Anies Baswedan dan Partai Nasdem adalah pasangan capres dan parpol pengusung yang mendeklarasikan diri pertama kali. Namun, justru langkah taktis yang disepakati oleh Anies dan Nasdem dapat dilihat sebagai sebuah blunder bagi keduanya. Simbiosis mutualisme dalam politik belum tentu lahir dari berjodohnya Anies dan Nasdem.
Anies resmi dideklarasikan sebagai capres yang diusung Nasdem pada 3 Oktober 2022. Semenjak itu, Anies dan Nasdem sudah melakukan safari politik ke berbagai daerah di Indonesia. Selain itu, dalam survei elektabilitas capres 2024, nama Anies selalu berada di urutan 3 teratas.
Kombinasi antara Nasdem yang “mencuri” start dan konsistennya angka elektabilitas Anies seolah menjadi kombinasi yang ideal. Namun, justru ini dapat menjadi blunder politik bagi keduanya apabila tidak jeli dan konsisten yang berpotensi berujung pada “habis bensin” yang terlalu cepat sebelum pertarungan 2024.
Pada pemilihan umum 2019 lalu, Nasdem menduduki posisi ke-4 dalam perolehan suara dengan 9,05% suara sekaligus mengamankan 59 kursi di DPR RI. Angka yang cukup tinggi untuk Nasdem, mengingat usia partainya yang belum begitu “dewasa”. Selain di parlemen, Nasdem juga memiliki 3 kader di kabinet Indonesia Maju, yaitu Sjahrul Yasin Limpo (Mentan), Johny G Plate (Menkominfo), dan Siti Nurbaya Bakar (MenLHK).
Dengan komposisi kader yang tersebar di tingkat nasional tersebut, modal politik Nasdem cukup menjanjikan. Namun, Nasdem belum memenuhi presidential threshold untuk dapat mengusung capres sendirian. Nasdem perlu berkoalisi. Di sinilah letak potensi blunder Nasdem.
Potensi blunder tersebut diperkuat dengan wacana reshuffle kabinet yang menyasar 2 Menteri Nasdem, yakni Mentan Sjahrul Yasin Limpo dan MenLHK Siti Nurbaya Bakar. Ada sinyal yang kuat bahwa Presiden Jokowi akan mendepak kedua menteri tersebut. Namun, latar belakang didepaknya Mentan dan MenLHK tendensius kepada alasan politik dibanding kinerja.
Alasan politik tersebut ialah sentimen politik yang ditunjukkan PDI-P kepada Nasdem seperti yang disampaikan oleh Sekjen PDI-P, Hasto Kristyanto bahwa kebijakan yang diambil menteri terkait tidak didasarka data yang akurat. Kebijakan yang dimaksud ialah ekspor beras yang tidak kunjung terealisasi. Selain itu, Hasto juga menyindir Nasdem sudah tidak sejalan dengan pemerintahan Presiden Jokowi setelah menyatakan akan mengusung Anies sebagai calon presiden 2024.
Sinyal ini menunjukkan adanya sentimen politik yang berpotensi dimobilisasi menjadi serangan politik kepada Nasdem dan Anies. Terlebih mengingat kembali bahwa Nasdem harus berkoalisi untuk mencapai presidential threshold.
Nasdem Salah Perhitungan?
Sun Tzu dalam karya monumentalnya, The Art of War menyebutkan bahwa dalam menghadapi peperangan, “Seorang jenderal yang memenangkan pertempuran membuat banyak perhitungan di markasnya sebelum pertempuran terjadi”. Dalam buku yang berisi strategi perang tersebut, Sun Tzu seolah memprediksi bahwa strategi perangnya relevan diterapkan dalam bidang lain seperti politik maupun bisnis.
Kutipan tersebut mengisyaratkan betapa pentingnya perhitungan dilakukan sebelum peperangan dimulai. Perhitungan tersebut melibatkan unsur kekuatan dan kelemahan diri sendiri dan lawan, sumber daya yang dimiliki, medan perang, dan beragam perhitungan lain yang tidak boleh luput.
Nasdem harusnya sudah mengakumulasi berbagai kemungkinan dan strategi untuk dapat memenangkan pilpres 2024. Mengusung Anies Baswedan adalah salah satu strategi tersebut. Namun, nampaknya perjalanan tidak semulus yang direncanakan oleh Nasdem. Deklarasi Anies sebagai capres Nasdem merupakan genderang perang yang ditabuh oleh Nasdem yang disambut oleh lawan-lawan politiknya.
