Pergerakan ekonomi internasional menuntun ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) memunculkan banyak kebijakan dan kesepakatan yang membawa perubahan terhadap pertumbuhan ekonomi Asia. Dan yang paling banyak dibicarakan hingga saat ini adalah MEA (Masyarakat Ekonomi Asia). 

Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) atau ASEAN Economic Community (AEC) merupakan sebuah sistem yang menuju sebuah kesepakatan dalam mengintegrasikan ekonomi antarnegara ASEAN. Dari namanya, jelas sekali bahwa fokus dari MEA ini adalah bidang ekonomi. 

Ekonomi memiliki peran penting bagi kemajuan suatu bangsa, dan MEA adalah media yang tepat untuk mampu bersaing dengan ekonomi Amerika, Eropa, dan Cina. Berkaitan dengan perluasan ekonomi, MEA telah merencanakan peta ekonomi baru yang menguntungkan untuk negara-negara ASEAN, yaitu dengan dibukanya pasar perdagangan bebas.

Dengan dibukanya perdagangan bebas, maka hal ini akan meminimalkan kesulitan-kesulitan yang selama ini menjadi penghalang untuk kegiatan ekspor-impor seperti peraturan bea cukai.

Pasar bebas di kawasan ASEAN ini disebut juga dengan ASEAN Free Trade Area atau AFTA. Ini merupakan kesepakatan yang disetujui bersama negara-negara di ASEAN. Keberadaan AFTA tidak membuat tarif impor menjadi nol.

Dengan adanya AFTA ini, maka pemilik usaha di Indonesia mendapat tantangan untuk bersaing dengan perusahaan-perusahaan luar negeri. Khususnya produsen lokal atau usaha kecil, ia harus memiliki kualitas produk yang lebih baik.

Namun, selain memberikan keuntungan, pasar bebas di kawasan ASEAN nyatanya juga membawa dampak buruk, seperti terancamnya kedaulatan mata uang di bagian perbatasan Indonesia. Ancaman ini ditandai dengan penggunaan rupiah yang jarang dipergunakan di wilayah perbatasan. 

Hal itu disebabkan adanya pengaruh negara asing dalam menjual dagangannya ke wilayah tersebut untuk membelinya dan atau menjualnya. Sangat jarang bahkan sedikit produk-produk Indonesia masuk wilayah perbatasan untuk dijual, maka tidak ada pilihan selain membeli produk luar negeri. 

Selain itu, mudahnya mata uang asing masuk di wilayah perbatasan, maka mau atau tidak para pembeli harus menggunakan uang asing sebagai alat transaksi. Sebut saja Pulau Kapuas Kalimantan, Indonesia berbatasan dengan Malaysia dan perbatasan lainnya dengan negara Brunei Darussalam dan Papua Nugini.

Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, Rupiah diposisikan sebagai satu di antara simbol kedaulatan negara yang harus dihormati dan dibanggakan seluruh warga negara Indonesia (tanpa terkecuali). Penamaan rupiah mempunyai sejarah tersendiri di nusantara, sehingga pemerintah pada masa Orde Lama mengambilnya menjadi nama mata uang Republik Indonesia. 

Ada yang berpendapat bahwa nama rupiah berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu "rupyakam" yang berarti "perak", dan juga adanya pengaruh budaya India di masa kejayaan kerajaan Hindu dan Buddha di Nusantara selama ratusan tahun. Maka dari itu, tidak hanya posisi "kedaulatan rupiah", tapi juga rupiah menjadi "simbol negara".

Pemerintah dan lembaga terkait diminta untuk terus mengedukasi masyarakat agar cinta rupiah. Sebab rupiah bukan sekadar alat tukar, melainkan juga wujud kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). 

Setiap negara memiliki mata uangnya sendiri sebagai alat transaksi pembayaran resmi yang disepakati dan dilegalisasi oleh pemerintah. Rupiah menjadi mata uang Republik Indonesia setelah kemerdekaan yang sebelumnya disebut dengan ORI (Oeang Republik Indonesia), setahun setelah kemerdekaan, yaitu 30 Oktober 1946. 

Sebagai salah satu simbol negara, maka dari itu perlu adanya kebijakan dan kesiapan pemerintah dan perangkat-perangkatnya beserta rakyat Indonesia untuk menjaga dan membantu rupiah. Mengingat setiap mata uang mempunyai musuh-musuh ekonomi yang dapat mengancam mata uang ini dari keterpurukan.

Adapun Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/3/PBI/2015 tentang kewajiban penggunaan rupiah di NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), maka satu di antara menjaga kedaulatan rupiah adalah menggunakan rupiah dalam transaksi keuangan di wilayah NKRI. 

Membayar dan menerima uang rupiah akan berdampak penguatan mata uang, namun perlu adanya kapasitas para pengguna dan perluasan penggunaan mata uang ini yang tidak hanya pada level masyarakat ekonomi bawah dan menengah tapi juga pada level atas yang mempunyai usaha perdagangan ke luar negeri.

Menjaga kedaulatan rupiah dengan menggunakannya tidak hanya dilihat di tengah-tengah perekonomian ibu kota negara dan ibu kota provinsi. Di daerah perbatasan negara, masih banyak warga Indonesia menggunakan mata uang asing dalam transaksi jual-beli.

Masyarakat yang berada di wilayah perbatasan tidak mau menggunakan mata uang asing sebagai alat transaksi. Adapun perubahan perilaku dan wilayah sehingga peralihan mata uang dilakukan, di antaranya pekerjaan pribumi di negara asing yang berbatasan dengan wilayah Indonesia yang mudah didapatkan dengan gaji cukup tinggi. 

Mereka menerima gaji dalam bentuk mata uang asing sehingga transaksi jual-beli produk barang dan jasa tidak terelakkan dari mata uang tersebut. Sehingga kedaulatan mata uang rupiah tetap terjaga.