China dan Taiwan merupakan dua negara yang terletak di Benua Asia bagian Timur. Keduanya sama – sama negara maju.
Apabila kita melihat perkembangan ekonomi seperti yang dikutip dari country economy, Taiwan memiliki GDP sebesar $789.505 juta dolar, lebih tinggi dari tahun 2020 yang sebesar $669.250 juta dolar.
Tetangganya, China yang merupakan salah satu negara terbesar memiliki GDP sebesar $17.458.036 trilliun dolar, peningkatan dari tahun 2020 sebesar $14.862.564 trilliun dolar.
Peningkatan ini membuat China dinobatkan sebagai negara adikuasa yang berhasil menyaingi Amerika Serikat.
Namun, terlepas dari kehebatan China dan Taiwan dalam menyumbang perekonomian dunia, keduanya terlibat konflik internal yang dapat mengancam stabilitas keamanan internasional.
Konflik China dan Taiwan menjadi semakin memanas pasca kunjungan Nancy Pelosi (Ketua DPR Amerika Serikat) di Taiwan pada Bulan Agustus lalu.
Padahal, sebelum kunjungan Nancy Pelosi, Presiden China Xi – Jinping memperingatkan berkali – kali kepada Amerika Serikat untuk tidak “bermain api” dengannya.
Namun Nancy Pelosi mengabaikan ancaman dari China dan tetap meneruskan kunjungannya ke Taiwan. Rombongan Nancy Pelosi tiba di Taiwan pada Selasa malam tanggal 2 Agustus 2022.
Kehadiran Nancy Pelosi dianggap sebagai pelanggaran wilayah teritori sekaligus kebijakan satu China.
Kebijakan satu China merupakan kebijakan yang menerapkan hanya ada satu Negara China, dengan adanya kebijakan satu China ini, Taiwan memperoleh pengakuan terbatas.
Amerika Serikat adalah salah satu negara yang mengakui eksistensi negara Taiwan, oleh karena itu Amerika Serikat berhak memberikan dukungan kepada Taiwan sehingga Nancy Pelosi dapat berkunjung atas izin dari pemerintah Taiwan.
Meskipun Amerika Serikat juga mendapat ancaman dari pemerintah China, Amerika Serikat terus memberikan klarifikasi bahwa dirinya akan selalu menghormati dan mengakui kebijakan satu China.
Dilansir dari reuters, Nancy Pelosi mengatakan bahwa solidaritas Amerika Serikat bersama Taiwan jauh lebih penting. Kunjungan Nancy Pelosi menjadi simbol kedekatan Taiwan bersama Amerika Serikat.
Diketahui bahwa alasan Nancy Pelosi mengunjungi Taiwan adalah untuk mempererat hubungan mitra dagang di Asia – Pasifik, mengingat taiwan memiliki posisi yang strategis sehingga membuat Amerika Serikat tertarik dengannya.
Kedekatan hubungan keduanya memicu ancaman keamanan bagi China. China mengkritik keras kunjungan Amerika Serikat. Dikutip dari Republika, kunjungan Nancy Pelosi akan mengaburkan sekaligus melubangi prinsip “One China”, dan mendorong gerakan separatis untuk kemerdekaan Taiwan.
Setelah mendapat kecaman keras dari pemerintah China, Nancy Pelosi beserta rombongannya pun bergegas meninggalkan Taiwan pada tanggal 3 Agustus 2022 pukul 6 sore menggunakan pesawat militer AS.
Pasca kunjungan Nancy Pelosi, China pun memperketat sekaligus memperpanjang jadwal latihan militer di perairan Taiwan.
Latihan ini merupakan bentuk amarah China kepada Taiwan pasca kunjungan ketua DPR Amerika Serikat itu.
Joseph Wu, menteri luar negeri Taiwan memberikan tanggapannya terkait latihan militer China.
Beliau mengatakan bahwa rencana itu terjadi tidak hanya terjadi ketika kunjungan Nancy Pelosi saja, tetapi latihan militer ini merupakan ancaman China yang akan meningkat terus menerus setiap tahunnya.
Joseph Wu mengatakan bahwa latihan militer ini menimbulkan kekhawatiran Taiwan akan invasi dari China.