Serangan-serangan politik yang dialamatkan kepada Nasdem adalah “ucapan selamat datang” di medan perang pilpres 2024 yang dikirim oleh lawan-lawan politik Nasdem. Nasdem sebagai partai yang terhitung muda dihadapkan dengan barisan lawan yang mengandalkan hegemoni politik yang sudah terbilang sangat mapan.
Nasdem harus menemukan cara untuk dapat menyerang balik dalam kondisi terjepit seperti saat ini dimana ancaman reshuffle terhadap 2 menterinya sudah ada di depan mata. Jika wacana reshuffle tersebut menjadi kenyataan, maka bukan tidak mungkin elektabilitas Nasdem akan terancam dan berpengaruh pula terhadap elektabilitas Anies Baswedan.
Anies Bukan Kartu AS?
Konvensi capres Nasdem yang berujung kepada deklarasi Anies sebagai capres adalah upaya Nasdem untuk mengikat Anies sebagai nama yang selalu muncul dalam 3 besar survei elektabilitas capres. Harapannya adalah tingginya elektabilitas Anies akan merambat kepada elektabilitas Nasdem.
Coattail effect yang diharapkan oleh Nasdem ini justru dapat berakhir nestapa apabila perencanaan strategi politik Nasdem tidak matang. Deklarasi awal yang dilakukan oleh Nasdem adalah langkah taktis sekaligus rentan. Mencuri start di satu sisi berarti banyak waktu yang dimiliki Nasdem dan Anies untuk “kampanye” lebih dahulu dibanding lawan-lawannya yang belum memiliki calon yang akan diusung
Namun, di sisi lain berarti juga bahwa Nasdem dan Anies rentan terhadap serangan-serangan politik yang tidak terduga akibat banyaknya waktu yang masih tersedia sebelum masa pencapresan dimulai secara resmi.
Salah satu serangan tersebut ialah safari politik Anies Baswedan yang sempat disebut mencuri start kampanye oleh beberapa pihak, bahkan oleh Bawaslu. Narasi tersebut mengarah kepada pelanggaran terhadap etika politik dimana status Anies dan Nasdem sebagai partai pengusung belum resmi.
Mengikat Anies sebagai capres harusnya dapat menjadi “undangan” Nasdem bagi partai lain untuk berkoalisi demi memenuhi presidential threshold. Namun, sejauh ini bargaining position yang dimiliki oleh Nasdem seolah dianggap sebagai angin lalu oleh partai-partai lain. Belum ada sinyal dari partai lain untuk berkoalisi dengan Nasdem.
Fenomena ini dapat berujung kepada apa yang disebut oleh Arend Lijphart sebagai policy blind coalition. Dalam karyanya, Democracies: Patterns of Majoritarian and Consensus Government in Twenty-One Countries, Lijphart menyebutkan bahwa terdapat dua macam koalisi, yakni policy blind coalition dan policy based coalition.
Perbedaan kedua jenis koalisi ini terletak pada landasan dibentuknya koalisi. Policy blind coalition didasarkan kepada upaya memaksimalkan kekuasaan semata, sementara policy based coalition didasarkan kepada preferensi tujuan kebijakan yang akan direalisasikan.
Nasdem yang tidak memenuhi presidential threshold harus berkoalisi dengan partai lain untuk mendapatkan tiket pilpres 2024. Namun, sejauh ini nihil tanda-tanda koalisi tersebut. PDI-P sebagai partai yang memenuhi threshold masih belum mengumumkan capres. Partai Golkar, PAN, dan PPP membentuk koalisi sendiri, yaitu Koalisi Indonesia Bersatu.
Nasdem memang dirumorkan akan berkoalisi dengan Demokrat dan PKS. Deklarasi koalisi yang sempat dijadwalkan bertepatan dengan Hari Pahlawan pada 10 November ternyata batal. Kegagalan deklarasi tersebut disinyalir akibat belum ada keputusan final siapa yang akan menjadi cawapres Anies.
Namun, apabila koalisi ini terwujud, maka jenis koalisi ini adalah policy blind coalition. Tidak ada kesamaan preferensi politik dari ketiga partai tersebut. Terlebih dengan pengalaman di Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu dimana Anies Baswedan juga didukung oleh PKS yang berimplikasi kepada kentalnya politik identitas dalam figur Anies.
Apabila ini dilanjutkan dalam pilpres 2024, maka Nasdem terjebak dalam koalisi buta yang hanya berusaha mencapai presidential threshold. Terlebih dengan serangan-serangan politik yang menyasar Anies dan Nasdem. Nasdem butuh gamechanger di waktu yang semakin mendekati tanggal main pilpres. Namun, Anies bukanlah kartu AS seperti yang diharapkan.