Banyak pihak telah secara serampangan mengerdilkan “partisipasi politik” menjadi sekadar “voting”. Dengan kata lain, orang yang memilih berarti sudah berpartisipasi dan orang yang tidak memilih alias golput berarti belum berpartisipasi. Pada kenyataannya, golput sendiri dapat dianggap sebagai salah satu bentuk partisipasi.
Penulis pribadi memandang golput sebagai salah satu bentuk civil disobedience atau pembangkangan sipil–-sebuah konsep yang diperkenalkan oleh Thoreau yang intinya bicara tentang pembangkangan sebagai bentuk perlawanan terhadap penindasan negara-–yang bisa saja dimaksudkan untuk menyuarakan ketidaksukaan publik terhadap seluruh kandidat politik yang muncul.
Miskonsepsi terhadap partisipasi politik sangat mungkin berawal dari miskonsepsi terhadap politik itu sendiri.
Politik dan Partisipasi Politik
Partisipasi politik, secara sederhana, dapat dipahami sebagai sebuah upaya memengaruhi proses politik dan pada tahap lanjut, termasuk keputusan politik sebagai hasil dari sebuah proses politik. Tetapi, sebelum masuk ke sana, tentu saja kita perlu tahu dulu apa itu politik.
Segala hal yang berkenaan dengan negara, keberadaan negara, keberfungsian negara, wewenang dan tanggung jawab negara, dan apapun itu yang sifatnya berada di bawah sistem pemerintahan dalam teritori politik tertentu, adalah apa yang disebut dengan politik. Sekarang, coba lihat ke sekeliling Anda! Mungkin saat ini Anda sedang berada di rumah dan melihat televisi, lampu, meja makan, sumber listrik, pintu, dan beragam perabot rumah lainnya.
Saya jamin, Anda tidak akan bisa menyebutkan satu saja dari kesemua benda itu yang tidak ada kaitannya dengan politik, dari mulai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang menempel pada setiap barang yang Anda beli, cukai impor yang harus Anda tanggung pada perabot dari luar negeri, pemadaman bergilir pada listrik rumah Anda yang membuat Anda ketar ketir saat hal itu terjadi.
Bahkan keberadaan rumah Anda pun diatur politik dari mulai mekanisme membeli rumah sampai konsekuensi hukum apabila Anda melakukan penyalahgunaan rumah–-misalnya, buka usaha di lahan pemukiman di mana terdapat larangan usaha.
Semudah Anda menemukan politik, semudah itu pula Anda menemukan partisipasi politik. Kita dapat mulai dari pemadaman listrik bergilir tadi. Bagaimana Anda dapat memengaruhi keputusan politik oleh BUMN yang mengelola listrik tersebut? Anda dapat membuka usaha penyediaan listrik sendiri, sebagaimana Gojek dan Uber menembus batas regulasi kendaraan umum, tembuslah batas regulasi penyediaan listrik!
Kalau mau yang lebih simple, Anda dapat memakai cara yang hari ini lumayan trending, yakni petisi. Kalau Anda suka yang lebih sopan, meskipun tidak simple, ya masuk ke dalam BUMN penyedia jasa atau ke dalam kementerian yang membawahinya. Masuk ke dalam sistem dan perbaiki sistemnya. Selain petisi dan disruptive innovation, media juga dapat menjadi jalan untuk memengaruhi proses politik.
Dengan berkembangnya internet, media menjadi salah satu medium partisipasi politik yang sangat berpengaruh. Media sebagai pihak yang dapat menciptakan persepsi dapat membangun apa yang disebut dengan "public opinion". Opini publik ini kadang dapat menjadi ilusi dalam perspektif para pejabat (decision makers), karena kerap dianggap sebagai representasi suara mayoritas dan dianggap signifikan untuk direspon, padahal pada kenyataannya belum tentu demikian.
Telah banyak isu yang diangkat oleh media yang berhasil membuat para pejabat terdorong untuk merespons, baik dengan mengeluarkan kebijakan baru, mengubah kebijakan lama, maupun memberikan political statement (pernyataan pro atau kontra seorang pejabat terhadap pihak atau posisi argumen tertentu dalam isu tertentu).
