Saya bukanlah Ponakan pencatat sejarah Paman. Tetapi rekam digital tidak bisa dibungkam seperti halnya Paman membungkam aktivis Mahasiswa, kemudian menculik dan menganiaya mereka pada era kepresidanan Soeharto di 1998 silam. 

Lagi pula saya rasa, masyarakat mulai menyadari bahwa sekarang ini sudah bukan "Orde" milik Paman lagi. 

Jadi, istirahat lah Paman, sebelum kopi yang saya seduh untuk Paman terlanjur dingin. 

Tertanda, Ponakan Pejabat Negara.

***

Seperti janji saya melalui sebuah postingan di akun instagram saya @xan_anggun , bahwa dalam penyampaian alasan mengenai tidak layaknya seorang Prabowo Subianto menduduki bangku kepresidenan RI akan merujuk pada salah satu karya Bj. Habibie yang bertajuk ; 

Decisive Moments Indonesia's Long Road to Democracy, maka hal tersebut pula lah yang akan menjadi pembuka untuk tulisan saya kali ini. 

19 Mei 1998 tercatat sebagai aksi demo terbesar dan paling mematikan di sepanjang sejarah Indonesia merdeka. Banyak sekali percik-percik berita bermunculan mengenai Lembar Hitam 1998 yang "Menghilangkan" sejumlah aktivis Mahasiswa pada aksi demo berisikan tuntutan lengsernya Soeharto dari bangku kepresidenan RI.

Disebut-sebut bahwa kala itu Prabowo yang merupakan Komandan Jendral Kopassus telah bertindak di luar batas, bersama Tim Mawarnya berkedok ingin mengamankan aksi demo. 

Namun yang terjadi justru hilangnya sejumlah aktivis Mahasiswa dan tidak sedikit juga dari mereka yang kemudian ditemukan dalam keadaan tewas. Banyak dari keluarga korban yang menuntut keadilan atas peristiwa tersebut. 

Bahkan pada tahun 2019, kemenangan Presiden Jokowi untuk yang ke-dua kalinya pun digelar halal bihalal yang menumpahkan kembali tangisan keluarga korban seolah menolak lupa dan masih menuntut keadilan agar Presiden Jokowi bersedia memenuhi janji-janji Presiden terdahulu untuk mengusut tuntas tragedi itu. 

Apakah hal tersebut yang menjadi salah satu alasan kenapa Presiden Jokowi masih dimenangkan oleh Rakyat pada Pilpres 2019? Lalu dengan diangkatnya Prabowo sebagai Mentri Pertahanan merupakan jawaban bahwa Presiden Jokowi telah lupa akan permintaan dari keluarga korban beberapa tahun lalu? 

***

Baru-baru ini Partai Gerindra telah mengeluarkan statement bahwa ; Satu-satunya calon Presiden yang akan mereka usung pada Pilpres 2024 adalah sang Ketua Partai, Prabowo Subianto.

Turut viral juga momen "Safari Politik" Prabowo Subianto dan Puan Maharani yang digadang-gadang akan menjadi pasangan duet capres dan cawapres. 

Untuk itu, saya merasa perlu menginformasikan kembali kepada Masyarakat Indonesia terutama para pembaca saya. Dan dalam tulisan ini juga saya menambahkan hal-hal yang barangkali belum sempat diwartakan oleh para Jurnalis sebelumnya. 


Pertama, Prabowo dalam Buku Bj. Habibie.

Melalui buku bertajuk "Decisive Moments Indonesia's Long Road to Democracy" saya ingin menyampaikan sebuah point yang mengarah pada keterlibatan Prabowo selaku "Pemimpin Tim Mawar" dalam tragedi tewasnya aktivis Mahasiswa yang saya rangkum sebagai berikut ; 

Dua hari setelah dilaksanakannya demo besar-besaran Mahasiswa, tepatnya pada tanggal 21 Mei 1998, Presiden Soeharto menyatakan mundur dari kepresidenan RI. 

Bersamaan dengan itu menjabatlah Presiden Habibie sebagai orang nomor 1 di negeri ini. Dari sinilah Presiden Habibie mulai memecahkan "Misteri" tersebut. 

Awalnya Wiranto yang menjabat sebagai Menhankam (Dibaca : Mentri Pertahanan dan Keamanan), sedang saat itu Prabowo sendiri menjabat sebagai Pangkostrad (Dibaca : Panglima Komando Strategi Angkatan Darat).

Keduanya telah dimandatkan untuk saling bekerja sama, dimana Menhankam bertugas melindungi dari dalam Kota Jakarta, sedang Kostrad bertugas melindungi dari luar Kota Jakarta mengingat itu adalah demo terbesar dalam sepanjang sejarah, sehingga aktivis yang berdatangan tidak hanya dari luar Provinsi namun juga dari luar Pulau Jawa. 

