"Satu kematian adalah tragedi dan sejuta kematian adalah statistik." Begitulah kira-kira pesan penguasa Uni Soviet pada era 1920-an, Pak Joseph Stalin.
Terdengar tidak menyenangkan tetapi seperti itulah adanya. Dan terkait kematian orang lain, setiap orang dapat memutuskan apakah itu tragedi atau statistik. Barangkali penjelasan saya mengenai kutipan di atas agak berbeda dengan orang lain. Dan sebelum lebih jauh, alangkah baiknya saya ceritakan dulu mengenai kejadian beberapa hari yang lalu.
Kawan saya lega, kedua orang tuanya mendapat kamar di rumah sakit (RS). Tapi di balik itu ada suatu konflik sebelumnya. Hanya dua kamar yang tersedia untuk pasien Covid-19, sedangkan calon pasien saat itu tiga: orang tua kawan saya dan calon pasien lain. Maka kawan saya menelpon kerabatnya yang bekerja di RS tersebut. Dan tak lama, dua kamar itu diisi oleh bapak, ibunya. Calon pasien lain seketika pergi tak tahu ke mana.
Saya berharap kita sepakat bahwa pergi ke RS adalah upaya untuk mencegah mati. Sedangkan kita tahu, mereka bertiga sama manusianya dan selazimnya manusia toh pada akhirnya mati juga. Lantas kenapa yang dua yang saat ini mendapatkan perawatan, menurut kawan saya lebih layak diselamatkan?
Orang sebenarnya tak peduli dengan membengkaknya angka kematian karena Covid-19. Selama tak ada orang terdekatnya yang diwakili angka tersebut. Siapa mereka yang diwakili angka-angka kematian itu, tak perlu dipikir sungguh-sungguh, dan untuk apa pula mencari tahu. Kematian mereka kelak akan menjadi cerita yang dapat dipetik hikmahnya, dan itu cukup.
Pada tahun 1990 seorang ahli psikologi, antropologi dan biologi dari Britania Raya yang bernama Robin Dunbar, menjadi dikenal karena hipotesisnya. Ia berpendapat bahwa terdapat korelasi kuat antara ukuran otak primata--khususnya bagian neokorteks serebrum--dengan jumlah hubungan sosial yang dapat dijalinnya. Artinya, bila bagian otak tersebut memiliki ukuran besar, maka cakupan lingkaran sosialnya pun besar dan begitupula sebaliknya.
Beberapa tahun kemudian ia menerapkannya kepada manusia. Dan secara khusus ditetapkan olehnya bahwa lingkaran sosial yang mampu dijaga oleh manusia hanya sebatas 147,8 orang saja (dibulatkan menjadi 150).
Jumlah tersebut dapat lebih besar bila didukung dengan ukuran otak yang lebih besar. Atau perangkat lain seperti aturan yang komprehensif--agar suatu kelompok dapat terstruktur dengan baik dan menyatu. Perangkat lain ini biasa dimiliki oleh masyarakat adat dan bukan masyarakat modern seperti kita. Tentu masyarakat kita gemar berwacana dan yakin memiliki perangkat itu. Tapi pada kenyataannya tidak.
Dunbar juga menjelaskan bahwa di luar jumlah tersebut, kita akan melihat orang lain bukan sebagai manusia secara konsep, melainkan karakter-karakter satu dimensi. Teorinya dikenal dengan nama Bilangan Dunbar.
Penglihatan karakter satu dimensi sebenarnya lazim di tengah masyarakat kita. Misalnya saja, seorang guru menghadapi murid hanya sebatas karakter murid belaka, dan bukan konesp seorang anak; sebenar-benarnya seorang pelajar saja, yang harus didikte untuk belajar, dan wajib membayar SPP tiap bulan. Atau seorang SPG yang berjaga di suatu mall; di matanya, orang-orang yang melintas hanyalah dompet yang berjalan.
Seorang filsuf dari Prancis yang bernama Gabriel Marcel juga pernah menyinggung perkara ini pada bukunya yang berjudul The Broken World. Katanya, hubungan antar manusia di era modern nyaris tak ada lantaran orang mengidentifikasi orang lain berdasarkan peran fungsionalnya.
Maka wajar bila jumlah kematian karena Covid-19 hanyalah perkara statistik bagi banyak orang. Karena korban berada di luar lingkaran sosial mereka. Dan fungsi para korban yang telah menjelma menjadi deretan angka, sekadar membantu mereka--dan kita-- untuk menerjemahkan kondisi pandemi saat ini.
Bisa jadi salah satu atau dua korban adalah kerabat saya dan bila merujuk pada pesan Pak Stalin, saya akan menyebutnya tragedi. Tapi bagi Anda, kematian kerabat saya tentu tak lebih dari sekadar angka.
Bahkan ketika kerabat saya dalam kondisi hidup pun perspektifnya tak jauh beda. Selama ia di luar lingkaran sosial Anda, dan sama sekali tak punya maslahat apapun untuk keberlangsungan hidup Anda, ia bukanlah siapa-siapa bagi Anda.
Boleh saja Anda berkata: "itu tidak benar, saya juga sedih bila melihat orang lain sekarat." Pada titik ini, Anda sebenarnya tidak sedih karena orang lain itu siapa. Melainkan ada perasaan yang bertentangan dengan nilai-nilai moral yang selama ini Anda yakini. Tentunya tak banyak manusia yang bercita-cita menjadi orang brengsek. Dan hanya orang brengsek yang tidak sedih melihat orang lain sekarat.
Tapi perspektif dan sikap Anda akan lain bila adik Andalah yang tengah sakaratul maut. Kesedihan yang dipikul bersumber dari cinta dan kasih sayang Anda kepada sang adik. Dengan kata lain, kesedihan Anda berdasarkan kepada siapa dia.
Atas dasar inilah seharusnya kita berani mengakui bahwa manusia memang terprogram untuk bersikap standar ganda: dua kasus serupa akan disikapi secara berbeda bila yang satu menyangkut bapak, ibu Anda, dan yang lain menyangkut orang di luar lingkaran sosial Anda.
Selain itu, Teori Bilangan Dunbar juga dapat menjadi dalih gagalnya kehidupan bermasyarakat. Karena setiap individu hanya mampu menjaga stabilitas kelompok dalam jumlah yang kecil.
Dan yang terakhir, seharusnya kita turut sadar bahwa jumlah orang yang berada di luar lingkaran sosial kita lebih berlimpah ketimbang yang di dalam. Dan mereka memiliki lingkaran sosialnya sendiri, yang tidak ada kita di dalamnya. Karena itu berhati-hatilah.