Sajadah Pemukul
Lengkungnya bukan bulan sabit yang lencir lagi
Cekungnya tiada menjorok lagi ke kiblat seblat
Dinginnya tak menembus misbah sang lentera
Sajadah-sajadah sudah jadi pemukul
Bacaan-bacaan suci tertinggal di mikrofon
Hinggar-bingarnya berisik saja di telinga
Sang Imam komat-komit seribu tajwid
Tersisa basah ludah, bau busuk ujaran kebencian
Rukuk-sujud bak senam si buyung yang ceria
Akhir salam berseloroh,”awas kamu tak dukung aku,”
Wirid-wirid tersuar untuk satu kelakar saja
Kapan pundi-pundiku bertambah?
Akhir munajat bergumam, “imam juga serigala.”
Tuntas sudah ibadah-ibadahnya
Yang tiap hari itu tiada berbeda
Kadang pasang kuda-kuda, sambil berseru,”takbir!”
Koleksi kafirnya banyak, memancar dari ujung telunjuknya
Hari ini sudah sepuluh yang tertuduh
Besok seratus, takbir dan takfir
Makhluk apa ini wahai bulu kuduk?
Kau terlalu sering berdiri seperti tegang onani
Dikocok oleh yang bersurban-surban itu
Demi satu kumpulan suara
“Dukung aku!”
Setali tiga uang wahai kau mimbar yang kokoh
Setia menjunjung pengkhotbah akhir zaman edan
Yang katanya saleh, “salehbritis?”
Yang menghibur di siang Jumat keramat
Tal lupa meghebat dengan serapah kesumat
Dua Lembar Jenggot
Mihrab menggigil sendirian hampir putus asa
Takut dengan sang Imam yang berjenggot selembar
Wajahnya seram seolah panglima Badar
Membaca ayat-ayat panjang bak lomba tartil
Badannya bergoyang-goyang menarik nafas
Demi bacaan panjang yang meradang menang
Selembar jenggot itu melambai tersapu deru nafasnya
Dalam sepuluh menit basah oleh keringat
Seolah sudah surga dalam genggamannya
Dibagi-baginya dengan kelompoknya bak kue lopis
Selembar lagi jenggot melambai
Dalam setahun masih sebegitu saja
Sama dengan amalannya yang sok tahu
Berdebat dan berseteru itu-itu saja
Dasar jenggot dua lembar
Wahai jenggot, dengarlah tentang Nibras Sekufu
tentang Rafiqah, yang selasih hitam putih
Dan yang hati sepanas marabunta
Nimrah cinta itu adalah maqom ul 'ala
Sepenggal nadirah, seciprat nisrinah asmara
Wahai jenggot, sudahlah jangan jadi muktah saudah
Si noktah hitam hati, penuh lampah serapah
Kinsman Zechariah
Tersebutlah oleh Syeh Nawawi Al Bantani
Dalam Marah Labid yang kupas pinta
Tentang Zechariah dan keturunannya
Khawatir diri akan tua rentanya
Melemah raga, lelah ibadah
Jalannya adalah mihrab yang langka
Itu adalah al-Hurba yang terang
Akan sebuah lubang yang tidak tembus
Seperti cekungan kuil Mithraistik
Maria-Maryam yang sama saja
Yang penting setia sabar beribadah cinta
Tidak seperti aku dan kau wahai yang gulana
Yang bangga dengan pengalaman religius
Dalam emosi yang dibuat-buat
Serta hiruk-pikuk sensual
Nabawi juga sama, lima mihrab untuk bersuci
Mihrab Utsmani, mihrab Sulaiman dan mihrab Tahajud
Pun itu mihrab Fatimah dan mihrab Tarawih
Dan satu lagi mihrab hakiki, relung hati
Kuseret saja ke al Aqsa yang kadim itu
Di ruang bawah tanah, turuni tangga yang terapit
Beku dinding-dinding batu
Tamat bercerita tentang Sidratul Muntaha
Empat puluh lima pilar raksasa yang marmer itu
Kuelus pelan dengan gemulai permohonan
Ia tetap saja membaris simetris, tak bergeming
Membentuk tujuh lorong yang tak pernah serong
Akhirnya sunyi di bawah naungan atap tinggi
Dan langit-langit dari kayu berukir rumit itu
Sampai merangkak di karpet lembut merah
Mencari yang namanya lubang ditembus surya
Yang berjumlah 121 jendela-jendela kaca itu
Yang terpasang dari Abbsyiah dan Fatimiah
Kemegahan yang tak melupakan darah
Kemegahan yang butuh nyawa-nyawa
Hingga tak istimewa lagi
Hampir saja tergagap dengan kubah timah berwarna kelabu
Seolah langit-langit melengkung berhias kaligrafi
Juga jendela-jendela bermotif floral itu
Yang berwarna hijau tua, teramat alim
Akupun bertanya mana mihrab Zecharia?
Di sisi timur, katanya pelan, wangi saja
Mana Mihrab Maryam?
Di sisi tenggara, lagi-lagi lembut, mengunjut rasa
Siapa ini kisanak yang menjawab?
Aku, Zecharia penjaga Baitul Maqdis
Yang dulu merawat Maryam muda
Waktunya habis untuk khusuk sembahyang
Sama seperti orang itu, al-Ghazali
Yang pernah bingung di Baghdad
Ia tinggalkan Baghdad yang jenuh bulu-bulu domba
Berkelana menemukan makna kesejatian dalam hidup
Dari yang empat, itu adalah Yerusalem
Dibimbingnya aku ke al Dhahabi yang gerbang emas itu
Menuju aroma Yerusalem Kuno yang gurih kemenyan
Itu dia si Ghazali sedang duduk termenung
Di atas tembok gerbang emas itu
Hingga cemerlang dalam pemikirannya, al-Ihya’
Satu lagi menggelantung di pintu taubat yang tinggi itu
Dia percaya gerbang emas ini, yang bersinar ini, yang dijaga ini
Kelak sang Savior yang tertulis di tebal-tebal itu
Muncul turun kembali ke bumi, untuk menghabisi?