Antartika merupakan benua yang berada paling selatan di bumi dan seluruh wilayahnya ditutupi oleh es. Kemudian, pada tahun 1820 terdapat klaim atas penemuan benua Antartika yang dilakukan oleh tiga penjelajah. Ekspedisi pertama dilakukan oleh orang Rusia yang bernama Fabian Gottlieb von Bellingshausen dan Mikhail Lazarev.
Ekspedisi berikutnya dilakukan oleh orang Inggris, yakni Edward Bransfield dan ekspedisi terakhir dilakukan oleh Nathaniel Palmer yang merupakan seorang pemburu asal Amerika. Ketiga ekspedisi tersebut kemudian mendorong terjadinya ekspedisi lain serta adanya penemuan kutub selatan yang dilakukan oleh Roald Amundsen.
Pada tahun 1950 kembali terjadi klaim atas wilayah teritorial Antartika oleh tujuh negara, antara lain Argentina, Australia, Chili, Prancis, Selandia Baru, Norwegia, dan Inggris. Namun, Rusia yang saat itu bernama Uni Soviet tidak turut menjatuhkan klaim atas wilayah tersebut.
Selanjutnya, pembentukan The Antarctic Treaty atau Traktat Antartika disepakati oleh 12 negara, salah satunya Rusia pada The International Geophysical Year of 1957-1598 (IGY). Dua belas negara yang tergabung dalam pertemuan tersebut sepakat bahwa perbedaan pandangan politik dan hukum tidak akan mengusik tujuan bersama mengenai penelitian dan penemuan ilmiah yang ada di Antartika.
Penandatanganan Traktat Antartika dilaksanakan di Washington D.C. pada tanggal 1 Desember 1959 dan mulai berjalan pada 23 Juni 1961. Traktat Antartika mengatur tentang kerja sama, penelitian ilmiah, pelarangan kegiatan militer, nuklir, pembuangan limbah radioaktif di kontinen, serta larangan klaim atas wilayah Antartika.
Namun demikian, tujuan traktat untuk mengupayakan transparansi di kontinen hanyalah wacana belaka sebab Rusia memandang Antartika sebagai sebuah instrumen persaingan geo-politik, geo-ekonomi, geo-ilmiah, dan sarana militer. Tidak dapat dipungkiri bahwa Antartika merepresentasikan kepentingan nasional Rusia.
Seiring bertambahnya aktor yang memiliki kepentingan di Antartika adalah sebab mengapa Rusia mengatakan bahwa ada persaingan geo-politik di Antartika, salah satunya yaitu kehadiran Tiongkok dalam Antarctic Treaty System (ATS)
Dalam ATS, Rusia memposisikan dirinya sebagai penjaga regulasi bagi marine protected areas (MPA) atau kawasan laut dilindungi agar terhindar dari klaim negara-negara lain dan merusak tujuan konservasi resmi.
Namun, aksi Rusia tersebut justru menggambarkan ketakutan Rusia akan negara lainnya yang memperkuat posisinya di kawasan Antartika. Maka dari itu, Rusia memperkuat kehadirannya dalam aktivitas maritim Rusia di benua Antartika, kerap kali untuk kepentingan militer dan intelijen.
Berikutnya, Rusia menjadikan aktivitas penangkapan ikan sebagai dalih untuk meredakan kekhawatiran Rusia akan klaim teritorial. Rusia berpedoman jika Rusia mempunyai akses sedikit terhadap area penangkapan ikan, maka negara lainnya juga harus merasakannya.
Sesuai substansi ATS, Antartika merupakan benua yang didemiliterisasi dan bebas nuklir secara resmi di mana aktivitas militer dibatasi secara ketat. Oleh karena itu, Rusia memiliki kekhawatiran terhadap potensi kegiatan militernya.
Kekhawatiran tersebut berkaitan dengan dua bidang utama, yaitu: penelitian ruang angkasa berbasis daratan dan stasiun Antartika; serta ekspedisi yang memuat tujuan militer dan intelijen.
Penelitian ruang angkasa yang ada di benua Antartika sering kali dicap sebagai bentuk aktivitas militer terselubung, khususnya untuk keperluan intelligence, surveillance and reconnaissance (ISR) serta telekomunikasi.
Terdapat beberapa alasan mengapa Rusia begitu membentengi wilayah kedaulatan di Antartika. Pertama, Antartika mempunyai potensi ekonomi yang besar. Kedua, Antartika merupakan area penangkapan ikan bagi Rusia terutama ikan kril.
Ketiga, Antartika dapat menjadi perantara bagi Rusia untuk menunjukkan kekuatan dan dominasinya melalui penelitian dan penemuan saintifik. Keempat, Rusia berupaya melindungi kepentingan nasionalnya dalam kawasan tersebut.
Di samping itu, Rusia terlibat dalam relasi intens dengan Tiongkok pada Traktat Antartika. Kedua negara tersebut memiliki misi yang sama dalam menentang pembentukan kawasan laut dilindungi. Salah satu aksi larangan tersebut ditunjukkan saat Laut Ross akan ditetapkan sebagai MPA.
Ada beberapa konsekuensi dari proses militerisasi kawasan Antartika oleh Rusia, antara lain: Pertama, negara-negara yang turut menjatuhkan klaim akan merasakan ketidakadilan. Kedua, keamanan dalam kawasan tersebut akan terancam.
Lalu, bagaimana nasib keanggotaan Rusia setelah menginvasi Ukraina?
Pertemuan tahunan yang diselenggarakan di Berlin pada 22 Mei sampai dengan 3 Juni 2022 dihadiri oleh Rusia dan 53 negara lainnya. Presensi Rusia pada pertemuan tersebut mengundang respon dingin akibat invasi Rusia ke Ukraina yang telah berlangsung selama 3 bulan pada saat itu.
Keresahan akibat perang Rusia-Ukraina ditunjukkan oleh seorang pejabat senior Jerman. Dalam pertemuan tersebut ia berkata, “Tidak mudah untuk berkumpul dalam pertemuan ini sementara satu pihak konsultatif memulai perang dengan pihak konsultatif lainnya”.
Invasi Rusia ke Ukraina memunculkan ketegangan antara Rusia dan negara-negara Barat. Geopolitisasi dalam ATS membentuk benang merah di mana kekuatan besar yang ada di kawasan Antartika membingkai dan mendiskusikan isu yang ada.
Peningkatan dominasi China dalam ATS memicu persaingan militer secara langsung yang berdampak pada kepentingan keamanan Amerika Serikat, NATO, dan negara-negara Barat lainnya. Isu yang ada di Antartika memacu Rusia untuk lebih agresif dan termiliterisasi untuk menjadikan kepentingan nasional Rusia sebagai prioritas.