Joseph Wu juga menambahkan, China tidak hanya mencoba penyerangan militer saja, tetapi juga memberikan sanksi perdagangan.
Dilansir dari Reuters China telah menangguhkan impor beberapa produk makanan dari Taiwan, sehingga perusahaan makanan telah ditolak di bea cukai China.
Kementerian perdagangan China juga mengatakan bahwa China tidak akan melakukan ekspor SDA kepada Taiwan.
Joseph Wu juga menambahkan bahwa sanksi - sanksi itu tidak berhasil dan Taiwan berhasil menunjukkan ketangguhannya.
Konflik China dan Taiwan dapat dijelaskan menggunakan paradigma konstruktivis. Konstruktivis percaya bahwa konflik dapat terjadi karena adanya hubungan antar sosial yang dijalankan.
Konflik ada karena diciptakan oleh rezim, aktor, dan organisasi internasional. Berdasarkan tanggapan yang disampaikan oleh Joseph Wu, ketegangan China dan Taiwan akan terus meningkat meskipun Nancy Pelosi tidak datang ke Amerika Serikat karena mereka terlibat konflik sejak lama.
Oleh karena itu konflik China dan Taiwan tidak dapat lepas dari sejarah. Perlu diketahui apa yang menyebabkan kedua negara ini saling bermusuhan, dan siapa yang menciptakan konflik hingga apa yang dipermasalahkan oleh kedua negara ini.
Pada akhir abad ke 19, paham paham nasionalisme dan demokrasi masuk ke wilayah Asia khususnya China.
Hal ini memicu timbulnya revolusi China. Permasalahan ini menyebabkan munculnya tokoh yang sangat terkenal dalam menyuarakan nasionalis – demokrasi di China, yaitu Sun Yat Sen.
Beliau merupakan pendiri dari partai Kuomintang yang memiliki ajaran San Min Chu I (3 Asas Rakyat) yang berisi tentang nasionalisme, demokrasi, sosialisme.
Sun Yat Sen bermimpi untuk membentuk negara China yang demokratis, oleh karena itu beliau menginisiasi berdirinya partai Kuomintang yang beraliran Nasionalis Demokratis.
Revolusi China pecah pada tahun 1911. Pemberontakan dimulai oleh kaum revolusioner yang dipimpin oleh Li Yuan Hung melawan Dinasti Qing di kota Wuchang, China.
Kelompok revolusioner berhasil menduduki 18 provinsi China, kejayaan revolusioner membuat Dinasti Qing runtuh pada bulan Desember 1911 dan Republik China berhasil diproklamirkan.
Sun Yat sen menjadi presiden demokratik sementara atas dukungan pasukan revolusioner. Akhirnya, Dinasti Qing menyerahkan kedaulatannya kepada Republik China pada 12 Februari 1912.
Sun Yat Sen mengundurkan diri dan kepemimpinan China digantikan oleh Yuan Shih Kai pada tanggal 15 Februari 1912.
Pada masa kepemimpinannya, Yuan Shih Kai berpikir bahwa ideologi republik tidak akan bertahan lama. Oleh karena itu, Yuan Shih Kai meninggalkan republik dan mengubah sistem menjadi Kekaisaran China.
Hal ini menyebabkan sebagian besar provinsi di China melepaskan diri dan banyak terjadi revolusi terbuka yang terjadi di setiap provinsi.
Tidak lama menjabat, Yuan Shih Kai meninggal pada tahun 1916. Hal ini membuat China mengalami kekosongan kekuasaan karena Yuan Shih Kai belum menunjuk seseorang untuk menjadi presiden pengganti.
Kekosongan ini pada akhirnya menyebabkan perpecahan antar kelompok dan memicu terjadinya perang saudara. Perang saudara diselesaikan dengan aliansi partai, yakni partai Kuomintang dan partai Komunis Cina.
Mereka bersama – sama untuk menyatukan China kembali, dan saling membantu satu sama lain.
Sun Yat Sen meninggal pada tahun 1925, hal ini menyebabkan kepemimpinan partai Kuomintang diambil alih oleh Chiang Kai Shek.
Pada masa kepemimpinannya, Chiang Kai Shek bermimpi untuk menggulingkan kekuatan komunis.
