Satu bulan lalu saya berkesempatan hadir menjadi salah satu di antara 30 orang mahasiswa di Paris untuk berdiskusi tentang Global Health: Systematics Design for the Post-Oil Era.
Berbagai praktisi hadir dalam forum tersebut, mulai dari pakar desainer, pebisnis berbasis green environment hingga ahli filsafat. Pembahasannya seputar soal climate change dan desain ekonomi yang ramah terhadap lingkungan.
Salah satu pertanyaannya adalah bagaimana mungkin kita menghindari bahan bakar fosil? Sementara seluruh kebutuhan kita, mulai dari HP yang kita pegang sampai pakaian sehari-hari produksinya juga memerlukan bahan bakar dari fosil.
Manusia ibarat menggali kubur kematiannya sendiri sebagai konsekuensi belum ditemukannya energi terbarukan yang diproduksi dalam jumlah besar dan harga terjangkau.
Salah satu pembicara yang juga seorang ahli filsafat dalam forum tersebut menyampaikan perlunya redirection ecologis. Atau memberi arah baru untuk ekologis kita.
Salah satunya dimulai dari rumah tangga, dengan mulai mengurangi konsumsi penggunaan bahan bakar yang berasal dari fosil karena menyebabkan emisi karbon dioksida (CO2 ).
Kemudian pertanyaan yang ada di benak saya saat itu adalah bagaimana dengan masa depan ekologis Indonesia?
Apa kita benar-benar merdeka?
Negara Indonesia telah merdeka selama 77 tahun. Pada momentum 17 Agustus ini, berbagai lomba yang meningkatkan persaudaraan dan jiwa nasionalisme diselenggarakan. Dalam konteks ekologis apa kita benar-benar merdeka?
Sudah buka rahasia kalau Indonesia memiliki kekayaan alam yang melimpah dan tanah yang subur. Namun kesuburan tanah juga memberikan celah bagi anak bangsa untuk melakukan pengrusakan.
Bahkan beberapa riset internasional menyebutkan bahwa antara tahun 2001-2016 negeri kita ini adalah negeri yang paling tinggi ratingnya dalam kehilangan hutan. Perkebunan urutan pertama penyumbang deforestasi di Indonesia.
Jadi dalam konteks ini kemerdekaan yang kita capai belum menyentuh sepenuhnya terhadap ekologis. Karena kita masih punya pekerjaan rumah cukup besar dalam rangka menjaga keseimbangan alam.
Alam Indonesia yang subur sering salah urus. Deforestasi besar-besaran beberapa tahun terakhir di Indonesia mengancam kelangsungan kehidupan ummat manusia secara global. Pun, demikian dalam soal emisi karbon dioksida.
Dalam ranah global, berdasarkan data dari globalcarbonatlas.org, Indonesia juga menempati urutan ke 10 sebagai negara penyumbang emisi CO2. Sedangkan China adalah penyumbang terbesar emisi CO2.
Peran Pendidikan
Pendidikan adalah masih saya yakini dapat menyelamatkan ummat manusia dari kematian dan bencana alam karena ulah sendiri di masa depan. Dengan kurikulum merdeka belajar yang diusung oleh kementerian pendidikan, kesadaran akan kemerdekaan dari segala perilaku yang merusak terhadap alam perlu ditanamkan sejak dini terhadap siswa.
Tidak perlu kurikulum baru ataupun mata pelajaran khusus untuk membangun kembali hubungan harmonis manusia dengan alam. Kesadaran tersebut dapat ditumbuhkan dengan mata pelajaran terkait di kelas.
Penanaman kesadaran kritis bagi siswa terkait perubahan iklim akan mendorong mereka untuk peduli terhadap soal masa depan alam.
Saya jadi ingat bagaimana kepedulian saya terhadap lingkungan terbangun ketika saya berada di bangku kelas 5 sekolah dasar. Satu hal menarik, guru bercerita tentang pentingnya melindungi alam dengan tumbuhan. Sepulan sekolah saya tergerak untuk menanam bunga-bunga di depan rumah.
Yang ada di benak saya saat itu, tumbuhan akan menghasilkan oksigen (O2) yang dibutuhkan oleh manusia. Setiap hari saya mencari bunga baru dan menyiram bunga di halaman rumah.
Bahkan, tidak lama kemudian teman-teman saya saat itu juga tergerak untuk berlomba-lomba menanam bunga di halaman rumah mereka masing-masing. Meskipun hingga kini, saya tidak mengetahui apa motif mereka hanya sekedar keindahan atau ada imajinasi soal climate change.
Pentingnya Ecological beliefs
Selain itu, hal yang perlu ditumbuhkan pada diri siswa dan generasi muda khususnya adalah ecological beliefs, kepercayaan akan kemampuan diri sendiri bahwa ia bisa bertindak untuk soal lingkungan. Seperti keyakinan bahwa langkah terkecil seperti mencintai alam dan suka menanam pohon.
Tidak hanya itu pula, tetapi dengan ecological beliefs seseorang bisa meyakini bahwa emisi karbon dapat dikurangi. Keyakinan bahwa bencana kekeringan juga dapat di atasi dengan menjaga hubungan harmonis dengan alam.
Mengapa keyakinan akan masa depan alam kita penting? Karena banyak orang dewasa yang tidak peduli terhadap kerusakan lingkungan. Bahkan tidak jarang sebagian orang pesimis dan menganggap upaya mencapai zero emission CO2 dan bebas dari fossil fuels atau bahan bakar fosil adalah sia-sia.
Kembali lagi pada Indonesia, mungkin karena Indonesia merdeka sudah 77 tahun dan negara sudah mengalami perkembangan cepat, entah siapa yang harus dikutuk. Mengapa banyak anak-anak di banyak pedesaan, tidak hanya di kota untuk berangkat sekolah sudah dimanja oleh para orang tua dengan diantar pakai motor.
Sejak kecil mereka sudah terbiasa diajarkan mengkonsumsi bahan bakar dan menghasilkan emisi saat berangkat sekolah. Kecuali di daerah tertentu yang memang jarak sekolah dan rumah sangat jauh, motor tidak bisa dihindari.
Setelah 77 tahun, benarkah bangsa kita benar-benar merdeka? Sementara tanpa disadari setiap hari kita membuat jalan menuju kepunahan alam. Dengan memproduksi emisi dan alam kita semakin rusak.
Untuk mengakhiri refleksi singkat ini, saya ingin katakan dalam rangka menikmati hari kemerdekaan Indonesia yang ke 77 ini, upaya membangun kesadaran dan menumbuhkan ecological beliefs perlu di lakukan.
Kematian atau kiamat adalah konsekuensi logis dari konsumsi kita terhadap bahan bakar fossil yang tidak pernah berujung. Tanpa upaya mengurangi penggunaan bahan bakar fosil dan tanpa peduli terhadap kerusakan lingkungan kita berkontribusi terhadap kepunahan dań diamat kita sendiri.