SE Kemenag mengenai peraturan pengeras suara di Masjid menuai kontroversi. Menag pun dituduhnya bukan kaleng-kaleng: antek Amerika, antek Yahudi hingga Menag liberal.
Saya sendiri bingung apa sebenarnya yang diributkan. Padahal jelas saja SE ini layak didukung. Akan tetapi terlepas dari keributan itu barangkali saya akan menduga mungkin saja ada kesalahpahaman dengan cara orang-orang ini membacanya.
Kesalahpahaman itu muncul sebab sebagian orang-orang denial ini terlampau semangat beragama, jadi saat mendengar sekilas kebijakan yang menyentuh wilayah formalisasi ritual agama, dianggapnya Kemenag berusaha mengubah syariat. Padahal ritual agama yang mereka anggap syariat mutlak sekalipun itu jika bermasalah kenapa harus dipertahankan?
Keributan tersebut ada berputar di persoalan mendefinisikan Muslim yang taat adalah dengan cara bagaimana "memanggil" Tuhannya. Ditinjau dari sejarahnya, masalah ini muncul pertama kali ketika dakwah Muhammad di Makkah mulai mendapati persoalan sebab mulai banyaknya umat Islam saat itu. Persoalan tersebut adalah mengenai bagaimana caranya mengumpulkan orang-orang untuk beribadah salat berjamaah?.
Dari persoalan itu, muncullah berbagai usulan dari para sahabat. Usulannya beragam, ada yang mengusulkan memakai asap, (tentu saja zaman itu kembang api barangkali belum ada). Ada pula yang mengusulkan dengan cara menggunakan lonceng seperti cara orang-orang Kristen, atau seperti cara bangsa Yahudi yang memanggil umatnya dengan terompet tanduk binatang.
Kalau saja ada orang Indonesia di sana barangkali akan ada yang mengusulkan pakai kentongan.
Tentu saja Nabi adalah manusia juga yang sadar apa itu legitimasi politik, ia enggan meniru ritual yang dilakukan oleh umat agama lain. Saya membayangkan barangkali jika zaman itu sudah ada gitar akustik bisa saja memanggil orang salat jamaah menggunakan musik akustik indah itu jadi syariat, atau pakai musik bergenre reggae yang bikin nge-fly~.
Walaupun khayalan saya itu tentu saja tidak masuk di akal. Apalagi yang terakhir, orang-orang kafir bakalan ketawa cekikian mendapati umat Islam malah joget-joget reggae alih-alih ibadah dengan khidmat.
Akan tetapi pilihan jatuh kepada ide dengan menunjuk seorang Muslim untuk melakukan ajakan salat dengan suara keras, belakangan cara ini disebut dengan “adzan”.
Seiring waktu “lyrics” baku adzan mulai ditetapkan hingga yang kita kenal sampai sekarang, ketika peradaban Islam mulai meluas, umat Islam makin banyak. Di masa Khalifah Usman Bin Affan adzan yang semula dikumandangkan di Masjid dipandang perlu dikumandangkan di tempat-tempat lain: pusat perbelanjaan seperti pasar tidak luput dari “kebijakan” khalifah. Tujuannya, tentu saja agar umat Islam saat itu ingat waktu salat.
Adzan seiring waktu mengalami banyak transformasi, seiring perkembangan peradaban banyak cara dilakukan agar suara adzan dapat didengar dengan lebih keras. Mulai dari membangun menara berarsitektur rumit sampai menjulang di Masjid.
Hingga pada akhirnya seiring modernisasi peradaban teknologi bernama TOA ditemukan. Di awal abad ke-20 penggunaan pengeras suara ini booming di kalangan umat Islam hingga sekarang adzan dengan pengeras suara ini dipandang sebagian orang sebagai syariat mutlak.
Belakangan, suara adzan di Masjid yang terlampau keras itu bikin jengkel sebagian orang, tentu saja sebabnya beragam dari yang suaranya fals, hingga penambahan-penambahan berlebihan dalam upaya formalisasi tradisi Islam ke dalam speaker Masjid marak terjadi. Sebut saja : tadarusan di bulan ramadhan yang bahkan bisa sampai jam sebelas malam, penambahan salawat sebelum adzan hingga pujian sebelum iqomah.
