"Tough times create strong man, strong man create easy times, easy times create weak man, weak man create tough times"
Ketika ada seseorang bertanya tentang berapa persentase informasi yang kalian inginkan, kemudian kalian bandingkan dengan yang kalian dapatkan dari internet ataupun bangku pembelajaran, kalian menjawab berapa? 50:50? Atau lainnya? Coba renungkan.
Bayangkan lagi jika setingkat startup-startup besar dewasa ini yang beredar dan masuk dalam sendi kehidupan kita, ternyata para team worknya bekerja tidak sesuai dengan rumpun lulusan ataupun mohon maaf (bukan lulusan bangku perkuliahan).
Sebagai salah seorang yang sedang menempuh jenjang strata II dalam bidang manajemen pendidikan, timbul sebuah narasi perenungan akan apa salahnya dengan mentalitas formal education kita dewasa ini?
Berbicara tentang formal education, besar kemungkinan kita tak akan asing dengan apa yang dinamakan dengan kurikulum pendidikan. Kurikulum di sini yakni ialah perangkat mata pelajaran dan program pendidikan yang diberikan oleh suatu lembaga penyelenggara pendidikan yang berisi rancangan pelajaran yang akan diberikan kepada peserta didik dalam satu periode jenjang pendidikan. Lantas jika kembali pada pembahasan awal tentang persentase? Jika kiranya lebih rendah dari internet, bagaimana kiranya?
Dunia digital, mendistribusikan segala hal tentang bentuk informasi yang kita butuhkan hanya dengan membuka gadget yang kebanyakan orang dewasa ini memilikinya. Perbedaannya yakni kemauan seseorang dalam mengakses hal-hal tersebut.
Sampai salah satu dosen saya berkata "where there is a will there is a way, so you must have a strong will". Sederhananya di mana ada kemauan di situ pasti ada jalan.
Ketika bertanya dengan diri sendiri, secara tidak langsung kurikulum yang diberikan dalam formal education hanya sekedar program dan perangkat yang kita ikuti mau tidak mau. Kalau tidak, jaminannya mungkin ketidaklulusan dalam salah satu mata pendidikan tersebut.
Tak bisa terelakkan jika mentalitas ini mengkonstruksi kita agar sekedar mengikuti apa yang telah dituangkan dalam sebuah kurikulum tersebut. Sehingga terkadang, kita memikirkan untuk enggan masuk, malas ataupun yang lain dalam satu kurikulum mata pelajaran tersebut.
Sedangkan, sebagaimana manusia pada umumnya. Kita hanya menginginkan sebuah narasi informasi yang kita butuhkan, adanya IoT Internet of Things ini ialah gawai lembut yang menjadi angin segar atas keterbutuhan apa yang kita inginkan.
Lantas, bagaimana jika kebanyakan hal-hal yang kita butuhkan tidak ter fasilitasi dalam sebuah lembaga pendidikan? Atau kita bilang saja jika lembaga pendidikan tidak dibutuhkan lagi, tentu hal ini jelas tidak bisa dibenarkan.
Privilege adalah sebuah frasa yang dewasa ini muncul bilamana terdapat seorang yang sukses dalam sebuah karirnya. Muncul dalam narasi besar penulis manakala terpikir akan mungkin, orang tua kita hanya dengan masuk dalam sebuah lembaga pendidikanlah langkah jitu dalam menuai informasi, lantaran dulu belum mengenal atas apa yang namanya internet.
Tak salah jika, seorang founder perusahaan hari-hari ini ternyata bukan seorang kalangan akademisi yang lulus dengan predikat cumlaude meraih berbagai macam kesuksesan. Sudah berapa banyak orang-orang sukses berlatar belakang tidak duduk dalam sebuah lembaga pendidikan?
Lulusan menurut penulis adalah sekedar penguat tentang relasi-relasi yang akan diteken oleh orang yang bersangkutan, hal ini untuk membuktikan kredibilitas seorang tersebut. Terlebih bilamana lembaga pendidikan tersebut akreditasi dan prestasi nya gemilang.
Hal ini tentu berbeda dewasa ini, privilege yang ada pada orang tua kita tak lagi sama dengan young generation sekarang. Kemudahan dalam mengakses informasi sangat mudah, tak ada lagi tantangan yang ada pada orang tua kita dalam menempuh jenjang pendidikan yang hari ini kita rasakan. Misal sulitnya untuk menjadi siswa/mahasiswa dalam bangku pendidikan.
Generasi hari ini cenderung skeptis dalam mendapatkan pazel-pazel karir mereka yang kita tau lantaran jumlah penduduk yang besar kurang berimbang dengan jumlah lapangan pekerjaan. Sehingga menggaung terma pemerintah dalam mendukung para muda-mudi untuk membuat sebuah startup-startup yang nantinya jika berhasil dapat memberdayakan banyak pekerja.
Mentalitas self education ini tentu akan salah kaprah jika seorang tersebut secara oportunis mengambil jalan tidak masuk dalam bangku pendidikan tetapi dalam kegiatan keseharian mereka tidak gunakan untuk hal-hal yang kurang manfaat. Privilege kita hari ini boleh dibilang yakni internet.
Penulis tak heran jika remaja berumur 15 tahun sanggup meretas program NASA hanya belajar via internet seperti orang pada umumnya dalam mencari informasi yang dibutuhkan. Perbedaannya yakni pada kualitas informasi yang kita inginkan.
Tetapi, penulis sedikit ragu jika kemudahan akses informasi ini berdampak pada banyaknya orang-orang lemah yang enggan untuk menantang segala tantangan yang ada. Sehingga tidak mustahil jika orang-orang lemah kembali pada lingkaran masa yang sulit.
Mungkin hipotesa ini salah, tetapi tak ada salahnya jika kita diskusikan dalam ruang seperti ini. Itulah pentingnya kita mengkonstruksi mentalitas tambahan atas apa yang kita dapatkan dalam formal education. Sehingga generasi hari ini tidak terjerembab pada lubang kemalasan dalam mendayung karir mereka.