung pada tujuan; nilai juga tidak dapat berlaku tanpa tujuan; agaknya nilai melekat dalam sasaran dari kecenderungan sebagai dasar karena dasar itulah nilai merupakan dasar bagi sasaran seperti yang akan kita lihat tergantung pada sasaran.

Menurut Scheler empirisme itu tidak keliru sebagaimana yang dipercayai Kant karena kewajiban tidak dapat diturunkan dari pengalaman, namun agaknya karena hakikat nilai tidak dapat diturunkan dari realitas, maka keadilan itu bersifat independen.

Menurut Kant kewajiban, kesadaran, tentang hukum moral mendahului nilai; sebaliknya Scheler berpendapat bahwa nilai itu mendahului kewajiban dan berlaku sebagai dasar bagi hukum moral. Etika Scheler adalah sebuah etika material nilai, tidak empiris melainkan a priori. Seluruh etikanya dengan demikian di dasarkan pada sebuah aksiologi, validitas etikanya tergantung pada ketepatan aksiologinya.