Misalnya saja menyoal kisruh LGBT beberapa waktu lalu yang bermula dari kesalahpahaman publik terhadap sebuah publikasi yang mencantumkan nama SGRC UI. Sebagian dari masyarakat kemudian menjadi heboh dan mendesak negara untuk merespons masalah ini. Padahal kalau dipikir-pikir ya namanya homoseksual itu sudah ada sejak dahulu kala di berbagai daerah di dunia, tidak terkecuali Indonesia.
Tapi, kenapa tiba-tiba para pejabat publik secara khusus mengurusi hal ini? Ya itulah salah satu bentuk pengaruh opini publik. Emosi publik yang terpengaruh oleh viralitas isu–-sehingga terkesan semua orang di negeri ini membicarakannya-–ditularkan pada negara yang juga melihat desakan segelintir orang sebagai representasi yang signifikan untuk direspons.
Tidak hanya wadah menuntut, media juga menjadi wadah pengawasan, seperti yang dilakukan oleh kawalpemilu.org (@kawalpemilu) dan wikidpr.org (@WikiDPR). Selain menggunakan media, banyak pihak memilih cara yang lebih formal lagi, misalnya dengan mendirikan sebuah Non-Governmental Organization (NGO) yang biasanya membidangi fokus isu tertentu. KontraS, salah satunya, fokus pada perjuangan penegakan dan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM).
Selain NGO, masyarakat juga dapat membentuk apa yang disebut dengan Ormas (Organisasi Massa). Salah satu yang paling populer adalah FPI (Front Pembela Islam) yang fokus membantu atau malah menggantikan polisi melakukan razia miras, perzinaan, dan judi, serta tidak lupa juga sweeping warung dan bar di bulan Ramadhan.
Data tahun 2012 menunjukkan terdapat lebih dari 65 ribu Ormas di Indonesia. NGO dan Ormas dapat memengaruhi proses politik dengan tentunya menyuarakan kepentingannya kepada para decision makers dan mengedukasi masyarakat untuk turut mendukung visinya.
Politik dan Usaha Menghindari Kenajisan yang Sia-Sia
Kesalahkaprahan yang penulis bahas di awal tadi tidak hanya menjangkiti masyarakat dalam bentuk pengerdilan yang mengarah pada anggapan bahwa partisipasi politik sama dengan voting, tetapi juga pengerdilan lainnya, termasuk iman bahwa “politik itu najis” atau “politik itu kotor”. Iman ini kemudian membuat banyak pihak, tidak terkecuali generasi muda, menjadi anti terhadap politik.
Dalam sebuah survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI), didapati bahwa 79% anak muda di Indonesia tidak tertarik berpolitik. Padahal, politiklah yang menentukan hidup mati mereka di dalam teritori politik yang bernama Indonesia ini dan sekalipun mereka tidak menjadi pejabat publik, mereka tetap secara tidak langsung telah berpolitik. Hal itu merupakan implikasi logis dari keberadaan mereka di dalam teritori politik ini.
Dengan menjadi pihak yang terlibat dalam kontrak sosial dengan pemerintah Indonesia, salah satunya untuk tunduk kepada hukum yang berlaku, maka kita semua telah menjadi bagian dari politik. Karena negara adalah suatu sistem yang terdiri dari pemerintah dan masyarakat, bukan pemerintah saja. Negara adalah suatu rangkaian sistem politik yang tidak dapat dipisahkan kepala dari lehernya atau kaki dari badannya.
Kita semua telah berpolitik, hanya saja dengan bentuk peran dan kadar porsi yang berbeda. Jadi, segala usaha menghindari kenajisan dengan tidak masuk dalam partai politik (parpol), tidak melibatkan diri dalam NGO atau Ormas, tidak membentuk media atau membuat petisi, serta tidak memilih dalam Pemilu adalah usaha yang sia-sia adanya.
Anak muda sebagai generasi yang dapat menggeser generasi lama dan melakukan perubahan-perubahan gila dan revolusioner harus berani memilih peran politik yang lebih signifikan dengan kadar porsi yang besar pula. Apabila merefleksikan hukum yang berlaku saat ini, maka parpol menjadi medium partisipasi paling seksi yang sudah sepantasnya diserbu anak muda.