Kemudian Wiranto melaporkan bahwa Kostrad telah bergerak masuk ke dalam Kota di bawah pimpinan Prabowo tanpa berkomunikasi dulu dengan Wiranto. Dari sanalah muncul kecurigaan Bj. Habibie.

Setelah tersebar luas berita sejumlah aktivis Mahasiswa menghilang dan bahkan menjadi korban jiwa, Prabowo pun dimintai keterangan lalu di hadapan 7 orang Perwira, Prabowo memang mengakui tindakannya tersebut dan mengatakan bahwa dirinya mengikuti perintah dari "Atas" (Dibaca : Presiden Soeharto).

Sehingga dalam beberapa waktu Presiden Habibie menjabat, Prabowo pun dipecat sebagai Perwira TNI. 


Kedua, Prabowo dalam National Security Agency Milik Amerika Serikat.

Pasca dipecatnya Prabowo Subianto dari Perwira TNI kala itu, sebuah lembaga arsip keamanan nasional, NSA yang berlokasi di Universitas George Washington merekap tindakan Prabowo sebagai kejahatan kemanusiaan dan pelanggaran hak asasi, pembungkaman aktivis Mahasiswa, penculikan, penganiayaan, bahkan pembunuhan lantaran Mahasiswa terlalu vokal menyuarakan lengsernya Presiden Soeharto yang saat itu merupakan Mertua dari Prabowo, kemudian direkap dalam 34 dokumen. 

Itu jugalah yang menjadi salah satu alasan kenapa Prabowo sempat di blacklist oleh Pemerintahan Amerika, dan tidak boleh menginjakkan kaki di Negri Paman Sam tersebut. 


Ketiga, Prabowo dalam Surat Kritisi SBY. 

Berbicara mengenai Surat kritisi Presiden SBY, maka kita juga akan berbicara mengenai Kampanye Capres Prabowo-Sandiaga pada tanggal 7 April 2019 di Gelora Bung Karno.

Kampanye "Low Quality" yang dianggap tidak mencerminkan nasionalisme yang inklusif, terlalu serat dengan politik identitas sehingga justru dapat memunculkan perpecahan. 

Dalam hal ini saya setuju dengan apa yang dikritik oleh Presiden SBY. Untuk itu saya akan menyampaikan sudut pandang saya pribadi berdasarkan kampanye 7 April 2019 yang dihadiri lebih dari 1 Juta masyarakat Indonesia, katanya. 


Keempat, Prabowo dalam Jurnal Ponakan Pejabat Negara.

Another level of Sarcasm!  Itu adalah kalimat paling tepat untuk mencerminkan kampanye yang benar-benar sampah. Dan kalimat itu juga yang pada akhirnya saya pilih untuk menjadi judul tulisan saya kali ini. 

Dalam hal ini saya terfokus pada pemilihan diksi di mana semula dengan naifnya saya berprasangka,

"Barangkali saya yang tidak terbiasa dengan suasana kampanye."

"Mungkin memang seperti itulah yang dinamakan dengan kampanye."

"Apa iya kampanye itu adalah suatu program yang bisa dijalankan dengan ucapan sebebas-bebasnya seperti yang dilakukan Prabowo?"

Akhirnya saya pun mengumpulkan beberapa referensi "Kode etik" dalam berkampanye dan ya! Kampanye seperti yang dilakukan Prabowo, yang mengusik rasa nyaman indera pendengaran saya, itu adalah kampanye yang tidak dibenarkan. 

Tidak salah jika satu hari setelah kampanye tersebut tepatnya pada tanggal 8 April 2019, SBY selaku Ketua Partai Demokrat langsung melayangkan surat kritikan untuk Prabowo berikut Partainya. 

Dalam sudut pandang saya, itu bukanlah kampanye yang sehat, tidak informatif, tidak edukatif, tidak ada keunggulan mereka yang disampaikan, tanpa program, melainkan hanya mencari-cari kesalahan pihak oposisi (Dibaca : Jokowi-Ma'ruf) dengan menggunakan kalimat-kalimat sarkas yang mengandung kebencian. 

Dan melalui tulisan ini saya ingin mengajak para pembaca saya agar lebih berhati-hati lagi dalam mempertimbangkan calon Pemimpin kita ke depannya. 

Lalu bagaimana jika dulu sudah terlanjur memilih Prabowo? Barangkali dulu kita masih belum mendapat informasi seperti sekarang. Karena sekarang sudah mendapat informasinya, mari menjadi pembaca dan rakyat yang bijak!


;-)