Chiang Kai Shek khawatir jika keberadaan partai komunis dapat mengancam posisinya, oleh karena itu beliau mulai melakukan pembersihan kepada anggota partai Komunis China.
Beberapa anggota partai komunis melarikan diri dari pasukan Chiang Kai Shek. Mereka pergi dari China selatan menuju China utara.
Tanpa disadari Chiang Kai Shek, sisa – sisa dari mereka mulai membentuk partai komunis baru yang dikomando oleh Mao Zedong.
Ambisius Chiang Kai Shek kembali muncul untuk membasmi partai komunis Mao Zedong.
Ambisius Chiang Kai Shek untuk membasmi partai komunis, namun mengabaikan wilayah Manchuria China yang masih dikuasai oleh Jepang.
Pada tahun 1936 Chiang Kai Shek diculik oleh perwiranya dan dibawa ke hadapan partai komunis, karena menurut perwiranya Chiang Kai Shek menaruh dendam pada musuh yang salah.
Mao Zedong mengajak kerja sama dengan Chiang Kai Shek untuk mengusir Jepang dan membentuk Front Persatuan, meskipun Chiang Kai Shek menerimanya dengan berat hati.
Pada tahun 1937, Jepang mulai menginvasi China dan Perang China – Jepang II terjadi. Pada peperangan ini Front Persatuan berperang mengusir Jepang, meskipun keduanya (Komunis dan Nasionalis) tetap terlibat konflik.
Mereka saling menyerang, dan Jepang terkena imbas dari permasalahan mereka.
Perang dunia ke II pecah pada tahun 1939 ketika Jepang menginvasi China.
Selama perang dunia ke II, pada tahun 1943, Chiang Kai Shek bertemu dengan Presiden AS Franklin Roosevelt dan PM Inggris Winston Churchill membentuk Deklarasi Kairo yang berisi tentang Taiwan, dan Kepulauan Penghu dikembalikan ke Republik China.
Kekalahan Jepang pada perang dunia II, membuatnya harus meninggalkan China. Alih – alih menghentikan peperangan, China terlibat permasalahan lagi antara Nasionalis dan Komunis.
Meskipun pada Bulan Oktober 1945 muncul desakan Amerika Serikat dan sekutu untuk meminta kedua partai berdamai, namun sayangnya mereka terus berkonflik.
Kelompok Kuomintang yang dominan, mulai dapat ditekan oleh kelompok komunis. Dua kota besar China seperti Beijing dan Nanking menjadi wilayah komunis, sebelumnya merupakan kekuasaan Kuomintang.
Pada akhirnya Desember 1949, pasukan Chiang Kai Shek memutuskan kabur ke Taiwan, dan kemenangan Mao Zedong, berhasil mendeklarasikan Republik Rakyat China.
Chiang Kai Shek menerapkan pemerintahan darurat militer di Taiwan. Hal tersebut dilakukan untuk mengantisipasi serangan dari China, sekaligus mendapatkan kedaulatan sendiri agar lepas dari tangan China.
Namun China menoalaknya, PBB pun juga menolak eksistensi negara Taiwan. Hal ini yang menyebabkan Taiwan memiliki kedaulatan terbatas.
China mengusulkan pembentukan 1 negara dengan 2 sistem kepada Taiwan. Sistem tersebut adalah Taiwan memiliki hak otonomi yang signifikan dengan dibawah kendali pemerintahan Beijing.
Tetapi Taiwan menolak usulan tersebut, dan China tetap meng-claim bahwa pemerintahan Taiwan tidak sah.
Analisis konstruktivisme yang berasumsi bahwa konflik dan perdamaian merupakan sesuatu yang diciptakan.
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa terdapat aktor individu yang menciptakan konflik China dan Taiwan yaitu Chiang Kai Shek yang menyebabkan perpecahan pada masyarakat China.
Berbeda dengan Sun Yat Sen yang mampu menjalani hubungan baik dengan partai komunis China karena adanya tujuan bersama untuk membentuk China modern.
Perbedaan motif kedua pemimpin ini juga dapat mempengaruhi stabilitas keamanan internasional pula.
Seandainya Chiang Kai Shek memiliki karakter yang sama dengan Sun Yat Sen, kemungkinan Taiwan bisa menjadi bagian dari China dan tidak berkonflik hingga saat ini.