Di titik ini tentu sudah ada sebagian pembaca yang nyinyir, “Ih parpol itulah senajis-najisnya politik!” Di dalam berbagai survei juga tergambar jelas bagaimana tingkat kepercayaan publik pada parpol berada pada level yang cukup rendah. Akan tetapi, ada baiknya kita tidak abai terhadap fakta betapa kuatnya parpol dalam memengaruhi proses pembuatan keputusan (decision making process).
Hal ini terutama disebabkan oleh penguasaan parpol atas lembaga legislatif, khususnya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Orang-orang yang dapat menduduki kursi DPR adalah mereka yang telah terdaftar sebagai anggota parpol. Maka itu, sama saja seluruh perundangan yang berlaku di negara ini dikeluarkan oleh (anggota) parpol. Anggota parpol pun nyaris seutuhnya harus tunduk pada sikap parpol (terhadap suatu isu atau kebijakan).
Jika terjadi pembangkangan salah seorang anggota terhadap sikap parpol di parlemen, parpol dapat melakukan apa yang disebut dengan recall, yakni pemberhentian anggota parpol dari jabatannya di parlemen.
Rakyat Indonesia Menantang Anak Muda Unggul Masuk Parpol
Menimbang betapa berpengaruhnya parpol dalam proses politik di negara ini, sudah sepantasnya anak muda tergerak untuk terjun ke dalamnya.
Kita dapat memilih antara masuk dengan santun ke dalam partai-partai lama dan perlahan memperbaiki kerusakan-kerusakannya dari dalam (yang mungkin mengharuskan kita menunggu oma-opa ketua umumnya kembali kepada-Nya) atau memilih partai-partai baru yang berpeluang besar memberikan corak baru dalam perpolitikan Indonesia.
Penulis mengamati setidaknya terdapat dua partai baru yang sedang bertumbuh saat ini, yakni Partai Melinjo (nama disamarkan) yang marsnya selalu diputar berulang-ulang di stasiun televisi milik pendirinya hingga menjadi salah satu top hits abad ini dan Partai Solder (nama disamarkan) yang kabarnya diisi anak-anak muda (partai ini bahkan membatasi usia anggotanya tidak boleh lebih dari 45 tahun).
Tampaknya Partai Solder bisa menjadi pilihan yang menarik untuk generasi muda yang sudah kepalang jengah dan tidak sabaran menunggu generasi lama tergusur secara alamiah agar dapat segera berkarya dan mewujudkan ide-ide gila yang telah lama dinantikan oleh segenap rakyat Indonesia.
Kita tentu sepakat bahwa perubahan membutuhkan proses. Kalau Anda bertanya proses politik bertumpu dimana, maka saya sudah sebutkan secara terang-benderang bahwa sampai hari ini, proses politik kita masih bertumpu di parpol. Perubahan di masa yang akan datang tidak dapat dicapai tanpa proses menuju perubahan yang dimulai hari ini. Maka dari itu, penulis berharap tulisan ini dapat menjadi inspirasi untuk generasi muda berani memulai proses itu.
Tidak peduli berapa ratus Pemilu lagi kita lewati, berapa ratus kali lagi kita ikut voting, kita tidak dapat mencapai titik pengaruh optimal tanpa menerabas masuk ke dalam akar-akar sistem. Perundangan yang mengatur seluruh hajat hidup kita dalam teritori politik Indonesia diciptakan melalui mekanisme voting, lobbying, musyawarah, dan ratusan rapat-rapat konsolidasi yang dilakukan oleh para anggota parpol (di parlemen), bukan oleh seluruh masyarakat.
Agar dapat memulai proses menuju perubahan yang menyeluruh, anak muda harus berani menambah dosis politiknya, salah satunya dengan masuk ke dalam parpol untuk kemudian masuk ke dalam parlemen dan menjadi agen perubahan yang tidak hanya berapi-api tetapi juga bertanggung jawab.
#LombaEsaiPolitik