Perjalanan itulah yang menjadikan agama Islam menjadi agama paling “bising” barangkali dari agama lainnya. Kebisingan ini juga agaknya menjalar kepada cara orang-orang Islam di Indonesia dalam menyikapi kebijakan yang dianggapnya “merusak” syari’at. Maksud saya beberapa kalangan yang menampakkan respon berlebihan terhadap SE Kementerian agama mengenai pengaturan pengeras suara di Masjid.
Hingga muncullah cara berpikir denial, seolah-olah Menag adalah antek Yahudi, Menteri Liberal, hingga dianggapnya menteri yang “gak ada kerjaan”.
Padahal kebijakan Kementerian Agama itu tidak dalam rangka menghapus atau menghilangkan suara adzan di Masjid. Hanya saja ia ditujukan untuk merespons esensi ibadah yang belakangan justru menimbulkan masalah-masalah baru: mengganggu hak-hak dan kebebasan orang lain (untuk istirahat, tanpa diganggu suara sumbang adzan, misalnya).
Gus Dur dalam salah satu kolomnya “Islam Kaset dan Kebisingannya” mengurai dengan baik masalah ini, menurut Gus Dur ajakan salat adalah ajakan yang baik, akan tetapi membangunkan orang yang sedang tidur untuk diajak sembahyang memiliki pengecualian-pengecualian. Hal ini yang kemudian disebut Gus Dur sebagai kewajiban sah dalam agama: ‘illat.
'Illat hanya berlaku bagi mereka yang memang memiliki kewajiban untuk mengingatkan atau menumbuhkan kebiasaan beribadah, semisal seorang suami yang membangunkan istri dan anaknya untuk salat subuh, atau seorang kiai di pesantren yang membangunkan santrinya dalam rangka mengajarkan kebiasaan salat berjemaah.
Akan tetapi illat menurut Gus Dur tidak dapat dipukul rata, ada seorang Jompo yang memerlukan tidur dengan nyenyak, seorang wanita haid yang gugur kewajiban salatnya, atau seorang anak kecil yang belum akil baligh, yang tentu saja jika kewajiban ibadah mereka gugur untuk apa diganggu tidurnya?
Apapun itu, Islam ini akan terus menjadi agama bising, jika ia tetap stagnan kepada teks syariat yang kaku atau justru sengaja dibuat kaku (?) oleh mereka sebagian umatnya yang juga sering berlaku “bising”. Padahal formalisasi syari’at nyatanya tidak sekaku yang dibayangkan, ia berjalan secara gradual dan bertahap mengikuti setiap nafas zamannya.
Menurut saya, adzan dengan TOA itu hanya kebetulan saja sebab cara yang diterima ketika usul saling usul di zaman Nabi adalah mengeraskan suara ajakan salat. Kebetulan cara yang barangkali lebih “ramah” seperti bunyi lonceng dan terompet sudah dipakai agama lain.
Di peradaban manapun tampil “beda” itu selalu jadi alat “marketing”, sama dengan Islam yang saat itu berusaha tampil “beda” dari agama pendahulunya. Sebab itulah kebijakan ini tidak perlu di dramatisir berlebihan, formalisasi adzan itu sendiri baru terjadi di masa Khalifah. Apalagi penggunaan teknologi pengeras suara seperti TOA itu bukankah terjadi belakangan sekali?
Kebijakan Kementerian Agama, layak untuk didukung setidaknya ia merupakan awal paling rasional untuk meninjau kembali persoalan adzan dan pengeras suara yang kerap mengganggu kebebasan dan hak-hak orang lain. Jika formalisasi adzan saja berjalan dengan begitu dinamis, lantas apa alasan kita masih saja ribut soal SE Kemenag ini?
Agama harus dikembalikan ke asalnya sebagai ruang kontemplasi seorang hamba dan Tuhannya, agama apapun itu bukan transaksi dalam pasar tradisional yang penuh dengan kebisingan.
Memanggil Tuhan sekalipun tidak perlu rasanya mengganggu orang lain. Dimana kuasa Tuhan jika memanggilnya saja harus pakai TOA?